Tugas Kelompok
Mata Kuliah Filsafat
Ilmu Perikanan
ETIKA KEILMUAN
OLEH:
MUHAMMAD TAKWIER MAKMUR P3300
214 003
IBNU MALKAN HASBI P3300
214 005
SAJRIAWATI P3300 214 301 WAHYUDDIN P3300 214 401
MAGISTER ILMU PERIKANAN
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
I.
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Ilmu berupaya mengungkapkan realitas sebagaimana adanya,
sedangkan moral pada dasarnya adalah petunjuk tentang apa yang seharusnya
dilakukan manusia. Hasil-hasil kegiatan keilmuan memberikan alternatif untuk memberikan
keputusan politik dengan berkiblat pada pertimbangan moral. Ilmuan memiliki
tanggung jawab profesional, khususnya di dunia ilmu dan dalam masyarakat ilmuan
itu sendiri serta mengenai metodologi yang dipakainya. Ilmuan juga memikul
tanggung jawab sosial yang bisa dibedakan atas tanggung jawab legal yang formal
sifatnya, dan tanggung jawab moral yang lebih luas cakupannya.
Agar mendapatkan pengertian yang jelas mengenai kaitan
antara ilmu dan moral, maka kajiannya harus didekati dari ketiga komponen tiang
penyangga tubuh pengetahuan, yakni ontologi, epistemologi, dan aksiologi. Namun
sebelum sampai pada ketiga pendekatan tersebut, dibahas dahulu mengenai etika,
moral, norma, dan kesusilaan, kemudian pengertian dan ciri-ciri ilmu.
B. Rumusan Masalah
1.
Apa yang
dimaksud etika,moral, norma dan kesusilaan?
2.
Bagaimana
problema etika ilmu pengetahuan?
3.
Apakah ilmu
bebas nilai atau tidak bebas nilai?
4.
Apa yang
dimaksud pendekatan ontologis?
5.
Apa yang
dimaksud pendekatan epistemologi?
6.
Apa yang
dimaksud pendekatan aksiologi?
7.
Apa saja sikap
ilmiah yang dimiliki ilmuan?
II.
PEMBAHASAN
A. ANTARA ETIKA, MORAL, NORMA DAN
KESUSILAAN
1) Etika
Secara
bahasa etika berasal dari bahasa Yunani yaitu ethos yang berarti adat istiadat
( kebiasaan ), kecenderungan hati untuk melakukan perbuatan. Secara terminologi
etika adalah cabang filsafat yang membicarakan tingkah laku atau perbuatan
manusia dalam hubungannya dengan baik buruk. Yang dapat dinilai baik buruk
adalah sikap manusia yaitu yang meyangkut perbuatan, tingkah laku,
gerakan-gerakan, kata-kata dan sebagainya. Adapun motif, watak, suara hati
sulit untuk dinilai. Perbuatan atau tingkah laku yang dikerjakan dengan
kesadaran sajalah yang dapat dinilai, sedangkan yang dikerjakan dengan tidak sadar
tidak dapat dinilai baik buruk.
Menurut
Sunoto (1982) etika dapat dibagi menjadi etika deskritif dan etika normatif.
Etika deskritif hanya melukiskan, menggambarkan, menceritakan apa adanya, tidak
memberikan penilaian, tidak mengajarkan bagaimana seharusnya berbuat. Contohnya
sejarah etika. Adapun etika normatif sudah memberikan penilaian yang baik dan
yang buruk, yang harus dikerjakan dan yang tidak.
Etika
normatif dapat dibagi menjadi etika umum dan etika khusus. Etika umum
membicarakan prinsip-prinsip umum, seperti apakah nilai, motivasi suatu
perbuatan, suara hati, dan sebagainya. Etika khusus adalah pelaksanaan
prinsip-prinsip umum, seperti etika pergaulan, etika dalam pekerjaan dan sebagainya.
(Sunoto, 1982, hlm.6):
a)
Etika
Deskritif : Etika yang menelaah secara kritis dan rasional tentang sikap dan
perilaku manusia, serta apa yang dikejar oleh setiap orang dalam hidupnya
sebagai sesuatu yang bernilai. Artinya Etika deskriptif tersebut berbicara
mengenai fakta secara apa adanya, yakni mengenai nilai dan perilaku manusia
sebagai suatu fakta yang terkait dengan situasi dan realitas yang membudaya.
Dapat disimpulkan bahwa tentang kenyataan dalam penghayatan nilai atau tanpa
nilai dalam suatu masyarakat yang dikaitkan dengan kondisi tertentu
memungkinkan manusia dapat bertindak secara etis.
b)
Etika
Normatif : Etika yang menetapkan berbagai sikap dan perilaku yang ideal dan
seharusnya dimiliki oleh manusia atau apa yang seharusnya dijalankan oleh
manusia dan tindakan apa yang bernilai dalam hidup ini. Jadi Etika Normatif
merupakan normanorma yang dapat menuntun agar manusia bertindak secara baik dan
menghindarkan hal-hal yang buruk, sesuai dengan kaidah atau norma yang
disepakati dan berlaku di masyarakat.
Dari berbagai pembahasan
definisi tentang etika tersebut di atas dapat diklasifikasikan menjadi tiga (3)
jenis definisi, yaitu sebagai berikut:
a)
Jenis
pertama, etika dipandang sebagai cabang filsafat yang khusus membicarakan
tentang nilai baik dan buruk dari perilaku manusia.
b)
Jenis
kedua, etika dipandang sebagai ilmu pengetahuan yang membicarakan baik buruknya
perilaku manusia dalam kehidupan bersama. Definisi tersebut tidak melihat
kenyataan bahwa ada keragaman norma, karena adanya ketidaksamaan waktu dan
tempat, akhirnya etika menjadi ilmu yang deskriptif dan lebih bersifat
sosiologik.
c)
Jenis
ketiga, etika dipandang sebagai ilmu pengetahuan yang bersifat normatif, dan
evaluatif yang hanya memberikan nilai baik buruknya terhadap perilaku manusia.
Dalam hal ini tidak perlu menunjukkan adanya fakta, cukup informasi,
menganjurkan dan merefleksikan. Definisi etika ini lebih bersifat informatif,
direktif dan reflektif.
2) Moral
Dari segi bahasa berasal dari bahasa
latin, mores yaitu jamak dari kata mos yang berarti adat kebiasaan. Di dalam
kamus umum bahasa Indonesia dikatakan bahwa moral adalah penetuan baik buruk
terhadap perbuatan dan kelakuan. Dari segi istilah, moral adalah suatu istilah
yang digunakan untuk menentukan batas-batas dari sifat, kehendak, pendapat atau
perbuatan yang secara layak dapat dikatakan benar, salah, baik atau buruk.
Moral
dan etika sama artinya, tetapi dalam penilaian sehari-hari ada sedikit
perbedaan. Moral dan moralitas dipakai untuk perbuatan yang sedang dinilai.
Adapun etika dipakai untuk pengkajian sistem nilai yang ada.
Frans
Magnis Suseno (1987) membedakan ajaran moral dan etika. Ajaran moral adalah
ajaran, wejangan, khutbah, peraturan lisan atau tulisan tentang bagaimana
manusia harus hidup dan bertindak agar ia menjadi manusia yang baik. Sumber
langsung ajaran moral adalah berbagai orang dalam kedudukan yang berwenang,
seperti orang tua dan guru, para pemuka masyarakat dan agama, dan tulisan para
bijak. Etika bukan sumber tambahan bagi ajaran moral tetapi filsafat atau
pemikiran kritis dan mendasar tentang ajaran dan pandangan moral. Etika adalah
sebuah ilmu dan bukan sebuah ajaran. Jadi, etika dan ajaran moral tidak berada
ditingkat yang sama. Yang mengatakan bagaimana kita harus hidup, bukan etika
melaikan ajaran moral. Etika mau mengerti ajaran moral tertentu, atau bagaimana
kita dapat mengambil sikap yang bertanggung jawab berhadapan dengan berbagai
ajaran moral.
3)
Norma
Norma
berasal dari bahasa latin yakni norma, yang berarti penyikut atau siku-siku,
suatu alat perkakas yang digunakan oleh tukang kayu. Dari sinilah kita dapat
mengartikan norma sebagai pedoman, ukuran, aturan atau kebiasaan. Jadi norma
ialah sesuatu yang dipakai untuk mengatur sesuatu yang lain atau sebuah ukuran.
Dengan norma ini orang dapat menilai kebaikan atau keburukan suatu perbuatan.
Jadi
secara terminologi kita dapat mengambil kesimpulan menjadi dua macam. Pertama,
norma menunjuk suatu teknik. Kedua, norma menunjukan suatu keharusan. Kedua
makna tersebut lebih kepada yang bersifat normatif. Sedangkan norma norma yang
kita perlukan adalah norma yang bersifat prakatis, dimana norma yang dapat
diterapkan pada perbuatan-perbuatan konkret.
Dengan
tidak adanya norma maka kiranya kehidupan manusia akan manjadi brutal.
Pernyataan tersebut dilatar belakangi oleh keinginan manusia yang tidak ingin
tingkah laku manusia bersifat senonoh. Maka dengan itu dibutuhkan sebuah norma
yang lebih bersifat praktis. Memang secara bahasa norma agak bersifat normatif
akan tetapi itu tidak menuntup kemungkinan pelaksanaannya harus bersifat
praktis. Berikut ini adalah macam-macam norma:
1) Norma agama, yaitu peraturan hidup
yang diterima sebagai perintah, larangan, dan anjuran yang berasal dari Tuhan
Yang Maha Esa. Para pemeluk agama mengakui dan mempunyai keyakinan bahwa
peraturan-peraturan hidup berasal dari Tuhan dan merupakan tuntutan hidup ke
arah jalan yang benar, oleh sebab itu harus ditaati oleh para pemeluknya.
Pelanggaran terhadap norma agama akan mendapatkan hukuman di akhirat nanti.
2) Norma hukum, yaitu peraturan yang
dibuat oleh negara dengan hukuman tegas dan memaksa sehingga berfungsi mengatur
ketertiban dalam masyarakat. Norma hukum digunakan sebagai pedoman hidup yang
dibuat oleh badan berwenang untuk mengatur manusia dalam berbangsa dan
bernegara. Hukuman yang dikenakan bagi pelanggarnya telah ditetapkan dengan
kadar hukuman berdasarkan jenis pelanggaran yang telah dilakukan.
3) Norma kesopanan, yaitu peraturan hidup
yang timbul dari pergaulan manusia. Peraturan itu ditaati dan diikuti sebagai
pedoman tingkah laku manusia terhadap manusia lain di sekitarnya. Hukuman
terhadap norma kesopanan berasal dari masyarakat yaitu berupa celaan, makian,
cemoohan, atau diasingkan dari pergaulan di masyarakat tersebut.
4) Norma kesusilaan, yaitu peraturan
hidup yang datang dari hati sanubari manusia. Peraturan tersebut berupa suara
batin yang diakui dan diinsyafi oleh setiap orang sebagai pedoman sikap dan
perbuatan. Hukuman bagi pelanggaran terhadap norma kesusilaan berupa penyesalan
diri dan rasa bersalah.
4)
Kesusilaan
Leibniz
seorang filsuf pada zaman modern berpendapat bahwa kesusilaan adalah hasil
suatu “menjadi” yang terjadi di dalam jiwa. Yang dinamakan kesusilaan ialah
keseluruhan aturan, kaidah atau hukum yang mengambil bentuk amar dan larangan.
Baik hukum sepuluh amar, maupun kitab hukum Hammurabi, serangkaian ajaran
kesusilaan yang berasal dari Jaman Kuno, ajaran moral yang diberikan kepada
anak, senantiasa mengatakan berbuatlah begini atau seharsnyalah berbuat begini
atau hendalkah berbuat begini dan tidak berbuat begitu atau singkirkanlah hal
itu. Dengan kata lain kesusilaan menanamkan wajib dan darma. Secara demikian
kesusilaan mengatur perilaku manusia serta masyarakat, yang di dalamnya manusia
tersebut ada. Behubung dengan itu manusia tidak boleh semaunya sendiri berbuat
atau tidak berbuat sesuatu. Perilakunya diatur atau ditentukan oleh norma
kesusilaan.
Dapat
juga dikatakan bahwa manusia dibentuk oleh kesusilaan. Ini berarti bahwa
kehidupan alaminya, seperti nafsunya, kecenderungan, cita-cita, dan sebagainya,
seolah-olah disalurkan atau tertuang ke dalam bentuk tertentu. Demikianlah,
umpananya, perwujudan seksualitas, suatu keadaan alami, mendapatkan pembatasan,
disalurkan atau dibentuk oleh aturan-aturan yang mengatakan bahwa bagaimana
seharusnya seorang laki-laki dan perempuan yang sudah masak ditinjau dari segi
seksual berperilaku terhadap seseorang dari lawan jenisnya, syarat-syarat
apakah yang harus dipenuhi yang membolehkan wanita dan pria bergaul dan
sebagainya. Aturan-aturan ini secara keseluruhan dinamakan moral seksual.
Kumpulan
aturan semacam ini berlaku juga dalam bidang-bidang kehidupan yang lain. Dengan
demikian aturan-aturan tersebur sudah mengandaikan suatu kehidupan alami atau
katakanlah kehidupan hewani, namun menetapkan syarat-syarat tertentu bagi
perwujudannya. Manakala seseorang memenuhi syarat-syarat kesusilaan itu, maka
perilakunya dan dia sendiri disebut baik (dari segi kesusilaan), dalam hal yang
sebaliknya dikatakan buruk (dari segi kesusilaan).
Norma-norma
kesusilaan kadang- kadang bersifat tertulis dan kadang- kadang tidak. Di atas
telah diberikan contoh mengenai ketentuan-ketentuan moral yang dikodifikasikan
dan yang tidak dikodifikasikan. Sistem-sistem kesusilaan yang berasal dari para
pendiri agama yang besar atau para pembentuk hokum kesusilaan yang besar,
biasanya bersifat tertulis. Lazimnya yang demikian itu bersangkutan dengan
hal-hal pokok belaka, meskipun dapat saja terjadi bahwa kitab-kitab hukum
keagamaan bersifat agak panjang lebar.
Norma-norma
yang lebih terjabar misalnya tidak ditetapkan secara tertulis kecuali
kadang-kadang dalam buku-buku pegangan mengenai moral. Bahkan karya tulis yang
paling panjang lebar sekalipun tidak akan dapat memberikan segenap peraturan
khusus. Dalam bidang kesusilaan banyak yang tetap dihayati di dalam keinsyafan
kesusilaan manusai-manusia yang bersangkutan. Jelaslah kiranya tidak ada moral
tunggal yang diterima oleh segenap manusia, melainkan terdapat banyak moral
yang berbeda-beda menurut waktu, tempat dan keadaan.
B.
PROBLEMA ETIKA ILMU PENGETAHUAN
Penerapan dari ilmu pengetahuan dan teknologi membutuhkan
dimensi etis sebagai pertimbangan dan kadang-kadang mempunyai pengaruh pada
proses perkembangan lebih lanjut ilmu pengetahuan dan teknologi. Tanggung jawab
etis, merupakan sesutu yang menyangkut kegiatan maupun penggunaan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Dalam hal ini berarti ilmuan dalam mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi
harus memperhatikan kodrat manusia, martabat manusia, menjaga keseimbangan
ekosistem, bertanggung jawab pada kepentingan umum, kepentingan generasi
mendatang, dan bersifat universal, karena pada dasarnya ilmu pengetahuan dan
teknologi adalah untuk mengembangkan dan memperkokoh eksistensi manusia bukan
untuk menghancurkan eksistensi manusia.
Tanggung jawab ilmu pengetahuan dan teknologi menyangkut
juga tanggung jawab terhadap hal-hal yang akan dan telah diakibatkan ilmu
pengetahuan dan teknologi di masa-masa lalu, sekarang maupun apa akibatnya bagi
masa depan berdasar keputusan bebas manusia dalam kegitannya. Penemuan-penemuan
baru dalam ilmu pengetahuan teknologi terbukti ada yang dapat mengubah sesuatu
aturan baik alam maupun manusia. Hal ini tentu saja menuntup tanggung jawab
untuk selalu menjaga agar apa yang diwujudkannya dalam perubahan tersebut akan
merupakan perubahan yang terbaik bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi itu sendiri maupun bagi perkembangan eksistensi manusia secara utuh.
Tanggung jawab etis tidak hanya menyangkut mengupayakan
penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi secara tepat dalam kehidupaan manusia.
Akan tetapi, harus menyadari juga apa yang seharusnya dikerjakan atau tidak
dikerjakan untuk memperkokoh kedudukan serta martabat manusia yang seharusnya,
baik dalam hubungannya sebagai pribadi , dalam hubungan dengan lingkungannya
maupun sebagai makhluk yang bertanggung jawab terhadap khaliknya. Jadi sesuai
dengan pendapat Van Meslen (1985) bahwa perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi akan menghambat ataupun meningkatkan keberadaan manusia tergantung
pada manusianya itu sendiri, karena ilmu pengetahuan dan teknologi dilakukan
oleh manusia dan untuk kepentingan manusia dalam kebudayaannya.
Kemajuan di bidang teknologi memerlukan kedewasaan
manusia dalam arti sesungguhnya, yakni kedewasaan untuk mengerti mana yang
layak dan yang tidak layak, yang buruk dann yang baik. Tugas terpenting ilmu
pengetahuan dan teknologi adalah menyediakan bantuan agar manusia dapat
bersungguh-sungguh mencapai pengertian tentang martabat dirinya. Ilmu
pengetahuan dan teknologi bukan saja sarana untuk mengembangkan diri manusia
saja, tetapi juga merupakan hasil perkembangan dan kreativitas manusia itu
sendiri.
C. ILMU : BEBAS NILAI ATAU TIDAK
BEBAS NILAI
Rasionalisasi ilmu pengetahuan terjadi sejak Rene
Descartes dengan sikap skeptis-metodisnya meragukan segala sesuatu, kecuali
dirinya yang sedang ragu-ragu (cogito ergo sum). Sikap ini berlanjut pada masa
Aufklarung, suatu era yang merupakan usaha manusia untuk mencapai pemahaman
nasional tentang dirinya dan alam. Persoalannya adalah ilmu-ilmu itu berkembang dengan pesat apakah bebas
nilai atau justru tidak bebas nilai. Bebas nilai yang dimaksudkan sebagaimana
Josep Situmorang (1996) menyatakan bahwa bebas nilai, artinya tuntutan terhadap
setiap kegiatan ilmiah agar didasarkan pada hakikat ilmu pengetahuuan itu
sendiri.
Paling tidak ada tiga faktor sebagai indikator bahwa ilmu
pengetahuan itu bebas nilai, yaitu sebagai beriikut:
a) Ilmu harus bebas dari berbagai pengandaian, yakni bebas
dari pengaruh eksternal seperti faktor politis, idiologi, agama, budaya, dan
unsur kemasyarakatan lainnya.
b) Perlunya kebebebasan usaha ilmiah agar otonomi illmu pengetahuan terjamin
kebebasan itu menyangkut kemungkinan yang tersedia dan penentuan diri.
c) Penelitian ilmiah tidak luput dari pertimbangan etis yang
sering dituding menghambat kemajuan ilmu, karena nilai etis itu sendiri
bersifat universal.
Tokoh sosiologi, Weber, menyatakan bahwa ilmu sosial
harus bebas nilai , tetapi ilmu-ilmu sosial harus menjadi nilai relevan. Weber
tidak yakin katika para ilmuwan sosial melakukan aktivitasnya seperti mengajar
atau menulis mengenai bidang ilmu sosial mereka tidak terpengaruh oleh
kepentingan tertentu atau tidak bias. Nilai-nilai itu harus diimplikasikan oleh
bagian-bagian praktis ilmu sosial jika praktik itu mengandung tujuan atau
rasional. Tanpa keinginan melayani kepentingan segelintir orang budaya , maka
ilmuan sosial tidak beralasan mengajarkan atau menulis itu semua. Suatu sikap
moral yang sedemikian itu tidak mempunyai hubungan objektivitas ilmiah.
Kehati-hatian Weber dalam memutuskan apakah ilmu bebas
nilai atau tidak, bisa dipahami mengingat di satu pihak objektivitas merupakan
ciri mutlak ilmu pengetahuan, sedang dipihak lain subjek yang mengembangkan
ilmu dihadapkan pada nilai-nilai yang ikut menentukan pemilihan atas masalah
dan kesimpulan yang dibuatnya. Tokoh lain Habermas sebagaiman yang ditulis oleh
Rizal Mustansyir dan Misnal Munir (2001) berpendirian teori sebagai produk
ilmiah tidak pernah bebas nilai. Pendirian ini diwarisi Habermas dari pandangan
Husserl yang melihat fakta atau objek alam diperlukan oleh ilmu pengetahuan
sebagai kenyataan yang sudah jadi. Fakta atau objek ini sebenarnya sudah
tersusun secara spontan dan primordial dalam pengallaman sehari-hari, dalam Lebenswelt atau dunia sebagaimana dihayati. Setiap
ilmu pengetahuan mengambil dari Lebenswelt sejumlah fakta yang kemudian
diilmiahkan berdasarkan kepentingan praktis.
Tokoh lain Habermas sebagaimana yang ditulis oleh Rizal
Mustansyir dan Misnal Munir (2001) menegaskan lebih lanjut bahwa ilmu pengetahuan alam terbentuk berdasarkan
kepentingan teknis. Ilmu pengetahuan alam tidaklah netral, karena isinya tidak
lepas sama sekali dari kepentingan praktis. Ilmu sejarah dan hermeneutika juga
ditentukan oleh kepentingan praktis kendati dengan cara yang berbeda.
Kepentingannya adalah memelihara serta memperluas bidang alaing pengertian
antar manusia dan perbaikan komunikasi. Setiap kegiatan teoretis yang
melibatkan pola subjek-subjek selalu mengandung kepentingan tertentu.
Kepentingan itu bekerja pada tiga bidang, yaitu pekerjaan, bahasa, otoritas.
Pekerjaan merupakan kepentingan ilmu pengetahuan alam, bahasa merupakan
kepentingan ilmu sejarah dan harmeneutika, sedang otoritas merupakan
kepentingan ilmu sosial.
D.
PENDEKATAN ONTOLOGIS
Ontologi adalah cabang filsafat yang membicarakan tentang
hakekat yang ada. Dalam
kaitan dengan ilmu, landasan ontologi mempertanyakan tentang objek apa yang
telaah ilmu, Bagaimana wujud
yang hakiki dari objek tersebut, bagaimana hubungan antara objek tadi dengan daya
tangkap manusia (seperti berpikir, merasa, dan mengindra) yang membuahkan
pengetahuan.
Secara ontologi ilmu membatasi lingkup penelaahan
keilmuannya hanya pada daerah–daerah yang berada dalam jangkauan pengalaman
manusia. Objek penalaahan yang berada dalam batas pra-pengalaman dan
pasca-pengalaman diserahkan ilmu kepada pengetahuan lain. Ilmu hanya merupakan
salah satu pengetahuan dari sekian banyak pengetahuan yang mencoba menelaah
kehidupan dalam batas ontologis tertentu. Penetapan lingkup batas penelaahan
keilmuan yang bersifat empiris ini adalah konsisten dengan asas epistemologi
keilmuan yang mensyaratkan adanya verifikasi secara empiris dalam proses
penemuan dan penyusunan pernyataan yang bersifat benar secara ilmiah. Dalam
kaitannya dengan kaidah moral bahwa dalam menetapkan objek penelaahan, kegiatan
keilmuan tidak boleh melakukan upaya yang bersifat mengubah kodrat manusia,
merendahkan martabat manusia, dan mencampuri permasalahan kehidupan. Di samping
itu, secara ontologis ilmu bersifat netral terhadap nilai-nilai yang bersifat
dogmatik dalam menafsirkan hakikat realitas sebab ilmu merupakan upaya manusia
untuk mempelajari alam sebagaimana adanya.
E. PENDEKATAN EPISTIMOLOGIS
Epistemologi adalah cabang filsafat yang membicarakan
tentang asal muasal, sumber, metode, struktur, dan validitas atau kebenaran
pengetahuan. Dalam kaitan dengan ilmu, landasan epistemologi mempertanyakan
bagaimana proses yang memungkinkan ditimbanya pengetahuan yang berupa ilmu,Bagaimana prosedurnya, Hal-hal apa yang harus diperhatikan agar kita
mendapatkan pengetahuan yang benar, Apa yang disebut kebenaran itu sendiri, Apa kriterianya, Cara atau teknik atau sarana apa yang membantu kita
dalam mendapatkan pengetahuan yang berupa ilmu.
Landasan epistemologi ilmu tercermin secara operasional
dalam metode ilmiah. Pada dasarnya metode ilmiah merupakan cara ilmu memeroleh
dan menyusun tubuh pengetahuannya berdasarkan:
a)
kerangka
pemikiran yang bersifat logis dengan argumentasi yang bersifat konsisten dengan
pengetahuan sebelumnya yang telah berhasil disusun,
b)
menjabarkan
hipotesis yang merupakan deduksi dari kerangka pemikiran tersebut,
c)
melakukan
verifikasi terhadap hipotesis termaksud untuk menguji kebenaran pernyataannya
secara faktual.
Kerangka pemikiran yang logis adalah argumentasi yang
bersifat rasional dalam mengembangkan penjelasan terhadap fenomena alam.
Verifikasi secara empiris berarti evaluasi secara objektif dari suatu
pernyataan hipotesis terhadap pernyataan faktual. Verifikasi ini berarti bahwa
ilmu terbuka untuk kebenaran lain selain yang terkandung dalam hipotesis.
Demikian juga verifikasi faktual membuka diri terhadap kritik terhadap kerangka
pemikiran yang mendasari pengajuan hipotesis. Kebenaran ilmiah dengan
keterbukaan terhadap kebenaran baru mempunyai sifat pragmatis yang prosesnya
secara berulang (siklus) berdasarkan cara berpikir kritis.
F.
PENDEKATAN AKSIOLOGIS
Aksiologi adalah cabang filsafat yang mempelajari tentang
nilai secara umum. Sebagai landasan ilmu, aksiologi mempertanyakan untuk apa
pengetahuan yang berupa ilmu itu dipergunakan,Bagaimana kaitan antara cara penggunaan tersebut dengan
kaidah-kaidah moral, Bagaimana penentuan objek yang ditelaah berdasarkan
pilihan-pilihan moral, Bagaimana kaitan antara teknik prosedural yang
merupakan operasionalisasi metode ilmiah dengan norma-norma moral atau
profesional.
Pada`dasarnya ilmu harus digunakan dan dimanfaatkan
untuk kemaslahatan manusia. Dalam hal ini ilmu dapat dimanfaatkan sebagai
sarana atau alat dalam meningkatkan taraf hidup manusia dengan memerhatikan
kodrat manusia, martabat manusia, dan kelestarian atau keseimbangan alam. Untuk
kepentingan manusiatersebut, pengetahuan ilmiah yang diperoleh dan disusun
secara komunal dan universal.
G. SIKAP ILMIAH YANG HARUS DIMILIKI ILMUAN
Para ilmuan sebagai orang yang profesional dalam bidang
keilmuan sudah barang tentu mereka juga perlu memiliki visi moral, yaitu moral
khusus sebagai ilmuan. Moral inilah di dalam filsafat ilmu disebut juga sebagai
sikap ilmiah. Sikap ilmiah harus dimiliki oleh setiap ilmuan. Hal ini
disebabkan oleh sikap ilmiah yang merupakan suatu sikap yang diarahkan untuk
mencapai pengetahuan ilmiah yang bersifat objektif. Sikap ilmiah bagi seorang
ilmuan bukanlah membahas tentang tujuan dari ilmu, melainkan bagaimana cara
untuk mencapai suatu ilmu yang bebas dari prasangka pribadi dan dapat
dipertanggungjawabkan secara sosial untuk melestarikan keseimbangan alam
semesta ini, serta dapat dipertanggungjawabkan kepada Tuhan. Artinya, kehendak
manusia selaras dengan kehendak Tuhan. Sikap ilmiah yang perlu dimiliki oleh
para ilmuan menurut Abbas Hamami M., sebagai berikut:
a)
Tidak adanya
rasa pamrih (disinterstedness).
b)
Bersikap
selektif.
c)
Adanya rasa
percaya yang layak baik terhadap kenyataan maupun terhadap alat-alat indra
serta budi (mind).
d)
Adanya sikap
yang berdasar pada suatu kepercayaan (believe) dan dengan merasa pasti
(conviction) bahwa setiap pendapat atau teori yang terdahulu telah mencapai
kepastian.
e)
Adanya suatu
kegiatan rutin bahwa seorang ilmuan harus selalu tidak puas terhadap penelitian
yang telah dilakukan.
f)
Seorang ilmuan
harus memiliki sikap etis. Yang perlu diperhatikan bagi para ilmuan khususnya
di Indonesia adalah sebagaimana tertuang dalam ketetapan MPR RI nomor
VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa, khususnya etika keilmuan
dijelaskan bahwa etika keilmuan dimaksudkan untuk menjunjung tinggi nilai-nilai
kemanusiaan, ilmu pengetahuan dan teknologi agar warga bangsa mampu menjaga
harkat dan martabatnya, berpihak pada kebenaran untuk mencapai kemaslahatan dan
kemajuan sesuai dengan nilai-nilai agama dan budaya.
III.
PENUTUP
Dari pembahasan di atas, dapat disimpulkan sebagai
berikut.
1. Secara terminologi etika adalah cabang filsafat yang
mebicarakan tingkah laku atauperbuatanmanusia dalam hubungannya dengan baik
buruk. Yang dapat dinilai baik buruk adalah sikap manusia yaang menyangkut
perbuatan, tingkah laku, gerakan-gerakan, kata-kata, dan sebagainya.
2. Moral dan atau moralitas dipakai untuk perbuatan yang
sedang dinilai. Adapun etika dipakai untuk pengkajian sistem nilai yang ada.
3. Norma adalah alat tukang kayu dan tukang batu yang berupa
segitiga. Kemudian norma berarti sebuah ukuran. Pada perkembangannya norma
diartikan garis pengarah atau suatu peraturan.
4. Tugas kesusilaan pertama ialah meningkatkan perkembangan
itu dalam diri manusia sendiri. Kesusilaan hanya berkaitan dengan batin kita.
5. Tanggung jawab ilmu pengetahuan dan teknologi menyangkut
juga tanggung jawab terhadap hal-hal yang akan dan telah diakibatkan ilmu
pengetahuan dan teknologi di masa-masa lalu, sekarang maupun apa akibatnya bagi
masa depan berdasar keputusan bebas manusia dalam kegiatannya.
DAFTAR PUSTAKA
Suhartono,
Suparlan. 2008. Filsafat Ilmu Pengetahuan. Jogjakarta
: Ar-Ruzz Media
Surajiyo. 2008.
Filsafat Ilmu dan Perkembangannya di Indonesia. Jakarta: Bumi Aksara
Syafiie, Inu
Kencana. 2010. Pengantar Filsafat. Bandung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar