Sabtu, 04 Maret 2017

ETIKA KEILMUAN

Tugas Kelompok
Mata Kuliah Filsafat Ilmu Perikanan


ETIKA KEILMUAN



OLEH:

MUHAMMAD TAKWIER MAKMUR P3300 214 003
IBNU MALKAN HASBI                      P3300 214 005
SAJRIAWATI                                                P3300 214 301 WAHYUDDIN                                        P3300 214 401


MAGISTER ILMU PERIKANAN
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2014

I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ilmu berupaya mengungkapkan realitas sebagaimana adanya, sedangkan moral pada dasarnya adalah petunjuk tentang apa yang seharusnya dilakukan manusia. Hasil-hasil kegiatan keilmuan memberikan alternatif untuk memberikan keputusan politik dengan berkiblat pada pertimbangan moral. Ilmuan memiliki tanggung jawab profesional, khususnya di dunia ilmu dan dalam masyarakat ilmuan itu sendiri serta mengenai metodologi yang dipakainya. Ilmuan juga memikul tanggung jawab sosial yang bisa dibedakan atas tanggung jawab legal yang formal sifatnya, dan tanggung jawab moral yang lebih luas cakupannya.
Agar mendapatkan pengertian yang jelas mengenai kaitan antara ilmu dan moral, maka kajiannya harus didekati dari ketiga komponen tiang penyangga tubuh pengetahuan, yakni ontologi, epistemologi, dan aksiologi. Namun sebelum sampai pada ketiga pendekatan tersebut, dibahas dahulu mengenai etika, moral, norma, dan kesusilaan, kemudian pengertian dan ciri-ciri ilmu.

B. Rumusan Masalah
1.    Apa yang dimaksud etika,moral, norma dan kesusilaan?
2.    Bagaimana problema etika ilmu pengetahuan?
3.    Apakah ilmu bebas nilai atau tidak bebas nilai?
4.    Apa yang dimaksud pendekatan ontologis?
5.    Apa yang dimaksud pendekatan epistemologi?
6.    Apa yang dimaksud pendekatan aksiologi?
7.    Apa saja sikap ilmiah yang dimiliki ilmuan?



II. PEMBAHASAN
A. ANTARA ETIKA, MORAL, NORMA DAN KESUSILAAN
1) Etika
Secara bahasa etika berasal dari bahasa Yunani yaitu ethos yang berarti adat istiadat ( kebiasaan ), kecenderungan hati untuk melakukan perbuatan. Secara terminologi etika adalah cabang filsafat yang membicarakan tingkah laku atau perbuatan manusia dalam hubungannya dengan baik buruk. Yang dapat dinilai baik buruk adalah sikap manusia yaitu yang meyangkut perbuatan, tingkah laku, gerakan-gerakan, kata-kata dan sebagainya. Adapun motif, watak, suara hati sulit untuk dinilai. Perbuatan atau tingkah laku yang dikerjakan dengan kesadaran sajalah yang dapat dinilai, sedangkan yang dikerjakan dengan tidak sadar tidak dapat dinilai baik buruk.
Menurut Sunoto (1982) etika dapat dibagi menjadi etika deskritif dan etika normatif. Etika deskritif hanya melukiskan, menggambarkan, menceritakan apa adanya, tidak memberikan penilaian, tidak mengajarkan bagaimana seharusnya berbuat. Contohnya sejarah etika. Adapun etika normatif sudah memberikan penilaian yang baik dan yang buruk, yang harus dikerjakan dan yang tidak.
Etika normatif dapat dibagi menjadi etika umum dan etika khusus. Etika umum membicarakan prinsip-prinsip umum, seperti apakah nilai, motivasi suatu perbuatan, suara hati, dan sebagainya. Etika khusus adalah pelaksanaan prinsip-prinsip umum, seperti etika pergaulan, etika dalam pekerjaan dan sebagainya. (Sunoto, 1982, hlm.6):
a)    Etika Deskritif : Etika yang menelaah secara kritis dan rasional tentang sikap dan perilaku manusia, serta apa yang dikejar oleh setiap orang dalam hidupnya sebagai sesuatu yang bernilai. Artinya Etika deskriptif tersebut berbicara mengenai fakta secara apa adanya, yakni mengenai nilai dan perilaku manusia sebagai suatu fakta yang terkait dengan situasi dan realitas yang membudaya. Dapat disimpulkan bahwa tentang kenyataan dalam penghayatan nilai atau tanpa nilai dalam suatu masyarakat yang dikaitkan dengan kondisi tertentu memungkinkan manusia dapat bertindak secara etis.
b)    Etika Normatif : Etika yang menetapkan berbagai sikap dan perilaku yang ideal dan seharusnya dimiliki oleh manusia atau apa yang seharusnya dijalankan oleh manusia dan tindakan apa yang bernilai dalam hidup ini. Jadi Etika Normatif merupakan normanorma yang dapat menuntun agar manusia bertindak secara baik dan menghindarkan hal-hal yang buruk, sesuai dengan kaidah atau norma yang disepakati dan berlaku di masyarakat.
Dari berbagai pembahasan definisi tentang etika tersebut di atas dapat diklasifikasikan menjadi tiga (3) jenis definisi, yaitu sebagai berikut:
a)    Jenis pertama, etika dipandang sebagai cabang filsafat yang khusus membicarakan tentang nilai baik dan buruk dari perilaku manusia.
b)    Jenis kedua, etika dipandang sebagai ilmu pengetahuan yang membicarakan baik buruknya perilaku manusia dalam kehidupan bersama. Definisi tersebut tidak melihat kenyataan bahwa ada keragaman norma, karena adanya ketidaksamaan waktu dan tempat, akhirnya etika menjadi ilmu yang deskriptif dan lebih bersifat sosiologik.
c)    Jenis ketiga, etika dipandang sebagai ilmu pengetahuan yang bersifat normatif, dan evaluatif yang hanya memberikan nilai baik buruknya terhadap perilaku manusia. Dalam hal ini tidak perlu menunjukkan adanya fakta, cukup informasi, menganjurkan dan merefleksikan. Definisi etika ini lebih bersifat informatif, direktif dan reflektif.
2) Moral
        Dari segi bahasa berasal dari bahasa latin, mores yaitu jamak dari kata mos yang berarti adat kebiasaan. Di dalam kamus umum bahasa Indonesia dikatakan bahwa moral adalah penetuan baik buruk terhadap perbuatan dan kelakuan. Dari segi istilah, moral adalah suatu istilah yang digunakan untuk menentukan batas-batas dari sifat, kehendak, pendapat atau perbuatan yang secara layak dapat dikatakan benar, salah, baik atau buruk.
Moral dan etika sama artinya, tetapi dalam penilaian sehari-hari ada sedikit perbedaan. Moral dan moralitas dipakai untuk perbuatan yang sedang dinilai. Adapun etika dipakai untuk pengkajian sistem nilai yang ada.
Frans Magnis Suseno (1987) membedakan ajaran moral dan etika. Ajaran moral adalah ajaran, wejangan, khutbah, peraturan lisan atau tulisan tentang bagaimana manusia harus hidup dan bertindak agar ia menjadi manusia yang baik. Sumber langsung ajaran moral adalah berbagai orang dalam kedudukan yang berwenang, seperti orang tua dan guru, para pemuka masyarakat dan agama, dan tulisan para bijak. Etika bukan sumber tambahan bagi ajaran moral tetapi filsafat atau pemikiran kritis dan mendasar tentang ajaran dan pandangan moral. Etika adalah sebuah ilmu dan bukan sebuah ajaran. Jadi, etika dan ajaran moral tidak berada ditingkat yang sama. Yang mengatakan bagaimana kita harus hidup, bukan etika melaikan ajaran moral. Etika mau mengerti ajaran moral tertentu, atau bagaimana kita dapat mengambil sikap yang bertanggung jawab berhadapan dengan berbagai ajaran moral.
3) Norma
Norma berasal dari bahasa latin yakni norma, yang berarti penyikut atau siku-siku, suatu alat perkakas yang digunakan oleh tukang kayu. Dari sinilah kita dapat mengartikan norma sebagai pedoman, ukuran, aturan atau kebiasaan. Jadi norma ialah sesuatu yang dipakai untuk mengatur sesuatu yang lain atau sebuah ukuran. Dengan norma ini orang dapat menilai kebaikan atau keburukan suatu perbuatan.
Jadi secara terminologi kita dapat mengambil kesimpulan menjadi dua macam. Pertama, norma menunjuk suatu teknik. Kedua, norma menunjukan suatu keharusan. Kedua makna tersebut lebih kepada yang bersifat normatif. Sedangkan norma norma yang kita perlukan adalah norma yang bersifat prakatis, dimana norma yang dapat diterapkan pada perbuatan-perbuatan konkret.
Dengan tidak adanya norma maka kiranya kehidupan manusia akan manjadi brutal. Pernyataan tersebut dilatar belakangi oleh keinginan manusia yang tidak ingin tingkah laku manusia bersifat senonoh. Maka dengan itu dibutuhkan sebuah norma yang lebih bersifat praktis. Memang secara bahasa norma agak bersifat normatif akan tetapi itu tidak menuntup kemungkinan pelaksanaannya harus bersifat praktis. Berikut ini adalah macam-macam norma:
1)    Norma agama, yaitu peraturan hidup yang diterima sebagai perintah, larangan, dan anjuran yang berasal dari Tuhan Yang Maha Esa. Para pemeluk agama mengakui dan mempunyai keyakinan bahwa peraturan-peraturan hidup berasal dari Tuhan dan merupakan tuntutan hidup ke arah jalan yang benar, oleh sebab itu harus ditaati oleh para pemeluknya. Pelanggaran terhadap norma agama akan mendapatkan hukuman di akhirat nanti.
2)    Norma hukum, yaitu peraturan yang dibuat oleh negara dengan hukuman tegas dan memaksa sehingga berfungsi mengatur ketertiban dalam masyarakat. Norma hukum digunakan sebagai pedoman hidup yang dibuat oleh badan berwenang untuk mengatur manusia dalam berbangsa dan bernegara. Hukuman yang dikenakan bagi pelanggarnya telah ditetapkan dengan kadar hukuman berdasarkan jenis pelanggaran yang telah dilakukan.
3)    Norma kesopanan, yaitu peraturan hidup yang timbul dari pergaulan manusia. Peraturan itu ditaati dan diikuti sebagai pedoman tingkah laku manusia terhadap manusia lain di sekitarnya. Hukuman terhadap norma kesopanan berasal dari masyarakat yaitu berupa celaan, makian, cemoohan, atau diasingkan dari pergaulan di masyarakat tersebut.
4)    Norma kesusilaan, yaitu peraturan hidup yang datang dari hati sanubari manusia. Peraturan tersebut berupa suara batin yang diakui dan diinsyafi oleh setiap orang sebagai pedoman sikap dan perbuatan. Hukuman bagi pelanggaran terhadap norma kesusilaan berupa penyesalan diri dan rasa bersalah.
4) Kesusilaan
Leibniz seorang filsuf pada zaman modern berpendapat bahwa kesusilaan adalah hasil suatu “menjadi” yang terjadi di dalam jiwa. Yang dinamakan kesusilaan ialah keseluruhan aturan, kaidah atau hukum yang mengambil bentuk amar dan larangan. Baik hukum sepuluh amar, maupun kitab hukum Hammurabi, serangkaian ajaran kesusilaan yang berasal dari Jaman Kuno, ajaran moral yang diberikan kepada anak, senantiasa mengatakan berbuatlah begini atau seharsnyalah berbuat begini atau hendalkah berbuat begini dan tidak berbuat begitu atau singkirkanlah hal itu. Dengan kata lain kesusilaan menanamkan wajib dan darma. Secara demikian kesusilaan mengatur perilaku manusia serta masyarakat, yang di dalamnya manusia tersebut ada. Behubung dengan itu manusia tidak boleh semaunya sendiri berbuat atau tidak berbuat sesuatu. Perilakunya diatur atau ditentukan oleh norma kesusilaan.
Dapat juga dikatakan bahwa manusia dibentuk oleh kesusilaan. Ini berarti bahwa kehidupan alaminya, seperti nafsunya, kecenderungan, cita-cita, dan sebagainya, seolah-olah disalurkan atau tertuang ke dalam bentuk tertentu. Demikianlah, umpananya, perwujudan seksualitas, suatu keadaan alami, mendapatkan pembatasan, disalurkan atau dibentuk oleh aturan-aturan yang mengatakan bahwa bagaimana seharusnya seorang laki-laki dan perempuan yang sudah masak ditinjau dari segi seksual berperilaku terhadap seseorang dari lawan jenisnya, syarat-syarat apakah yang harus dipenuhi yang membolehkan wanita dan pria bergaul dan sebagainya. Aturan-aturan ini secara keseluruhan dinamakan moral seksual.
Kumpulan aturan semacam ini berlaku juga dalam bidang-bidang kehidupan yang lain. Dengan demikian aturan-aturan tersebur sudah mengandaikan suatu kehidupan alami atau katakanlah kehidupan hewani, namun menetapkan syarat-syarat tertentu bagi perwujudannya. Manakala seseorang memenuhi syarat-syarat kesusilaan itu, maka perilakunya dan dia sendiri disebut baik (dari segi kesusilaan), dalam hal yang sebaliknya dikatakan buruk (dari segi kesusilaan).
Norma-norma kesusilaan kadang- kadang bersifat tertulis dan kadang- kadang tidak. Di atas telah diberikan contoh mengenai ketentuan-ketentuan moral yang dikodifikasikan dan yang tidak dikodifikasikan. Sistem-sistem kesusilaan yang berasal dari para pendiri agama yang besar atau para pembentuk hokum kesusilaan yang besar, biasanya bersifat tertulis. Lazimnya yang demikian itu bersangkutan dengan hal-hal pokok belaka, meskipun dapat saja terjadi bahwa kitab-kitab hukum keagamaan bersifat agak panjang lebar.
Norma-norma yang lebih terjabar misalnya tidak ditetapkan secara tertulis kecuali kadang-kadang dalam buku-buku pegangan mengenai moral. Bahkan karya tulis yang paling panjang lebar sekalipun tidak akan dapat memberikan segenap peraturan khusus. Dalam bidang kesusilaan banyak yang tetap dihayati di dalam keinsyafan kesusilaan manusai-manusia yang bersangkutan. Jelaslah kiranya tidak ada moral tunggal yang diterima oleh segenap manusia, melainkan terdapat banyak moral yang berbeda-beda menurut waktu, tempat dan keadaan.
B. PROBLEMA ETIKA ILMU PENGETAHUAN
Penerapan dari ilmu pengetahuan dan teknologi membutuhkan dimensi etis sebagai pertimbangan dan kadang-kadang mempunyai pengaruh pada proses perkembangan lebih lanjut ilmu pengetahuan dan teknologi. Tanggung jawab etis, merupakan sesutu yang menyangkut kegiatan maupun penggunaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dalam hal ini berarti ilmuan dalam mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi harus memperhatikan kodrat manusia, martabat manusia, menjaga keseimbangan ekosistem, bertanggung jawab pada kepentingan umum, kepentingan generasi mendatang, dan bersifat universal, karena pada dasarnya ilmu pengetahuan dan teknologi adalah untuk mengembangkan dan memperkokoh eksistensi manusia bukan untuk menghancurkan eksistensi manusia.
Tanggung jawab ilmu pengetahuan dan teknologi menyangkut juga tanggung jawab terhadap hal-hal yang akan dan telah diakibatkan ilmu pengetahuan dan teknologi di masa-masa lalu, sekarang maupun apa akibatnya bagi masa depan berdasar keputusan bebas manusia dalam kegitannya. Penemuan-penemuan baru dalam ilmu pengetahuan teknologi terbukti ada yang dapat mengubah sesuatu aturan baik alam maupun manusia. Hal ini tentu saja menuntup tanggung jawab untuk selalu menjaga agar apa yang diwujudkannya dalam perubahan tersebut akan merupakan perubahan yang terbaik bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi itu sendiri maupun bagi perkembangan eksistensi manusia secara utuh.
Tanggung jawab etis tidak hanya menyangkut mengupayakan penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi secara tepat dalam kehidupaan manusia. Akan tetapi, harus menyadari juga apa yang seharusnya dikerjakan atau tidak dikerjakan untuk memperkokoh kedudukan serta martabat manusia yang seharusnya, baik dalam hubungannya sebagai pribadi , dalam hubungan dengan lingkungannya maupun sebagai makhluk yang bertanggung jawab terhadap khaliknya. Jadi sesuai dengan pendapat Van Meslen (1985) bahwa perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi akan menghambat ataupun meningkatkan keberadaan manusia tergantung pada manusianya itu sendiri, karena ilmu pengetahuan dan teknologi dilakukan oleh manusia dan untuk kepentingan manusia dalam kebudayaannya.
Kemajuan di bidang teknologi memerlukan kedewasaan manusia dalam arti sesungguhnya, yakni kedewasaan untuk mengerti mana yang layak dan yang tidak layak, yang buruk dann yang baik. Tugas terpenting ilmu pengetahuan dan teknologi adalah menyediakan bantuan agar manusia dapat bersungguh-sungguh mencapai pengertian tentang martabat dirinya. Ilmu pengetahuan dan teknologi bukan saja sarana untuk mengembangkan diri manusia saja, tetapi juga merupakan hasil perkembangan dan kreativitas manusia itu sendiri.
C. ILMU : BEBAS NILAI ATAU TIDAK BEBAS NILAI
Rasionalisasi ilmu pengetahuan terjadi sejak Rene Descartes dengan sikap skeptis-metodisnya meragukan segala sesuatu, kecuali dirinya yang sedang ragu-ragu (cogito ergo sum). Sikap ini berlanjut pada masa Aufklarung, suatu era yang merupakan usaha manusia untuk mencapai pemahaman nasional tentang dirinya dan alam. Persoalannya adalah ilmu-ilmu itu berkembang dengan pesat apakah bebas nilai atau justru tidak bebas nilai. Bebas nilai yang dimaksudkan sebagaimana Josep Situmorang (1996) menyatakan bahwa bebas nilai, artinya tuntutan terhadap setiap kegiatan ilmiah agar didasarkan pada hakikat ilmu pengetahuuan itu sendiri.
Paling tidak ada tiga faktor sebagai indikator bahwa ilmu pengetahuan itu bebas nilai, yaitu sebagai beriikut:
a)    Ilmu harus bebas dari berbagai pengandaian, yakni bebas dari pengaruh eksternal seperti faktor politis, idiologi, agama, budaya, dan unsur kemasyarakatan lainnya.
b)    Perlunya kebebebasan usaha ilmiah agar otonomi illmu pengetahuan terjamin kebebasan itu menyangkut kemungkinan yang tersedia dan penentuan diri.
c)    Penelitian ilmiah tidak luput dari pertimbangan etis yang sering dituding menghambat kemajuan ilmu, karena nilai etis itu sendiri bersifat universal.
Tokoh sosiologi, Weber, menyatakan bahwa ilmu sosial harus bebas nilai , tetapi ilmu-ilmu sosial harus menjadi nilai relevan. Weber tidak yakin katika para ilmuwan sosial melakukan aktivitasnya seperti mengajar atau menulis mengenai bidang ilmu sosial mereka tidak terpengaruh oleh kepentingan tertentu atau tidak bias. Nilai-nilai itu harus diimplikasikan oleh bagian-bagian praktis ilmu sosial jika praktik itu mengandung tujuan atau rasional. Tanpa keinginan melayani kepentingan segelintir orang budaya , maka ilmuan sosial tidak beralasan mengajarkan atau menulis itu semua. Suatu sikap moral yang sedemikian itu tidak mempunyai hubungan objektivitas ilmiah.
Kehati-hatian Weber dalam memutuskan apakah ilmu bebas nilai atau tidak, bisa dipahami mengingat di satu pihak objektivitas merupakan ciri mutlak ilmu pengetahuan, sedang dipihak lain subjek yang mengembangkan ilmu dihadapkan pada nilai-nilai yang ikut menentukan pemilihan atas masalah dan kesimpulan yang dibuatnya. Tokoh lain Habermas sebagaiman yang ditulis oleh Rizal Mustansyir dan Misnal Munir (2001) berpendirian teori sebagai produk ilmiah tidak pernah bebas nilai. Pendirian ini diwarisi Habermas dari pandangan Husserl yang melihat fakta atau objek alam diperlukan oleh ilmu pengetahuan sebagai kenyataan yang sudah jadi. Fakta atau objek ini sebenarnya sudah tersusun secara spontan dan primordial dalam pengallaman sehari-haridalam Lebenswelt atau dunia sebagaimana dihayati. Setiap ilmu pengetahuan mengambil dari Lebenswelt sejumlah fakta yang kemudian diilmiahkan berdasarkan kepentingan praktis.
Tokoh lain Habermas sebagaimana yang ditulis oleh Rizal Mustansyir dan Misnal Munir (2001) menegaskan lebih lanjut bahwa ilmu pengetahuan alam terbentuk berdasarkan kepentingan teknis. Ilmu pengetahuan alam tidaklah netral, karena isinya tidak lepas sama sekali dari kepentingan praktis. Ilmu sejarah dan hermeneutika juga ditentukan oleh kepentingan praktis kendati dengan cara yang berbeda. Kepentingannya adalah memelihara serta memperluas bidang alaing pengertian antar manusia dan perbaikan komunikasi. Setiap kegiatan teoretis yang melibatkan pola subjek-subjek selalu mengandung kepentingan tertentu. Kepentingan itu bekerja pada tiga bidang, yaitu pekerjaan, bahasa, otoritas. Pekerjaan merupakan kepentingan ilmu pengetahuan alam, bahasa merupakan kepentingan ilmu sejarah dan harmeneutika, sedang otoritas merupakan kepentingan ilmu sosial.
D. PENDEKATAN ONTOLOGIS
Ontologi adalah cabang filsafat yang membicarakan tentang hakekat yang ada. Dalam kaitan dengan ilmu, landasan ontologi mempertanyakan tentang objek apa yang telaah ilmuBagaimana wujud yang hakiki dari objek tersebut bagaimana hubungan antara objek tadi dengan daya tangkap manusia (seperti berpikir, merasa, dan mengindra) yang membuahkan pengetahuan.
Secara ontologi ilmu membatasi lingkup penelaahan keilmuannya hanya pada daerah–daerah yang berada dalam jangkauan pengalaman manusia. Objek penalaahan yang berada dalam batas pra-pengalaman dan pasca-pengalaman diserahkan ilmu kepada pengetahuan lain. Ilmu hanya merupakan salah satu pengetahuan dari sekian banyak pengetahuan yang mencoba menelaah kehidupan dalam batas ontologis tertentu. Penetapan lingkup batas penelaahan keilmuan yang bersifat empiris ini adalah konsisten dengan asas epistemologi keilmuan yang mensyaratkan adanya verifikasi secara empiris dalam proses penemuan dan penyusunan pernyataan yang bersifat benar secara ilmiah. Dalam kaitannya dengan kaidah moral bahwa dalam menetapkan objek penelaahan, kegiatan keilmuan tidak boleh melakukan upaya yang bersifat mengubah kodrat manusia, merendahkan martabat manusia, dan mencampuri permasalahan kehidupan. Di samping itu, secara ontologis ilmu bersifat netral terhadap nilai-nilai yang bersifat dogmatik dalam menafsirkan hakikat realitas sebab ilmu merupakan upaya manusia untuk mempelajari alam sebagaimana adanya.
E. PENDEKATAN EPISTIMOLOGIS
Epistemologi adalah cabang filsafat yang membicarakan tentang asal muasal, sumber, metode, struktur, dan validitas atau kebenaran pengetahuan. Dalam kaitan dengan ilmu, landasan epistemologi mempertanyakan bagaimana proses yang memungkinkan ditimbanya pengetahuan yang berupa ilmu,Bagaimana prosedurnya, Hal-hal apa yang harus diperhatikan agar kita mendapatkan pengetahuan yang benar, Apa yang disebut kebenaran itu sendiri, Apa kriterianya, Cara atau teknik atau sarana apa yang membantu kita dalam mendapatkan pengetahuan yang berupa ilmu.
Landasan epistemologi ilmu tercermin secara operasional dalam metode ilmiah. Pada dasarnya metode ilmiah merupakan cara ilmu memeroleh dan menyusun tubuh pengetahuannya berdasarkan:
a)    kerangka pemikiran yang bersifat logis dengan argumentasi yang bersifat konsisten dengan pengetahuan sebelumnya yang telah berhasil disusun,
b)    menjabarkan hipotesis yang merupakan deduksi dari kerangka pemikiran tersebut,
c)    melakukan verifikasi terhadap hipotesis termaksud untuk menguji kebenaran pernyataannya secara faktual.
Kerangka pemikiran yang logis adalah argumentasi yang bersifat rasional dalam mengembangkan penjelasan terhadap fenomena alam. Verifikasi secara empiris berarti evaluasi secara objektif dari suatu pernyataan hipotesis terhadap pernyataan faktual. Verifikasi ini berarti bahwa ilmu terbuka untuk kebenaran lain selain yang terkandung dalam hipotesis. Demikian juga verifikasi faktual membuka diri terhadap kritik terhadap kerangka pemikiran yang mendasari pengajuan hipotesis. Kebenaran ilmiah dengan keterbukaan terhadap kebenaran baru mempunyai sifat pragmatis yang prosesnya secara berulang (siklus) berdasarkan cara berpikir kritis.
F. PENDEKATAN AKSIOLOGIS
Aksiologi adalah cabang filsafat yang mempelajari tentang nilai secara umum. Sebagai landasan ilmu, aksiologi mempertanyakan untuk apa pengetahuan yang berupa ilmu itu dipergunakan,Bagaimana kaitan antara cara penggunaan tersebut dengan kaidah-kaidah moral, Bagaimana penentuan objek yang ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan moral, Bagaimana kaitan antara teknik prosedural yang merupakan operasionalisasi metode ilmiah dengan norma-norma moral atau profesional.
 Pada`dasarnya ilmu harus digunakan dan dimanfaatkan untuk kemaslahatan manusia. Dalam hal ini ilmu dapat dimanfaatkan sebagai sarana atau alat dalam meningkatkan taraf hidup manusia dengan memerhatikan kodrat manusia, martabat manusia, dan kelestarian atau keseimbangan alam. Untuk kepentingan manusiatersebut, pengetahuan ilmiah yang diperoleh dan disusun secara komunal dan universal.
G. SIKAP ILMIAH YANG HARUS DIMILIKI ILMUAN
Para ilmuan sebagai orang yang profesional dalam bidang keilmuan sudah barang tentu mereka juga perlu memiliki visi moral, yaitu moral khusus sebagai ilmuan. Moral inilah di dalam filsafat ilmu disebut juga sebagai sikap ilmiah. Sikap ilmiah harus dimiliki oleh setiap ilmuan. Hal ini disebabkan oleh sikap ilmiah yang merupakan suatu sikap yang diarahkan untuk mencapai pengetahuan ilmiah yang bersifat objektif. Sikap ilmiah bagi seorang ilmuan bukanlah membahas tentang tujuan dari ilmu, melainkan bagaimana cara untuk mencapai suatu ilmu yang bebas dari prasangka pribadi dan dapat dipertanggungjawabkan secara sosial untuk melestarikan keseimbangan alam semesta ini, serta dapat dipertanggungjawabkan kepada Tuhan. Artinya, kehendak manusia selaras dengan kehendak Tuhan. Sikap ilmiah yang perlu dimiliki oleh para ilmuan menurut Abbas Hamami M., sebagai berikut:
a)    Tidak adanya rasa pamrih (disinterstedness).
b)    Bersikap selektif.
c)    Adanya rasa percaya yang layak baik terhadap kenyataan maupun terhadap alat-alat indra serta budi (mind).
d)    Adanya sikap yang berdasar pada suatu kepercayaan (believe) dan dengan merasa pasti (conviction) bahwa setiap pendapat atau teori yang terdahulu telah mencapai kepastian.
e)    Adanya suatu kegiatan rutin bahwa seorang ilmuan harus selalu tidak puas terhadap penelitian yang telah dilakukan.
f)     Seorang ilmuan harus memiliki sikap etis. Yang perlu diperhatikan bagi para ilmuan khususnya di Indonesia adalah sebagaimana tertuang dalam ketetapan MPR RI nomor VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa, khususnya etika keilmuan dijelaskan bahwa etika keilmuan dimaksudkan untuk menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, ilmu pengetahuan dan teknologi agar warga bangsa mampu menjaga harkat dan martabatnya, berpihak pada kebenaran untuk mencapai kemaslahatan dan kemajuan sesuai dengan nilai-nilai agama dan budaya. 








III. PENUTUP
Dari pembahasan di atas, dapat disimpulkan sebagai berikut.
1.    Secara terminologi etika adalah cabang filsafat yang mebicarakan tingkah laku atauperbuatanmanusia dalam hubungannya dengan baik buruk. Yang dapat dinilai baik buruk adalah sikap manusia yaang menyangkut perbuatan, tingkah laku, gerakan-gerakan, kata-kata, dan sebagainya.
2.    Moral dan atau moralitas dipakai untuk perbuatan yang sedang dinilai. Adapun etika dipakai untuk pengkajian sistem nilai yang ada.
3.    Norma adalah alat tukang kayu dan tukang batu yang berupa segitiga. Kemudian norma berarti sebuah ukuran. Pada perkembangannya norma diartikan garis pengarah atau suatu peraturan.
4.    Tugas kesusilaan pertama ialah meningkatkan perkembangan itu dalam diri manusia sendiri. Kesusilaan hanya berkaitan dengan batin kita.
5.    Tanggung jawab ilmu pengetahuan dan teknologi menyangkut juga tanggung jawab terhadap hal-hal yang akan dan telah diakibatkan ilmu pengetahuan dan teknologi di masa-masa lalu, sekarang maupun apa akibatnya bagi masa depan berdasar keputusan bebas manusia dalam kegiatannya. 



DAFTAR PUSTAKA
Suhartono, Suparlan. 2008. Filsafat Ilmu Pengetahuan. Jogjakarta : Ar-Ruzz Media

Surajiyo. 2008. Filsafat Ilmu dan Perkembangannya di Indonesia. Jakarta: Bumi Aksara

Syafiie, Inu Kencana. 2010. Pengantar Filsafat. Bandung





Tidak ada komentar:

Posting Komentar

window.setTimeout(function() { document.body.className = document.body.className.replace('loading', ''); }, 10);