Sabtu, 04 Maret 2017

IKAN BILIH DI DANAU SINGKARAK

EKOLOGI PERAIRAN LANJUTAN
IKAN BILIH DI DANAU SINGKARAK



OLEH :
IBNU MALKAN HASBI
P3300214005







PROGRAM MAGISTER ILMU PERIKANAN
PROGRAM PASCA SARJANA
FAKULTAS ILMU KELAUTAN DAN PERIKANAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2014
IKAN BILIH DI DANAU SINGKARAK
1.   Sistematika Ikan Bilih
Ikan bilih atau dalam bahasa ilmiah disebut Mystacoleucus padangensis Bleeker adalah ikan endemik yang hidup di danau Singakarak, Sumatera Barat (Kottelat, M. et al. 1993). Sebagai ikan endemik, ikan bilih hidup dalam geografis yang terbatas sehingga di dunia hanya ditemukan di danau Singkarak. Oleh karena itu, danau Singkarak merupakan habitat asli ikan bilih (Kartamihardja dan Sarnita, 2008).
Secara sistematik, ikan bilih termasuk ke dalam klasisfikasi sebagai berikut
(Kartamihardja dan Sarnita, 2008):
Kelas      : Actinopterygii
Ordo      : Cypriniformes
Famili : Cyprinidae
Sub Famili : Cyprininae
Genus : Mystacoleucus
Species : Mystacoleucus padangensis Bleeker
Synonim : Capoeta padangensis Bleeker
Puntius padangensis Bleeker
Systomus padangensis Bleeker
Menurut Azhar (1993), tanda-tanda Mystacoleucus padangensis Bleeker antara lain sebagai berikut:
1.   Sirip punggung mempunyai jari-jari keras (berduri) yang rebah ke muka, kadangkadang duri ini tertutup oleh sisik sehingga tidak kelihatan jika tidak diraba. Sirip dubur tidak mempunyai jari-jari keras, hanya terdapat 8- 9 jari-jari lemah;
2.   Badan bulat panjang dan pipih, tinggi badan 2-3 cm, panjang badan maksimum 11,6 cm;
3.   Sisiknya kecil-kecil dan tipis, terdapat 37-39 baris antara tengah-tengah dasar sirip punggung dan gurat sisi (lateral line);
4. Tubuh ditutupi oleh sisik yang berwarna keperak-perakan. Punggung dan ekor bagian sebelah sirip berwarna kehitam-hitaman.
Bentuk badan ikan bilih sangat mirip dengan ikan genggehek (Jawa Barat) atau wader (Jawa Tengah dan Timur), yaitu Mystacoleucus merginatus yang banyak terdapat di perairan umum Sumatera, Jawa dan Kalimantan. Juga mirip dengan ikan wader cakul (Jawa Tengah dan Timur), beunteur (Jawa Barat) atau pora-pora (Sumatera Utara), yaitu Pontius binotatus. Karena ikan pora-pora di Danau Toba tidak pernah tertangkap lagi sejak tahun 1990-an, maka masyarakat sekitar danau tersebut menyebut ikan bilih sebagai ikan pora-pora. Nama pora-pora yang sebenarnya adalah ikan bilih terus melekat dan populer sampai sekarang (Kartamihardja dan Sarnita, 2008).
Ikan bilih rentan terhadap kepunahan akibat kerusakan habitat dan eksploitasi yang intensif. Di danau Singkarak sebagai habitat asli, ikan bilih merupakan hasil tangkapan utama di samping jenis-jenis ikan ekonomis lainnya, seperti ikan asang (Osteochilus brachynopterus), sasau (Hampala ampalong), dan turik (Cyclocheilichthys de Zwani). Pada tahun 2002, sekitar 90% dari hasil tangkapan nelayan di danau Singkarak adalah ikan bilih (Kartamihardja dan Sarnita, 2008).
Harga ikan bilih yang ekonomis tinggi menjadikan ikan ini sebagai komoditas ekspor dalam bentuk kering ke negara jiran, Malaysia dan Singapura. Sejak tahun 2000, hasil tangkapan ikan bilih di danau ini terus menurun dan ukuran ikan mengecil (Syandri, 1996) dengan panjang total maksimum hanya mencapai 9,0 cm (Kartamihardia dan Sarnita, 2008).
Menurut Kartamihardja dan Sarnita (2008), produksi tangkapan ikan bilih yang terus menurun mengurangi ikan bilih yang dikeringkan sehingga pengusaha ikan bilih kering satu per satu mulai gulung tikar dan tidak lagi mengekspor ikan bilih kering.
2.   Siklus Hidup Ikan Bilih
Ikan bilih melakukan reproduksi atau pemijahan dengan mengikuti aliran air di sungai yang bermuara di danau. Induk jantan dan betina berruaya ke arah sungai dengan kecepatan arus berkisar antara 0,3-0,6 m/detik dan kedalaman antara 10-20 cm. Habitat pemijahan adalah perairan sungai yang jernih, dengan suhu air relatif rendah, berkisar 24,0-26,0°C, dasar sungai yang berbatu kerikil dan atau pasir. Faktor lingkungan yang mempengaruhi pemijahan ikan bilih adalah arus air dan substrat dasar. Ikan bilih menuju ke daerah pemijahan menggunakan orientasi visual dan insting. Sesampai di habitat pemijahan, betina melepaskan telur dan bersamaan jantan melepaskan sperma untuk membuahi telur. Telur yang telah dibuahi berwarna transparan dan tenggelam di dasar sungai (di kerikil atau pasir) untuk kemudian hanyut terbawa arus air masuk ke danau. Telur-telur tersebut akan menetas di danau sekitar 19 jam setelah dibuahi pada suhu air antara 27,0-28,0°C dan larva berkembang di danau menjadi dewasa.
Populasi ikan bilih memijah setiap hari sepanjang tahun, mulai dari sore sampai dengan pagi hari. Puncak pemijahan ikan bilih terjadi pada pagi hari mulai dari jam 5.00 sampai dengan jam 9.00, seperti diperlihatkan dengan banyak telur yang dilepaskan. Pemijahan ikan bilih bersifat parsial, yakni telur yang telah matang kelamin tidak dikeluarkan sekaligus tetapi hanya sebagian saja dalam satu kali periode pemijahan (Kartamihardja dan Koeshendrajana, 2006).
Menurut Kartamihardja dan Sarnita (2008), pola tingkah laku pemijahan ikan bilih dimanfaatkan nelayan di danau Singakarak untuk menangkap menggunakan alat penangkap dipasang di aliran sungai oleh masyarakat setempat disebut alahan. Alahan ini menangkap ikan bilih yang akan memijah, sehingga jika terus-menerus dilakukan tanpa pengelolaan yang baik, populasi ikan bilih akan menurun dan menjadi langka atau punah. Penangkapan ikan bilih diperparah karena ikan yang sudah terperangkap di alahan tersebut ditangkap menggunakan alat tangkap listrik (setrum). Hal ini menyebabkan kematian induk ikan dan telur-telur yang baru
dipijahkan.
Menurut Kartamihardja dan Sarnita (2008), pengangkapan ikan dengan menggunakan alahan berlangsung antara 6-7 bulan setiap tahun, dilakukan di tiga sungai, yaitu Paninggahan, Sumpur dan Muara Pingai. Di ketiga sungai tersebut terdapat ± 4-7 buah alahan dengan kisaran produksi antara 48-760 kg/hari di Paningahan, 15-161 kg/hari di Sumpur, dan 8-390 kg/hari di Muara Pingai. Selain menggunakan alahan, ikan bilih juga ditangkap dengan jaring insang dan jala. Jaring insang yang digunakan nelayan di danau Singkarak mempunyai mata 0,75-1,0 inci sehingga ikan bilih yang tertangkap juga berukuran panjang lebih kecil dari 8,5 cm.
3.   Introduksi Ikan Bilih di Danau Toba
Introduksi ikan (fish introduction/ transplantation) adalah upaya memindahkan atau menebar ikan dari suatu perairan ke perairan lain dimana jenis ikan yang ditebarkan semula tidak terdapat di perairan tersebut. Dengan demikian, introduksi ikan bilih berarti memindahkan ikan bilih dari habitat asli di danau Singkarak ke habitat baru di Danau Toba (Kartamihardja dan Sarnita, 2008).
Menurut Kartamihardja dan Sarnita (2008), introduksi ikan bilih ke Danau Toba dilakukan melalui proses penelitian yang cukup panjang. Kegiatan penelitian pertama adalah mempelajari tingkah laku di habitat asli Danau Singkarak yang meliputi aspek makanan dan kebiasaan makan, pertumbuhan, dan reproduksi serta karakteristik habitat yang diperlukan, baik habitat pemakanan, asuhan dan pemijahan.
Bersamaan juga dilakukan studi karakteristik habitat, ketersediaan makanan dan struktur populasi ikan serta relung ekologi Danau Toba. Penelitian di Danau Toba bertujuan agar ikan bilih dapat menempati habitat yang sesuai, makanan alami tersedia dan dapat mengisi relung ekologis yang kosong sehingga tidak berkompetisi dan merugikan jenis ikan asli Danau Toba. Untuk keperluan penyediaan benih diambil dari hasil tangkapan di danau Singkarak. Upaya penangkapan harus dilakukan dengan alat tangkap yang memungkinkan ikan tertangkap hidup dan tidak terluka, yaitu alahan. Namun semua alahan tidak beroperasi karena permukaan air danau Singakarak tinggi, merendam seluruh alahan.
Penangkapan ikan dilakukan menggunakan anco (lift net). Anco dibuat dari bahan waring 1,5 x 1,5 m dengan bingkai dari bambu. Anco dipasang di pinggir pantai danau Singkarak dekat UPT Perikanan Perairan Umum/ Hatchery Singkarak. Pengangkatan alat tangkap anco dilakukan setiap satu jam. Benih dan atau calon induk bilih yang tertangkap ditampung dalam kantong waring dan bak yang diberi cukup aerasi karena ikan bilih mudah mati dan stress terutama jika kekurangan oksigen. Hasil tangkapan disimpan satu hari dan keesokan hari ikan yang sehat dikemas dalam kantong plastik. Setiap kantong diisi air 5 liter, ikan bilih 200 ekor dan diisi oksigen sampai penuh. Sebanyak 18 kantong dikemas dengan total 3400 ekor. Ikan yang diangkut berukuran panjang total antara 4,1-5,7 cm dengan berat antara 0,9-1,5 g/ekor. Perjalanan dari danau Singakarak menuju Parapat di Danau Toba melalui jalan darat ditempuh sekitar 18 jam. Waktu pengangkutan dipilih malam hari agar suhu udara selama perjalanan cukup dingin sehingga mengurangi stress terhadap ikan bilih. Sesampai di Parapat, ikan bilih ditampung dalam keramba jaring apung untuk adaptasi dengan kondisi air Danau Toba. Proses aklimatisasi dalam keramba jaring apung dilakukan selama satu hari. Tanggal 3 Januari 2003, ikan bilih ditebarkan di daerah Parapat dan Ajibata di Faktor-faktor kunci keberhasilan introduksi ikan bilih antara lain adalah karakteristik limnologis Danau Toba mirip dengan Danau Singkarak, habitat pemijahan ikan bilih di Danau Toba lebih banyak/luas dari Danau Singkarak, makanan alami sebagai makanan utama ikan bilih cukup tersedia dan belum seluruhnya dimanfaatkan oleh jenis ikan lain yang hidup di Danau Toba, dan daerah pelagis dan limnetik Danau Toba jauh lebih luas (sepuluh kali lipat dari luas Danau Singkarak) mampu diisi oleh ikan bilih.
Karakteristik limnologis Danau Singkarak sebagai habitat asli ikan bilih dan
Danau Toba sebagai habitat baru sebagai berikut :

Berdasarkan hasil monitoring perkembangan ikan bilih di Danau Toba, diketahui setelah 2 tahun penebaran, ikan bilih tumbuh dan berkembang biak dengan baik. Panjang total ikan bilih di Danau Toba antara 4,0-15,8 cm dan berat antara 0,5- 30,0 gram, sedangkan di Danau Singkarak panjang hanya 4,0-8,5 cm dan berat antara 0,5-5,1 gram. Berdasarkan hasil pengukuran tahun 2008 di tempat pendaratan ikan di Parapat, ikan bilih mencapai panjang total 21,6 cm, berat 95 gram (Kartamihardia dan Sarnita, 2008).
Berdasarkan seksualitasnya, populasi ikan bilih termasuk dalam populasi heteroseksual yaitu terdiri dari ikan-ikan yang berbeda seksualitasnya (Effendie 2002). Untuk dapat membedakan antara ikan jantan dan betina dapat dilihat dari sifat seksual primer dan sekunder. Pada ikan bilih (Mystacoleucus padangensis Blekker.) jantan memiliki sifat seksual sekunder bersifat sementara yaitu terdapat semacam jerawat di atas kepala dengan susunan yang khas. Selain itu warna sisik yang lebih gelap dimiliki oleh ikan bilih jantan. Ikan bilih betina memiliki warna sisik yang lebih terang dan tidak ada tanda diatas kepala seperti yang dimiliki ikan bilih jantan.
Di Danau Toba, ikan bilih dewasa matang gonad pada ukuran panjang antara 10,1-14,7 cm dengan rata-rata 11,9 cm dan kisaran berat antara 7,9-28,7 gram dengan rata-rata 15,8 gram (Kartamihardja dan Sarnita, 2008). Fekunditas ini lebih tinggi dari fekunditas ikan bilih di danau Singkarak yang rata-rata berkisar antara 2.155-5.000 butir (Syandri, 1996). Hubungan antara fekunditas dengan panjang total ikan bilih di Danau Toba mengikuti persamaan: F = 0,0237*L2,6463, (R2 = 0,6114), sedangkan di Danau Singkarak hubungan fekunditas dengan panjang total ikan bilih mengikuti persamaan: F = 0,03632*L2,6653, (R2 = 0,82) (Syandri, 1996).

Di Danau Singkarak, presentasi komposisi makanan ikan bilih adalah detritus (39,4%), zooplankton (34,6%), fitoplankton (13,6%) dan serasah (12,4%) sedangkan di Danau Toba berupa detritus (47,5%) dan fitoplankton (24,4%) dan makanan tambahannya adalah zooplankton (8,8%) dan serasah (19,4%). Hal ini menunjukkan bahwa ikan bilih yang diintroduksikan dapat memanfaatkan kelimpahan makanan alami yang tersedia di Danau Toba yang selama ini belum banyak dimanfaatkan oleh jenis ikan lain. Dengan demikian, ikan bilih di danau Toba telah dapat mengisi relung (niche) makanan yang kosong. (Kartamihardja dan Purnomo, 2006). 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

window.setTimeout(function() { document.body.className = document.body.className.replace('loading', ''); }, 10);