EKOLOGI PERAIRAN LANJUTAN
IKAN BILIH DI DANAU SINGKARAK
OLEH :
IBNU MALKAN
HASBI
P3300214005
PROGRAM MAGISTER
ILMU PERIKANAN
PROGRAM PASCA
SARJANA
FAKULTAS ILMU
KELAUTAN DAN PERIKANAN
UNIVERSITAS
HASANUDDIN
MAKASSAR
2014
IKAN
BILIH DI DANAU SINGKARAK
1. Sistematika
Ikan Bilih
Ikan
bilih atau dalam bahasa ilmiah disebut Mystacoleucus padangensis Bleeker
adalah ikan endemik yang hidup di danau Singakarak, Sumatera Barat (Kottelat,
M. et al. 1993). Sebagai ikan endemik, ikan bilih hidup dalam geografis
yang terbatas sehingga di dunia hanya ditemukan di danau Singkarak. Oleh
karena itu, danau Singkarak merupakan habitat asli ikan bilih
(Kartamihardja dan Sarnita, 2008).
Secara
sistematik, ikan bilih termasuk ke dalam klasisfikasi sebagai berikut
(Kartamihardja dan Sarnita, 2008):
Kelas
: Actinopterygii
Ordo
: Cypriniformes
Famili
: Cyprinidae
Sub
Famili : Cyprininae
Genus
: Mystacoleucus
Species
: Mystacoleucus padangensis Bleeker
Synonim
: Capoeta padangensis Bleeker
Puntius
padangensis Bleeker
Systomus
padangensis Bleeker
Menurut
Azhar (1993), tanda-tanda Mystacoleucus padangensis Bleeker antara lain
sebagai berikut:
1.
Sirip
punggung mempunyai jari-jari keras (berduri) yang rebah ke muka, kadangkadang duri
ini tertutup oleh sisik sehingga tidak kelihatan jika tidak diraba. Sirip dubur
tidak mempunyai jari-jari keras, hanya terdapat 8- 9 jari-jari lemah;
2.
Badan
bulat panjang dan pipih, tinggi badan 2-3 cm, panjang badan maksimum 11,6 cm;
3.
Sisiknya
kecil-kecil dan tipis, terdapat 37-39 baris antara tengah-tengah dasar sirip
punggung dan gurat sisi (lateral line);
4. Tubuh ditutupi oleh sisik yang
berwarna keperak-perakan. Punggung dan ekor bagian sebelah sirip berwarna
kehitam-hitaman.
Bentuk
badan ikan bilih sangat mirip dengan ikan genggehek (Jawa Barat) atau wader
(Jawa Tengah dan Timur), yaitu Mystacoleucus merginatus yang banyak terdapat
di perairan umum Sumatera, Jawa dan Kalimantan. Juga mirip dengan ikan wader
cakul (Jawa Tengah dan Timur), beunteur (Jawa Barat) atau pora-pora (Sumatera
Utara), yaitu Pontius binotatus. Karena ikan pora-pora di Danau Toba tidak
pernah tertangkap lagi sejak tahun 1990-an, maka masyarakat sekitar danau tersebut
menyebut ikan bilih sebagai ikan pora-pora. Nama pora-pora yang sebenarnya
adalah ikan bilih terus melekat dan populer sampai sekarang (Kartamihardja dan
Sarnita, 2008).
Ikan
bilih rentan terhadap kepunahan akibat kerusakan habitat dan eksploitasi yang
intensif. Di danau Singkarak sebagai habitat asli, ikan bilih merupakan hasil tangkapan
utama di samping jenis-jenis ikan ekonomis lainnya, seperti ikan asang (Osteochilus
brachynopterus), sasau (Hampala ampalong), dan turik (Cyclocheilichthys
de Zwani). Pada tahun 2002, sekitar 90% dari hasil tangkapan nelayan di
danau Singkarak adalah ikan bilih (Kartamihardja dan Sarnita, 2008).
Harga
ikan bilih yang ekonomis tinggi menjadikan ikan ini sebagai komoditas ekspor
dalam bentuk kering ke negara jiran, Malaysia dan Singapura. Sejak tahun 2000,
hasil tangkapan ikan bilih di danau ini terus menurun dan ukuran ikan mengecil
(Syandri, 1996) dengan panjang total maksimum hanya mencapai 9,0 cm
(Kartamihardia dan Sarnita, 2008).
Menurut
Kartamihardja dan Sarnita (2008), produksi tangkapan ikan bilih yang terus
menurun mengurangi ikan bilih yang dikeringkan sehingga pengusaha ikan bilih
kering satu per satu mulai gulung tikar dan tidak lagi mengekspor ikan bilih
kering.
2. Siklus
Hidup Ikan Bilih
Ikan
bilih melakukan reproduksi atau pemijahan dengan mengikuti aliran air di sungai
yang bermuara di danau. Induk jantan dan betina berruaya ke arah sungai dengan
kecepatan arus berkisar antara 0,3-0,6 m/detik dan kedalaman antara 10-20 cm.
Habitat pemijahan adalah perairan sungai yang jernih, dengan suhu air relatif rendah,
berkisar 24,0-26,0°C, dasar sungai yang berbatu kerikil dan atau pasir. Faktor
lingkungan yang mempengaruhi pemijahan ikan bilih adalah arus air dan substrat
dasar. Ikan bilih menuju ke daerah pemijahan menggunakan orientasi visual dan
insting. Sesampai di habitat pemijahan, betina melepaskan telur dan bersamaan
jantan melepaskan sperma untuk membuahi telur. Telur yang telah dibuahi berwarna
transparan dan tenggelam di dasar sungai (di kerikil atau pasir) untuk kemudian
hanyut terbawa arus air masuk ke danau. Telur-telur tersebut akan menetas di
danau sekitar 19 jam setelah dibuahi pada suhu air antara 27,0-28,0°C dan larva
berkembang di danau menjadi dewasa.
Populasi
ikan bilih memijah setiap hari sepanjang tahun, mulai dari sore sampai dengan
pagi hari. Puncak pemijahan ikan bilih terjadi pada pagi hari mulai dari jam
5.00 sampai dengan jam 9.00, seperti diperlihatkan dengan banyak telur yang
dilepaskan. Pemijahan ikan bilih bersifat parsial, yakni telur yang telah matang
kelamin tidak dikeluarkan sekaligus tetapi hanya sebagian saja dalam satu kali periode
pemijahan (Kartamihardja dan Koeshendrajana, 2006).
Menurut
Kartamihardja dan Sarnita (2008), pola tingkah laku pemijahan ikan bilih
dimanfaatkan nelayan di danau Singakarak untuk menangkap menggunakan alat penangkap
dipasang di aliran sungai oleh masyarakat setempat disebut alahan. Alahan ini
menangkap ikan bilih yang akan memijah, sehingga jika terus-menerus dilakukan
tanpa pengelolaan yang baik, populasi ikan bilih akan menurun dan menjadi
langka atau punah. Penangkapan ikan bilih diperparah karena ikan yang sudah
terperangkap di alahan tersebut ditangkap menggunakan alat tangkap listrik (setrum).
Hal ini menyebabkan kematian induk ikan dan telur-telur yang baru
dipijahkan.
Menurut
Kartamihardja dan Sarnita (2008), pengangkapan ikan dengan menggunakan alahan
berlangsung antara 6-7 bulan setiap tahun, dilakukan di tiga sungai, yaitu
Paninggahan, Sumpur dan Muara Pingai. Di ketiga sungai tersebut terdapat ± 4-7
buah alahan dengan kisaran produksi antara 48-760 kg/hari di Paningahan, 15-161
kg/hari di Sumpur, dan 8-390 kg/hari di Muara Pingai. Selain menggunakan
alahan, ikan bilih juga ditangkap dengan jaring insang dan jala. Jaring insang
yang digunakan nelayan di danau Singkarak mempunyai mata 0,75-1,0 inci sehingga
ikan bilih yang tertangkap juga berukuran panjang lebih kecil dari 8,5 cm.
3. Introduksi
Ikan Bilih di Danau Toba
Introduksi
ikan (fish introduction/ transplantation) adalah upaya memindahkan atau
menebar ikan dari suatu perairan ke perairan lain dimana jenis ikan yang
ditebarkan semula tidak terdapat di perairan tersebut. Dengan demikian,
introduksi ikan bilih berarti memindahkan ikan bilih dari habitat asli di danau
Singkarak ke habitat baru di Danau Toba (Kartamihardja dan Sarnita, 2008).
Menurut
Kartamihardja dan Sarnita (2008), introduksi ikan bilih ke Danau Toba dilakukan
melalui proses penelitian yang cukup panjang. Kegiatan penelitian pertama
adalah mempelajari tingkah laku di habitat asli Danau Singkarak yang meliputi
aspek makanan dan kebiasaan makan, pertumbuhan, dan reproduksi serta karakteristik
habitat yang diperlukan, baik habitat pemakanan, asuhan dan pemijahan.
Bersamaan
juga dilakukan studi karakteristik habitat, ketersediaan makanan dan struktur
populasi ikan serta relung ekologi Danau Toba. Penelitian di Danau Toba bertujuan
agar ikan bilih dapat menempati habitat yang sesuai, makanan alami tersedia dan
dapat mengisi relung ekologis yang kosong sehingga tidak berkompetisi dan
merugikan jenis ikan asli Danau Toba. Untuk keperluan penyediaan benih diambil
dari hasil tangkapan di danau Singkarak. Upaya penangkapan harus dilakukan
dengan alat tangkap yang memungkinkan ikan tertangkap hidup dan tidak terluka,
yaitu alahan. Namun semua alahan tidak beroperasi karena permukaan air danau
Singakarak tinggi, merendam seluruh alahan.
Penangkapan
ikan dilakukan menggunakan anco (lift net). Anco dibuat dari bahan
waring 1,5 x 1,5 m dengan bingkai dari bambu. Anco dipasang di pinggir pantai
danau Singkarak dekat UPT Perikanan Perairan Umum/ Hatchery Singkarak.
Pengangkatan alat tangkap anco dilakukan setiap satu jam. Benih dan atau calon
induk bilih yang tertangkap ditampung dalam kantong waring dan bak yang diberi
cukup aerasi karena ikan bilih mudah mati dan stress terutama jika kekurangan
oksigen. Hasil tangkapan disimpan satu hari dan keesokan hari ikan yang sehat
dikemas dalam kantong plastik. Setiap kantong diisi air 5 liter, ikan bilih 200
ekor dan diisi oksigen sampai penuh. Sebanyak 18 kantong dikemas dengan total
3400 ekor. Ikan yang diangkut berukuran panjang total antara 4,1-5,7 cm dengan
berat antara 0,9-1,5 g/ekor. Perjalanan dari danau Singakarak menuju Parapat di
Danau Toba melalui jalan darat ditempuh sekitar 18 jam. Waktu pengangkutan
dipilih malam hari agar suhu udara selama perjalanan cukup dingin sehingga
mengurangi stress terhadap ikan bilih. Sesampai di Parapat, ikan bilih
ditampung dalam keramba jaring apung untuk adaptasi dengan kondisi air Danau
Toba. Proses aklimatisasi dalam keramba jaring apung dilakukan selama satu
hari. Tanggal 3 Januari 2003, ikan bilih ditebarkan di daerah Parapat dan
Ajibata di Faktor-faktor kunci keberhasilan introduksi ikan bilih antara lain
adalah karakteristik limnologis Danau Toba mirip dengan Danau Singkarak,
habitat pemijahan ikan bilih di Danau Toba lebih banyak/luas dari Danau
Singkarak, makanan alami sebagai makanan utama ikan bilih cukup tersedia dan
belum seluruhnya dimanfaatkan oleh jenis ikan lain yang hidup di Danau Toba,
dan daerah pelagis dan limnetik Danau Toba jauh lebih luas (sepuluh kali lipat
dari luas Danau Singkarak) mampu diisi oleh ikan bilih.
Karakteristik
limnologis Danau Singkarak sebagai habitat asli ikan bilih dan
Danau Toba sebagai habitat
baru sebagai berikut :
Berdasarkan
hasil monitoring perkembangan ikan bilih di Danau Toba, diketahui setelah 2
tahun penebaran, ikan bilih tumbuh dan berkembang biak dengan baik. Panjang
total ikan bilih di Danau Toba antara 4,0-15,8 cm dan berat antara 0,5- 30,0
gram, sedangkan di Danau Singkarak panjang hanya 4,0-8,5 cm dan berat antara
0,5-5,1 gram. Berdasarkan hasil pengukuran tahun 2008 di tempat pendaratan ikan
di Parapat, ikan bilih mencapai panjang total 21,6 cm, berat 95 gram
(Kartamihardia dan Sarnita, 2008).
Berdasarkan
seksualitasnya, populasi ikan bilih termasuk dalam populasi heteroseksual yaitu
terdiri dari ikan-ikan yang berbeda seksualitasnya (Effendie 2002). Untuk dapat
membedakan antara ikan jantan dan betina dapat dilihat dari sifat seksual
primer dan sekunder. Pada ikan bilih (Mystacoleucus padangensis Blekker.)
jantan memiliki sifat seksual sekunder bersifat sementara yaitu terdapat
semacam jerawat di atas kepala dengan susunan yang khas. Selain itu warna sisik
yang lebih gelap dimiliki oleh ikan bilih jantan. Ikan bilih betina memiliki
warna sisik yang lebih terang dan tidak ada tanda diatas kepala seperti yang
dimiliki ikan bilih jantan.
Di
Danau Toba, ikan bilih dewasa matang gonad pada ukuran panjang antara 10,1-14,7
cm dengan rata-rata 11,9 cm dan kisaran berat antara 7,9-28,7 gram dengan
rata-rata 15,8 gram (Kartamihardja dan Sarnita, 2008). Fekunditas ini lebih tinggi
dari fekunditas ikan bilih di danau Singkarak yang rata-rata berkisar antara
2.155-5.000 butir (Syandri, 1996). Hubungan antara fekunditas dengan panjang
total ikan bilih di Danau Toba mengikuti persamaan: F = 0,0237*L2,6463, (R2 =
0,6114), sedangkan di Danau Singkarak hubungan fekunditas dengan panjang total
ikan bilih mengikuti persamaan: F = 0,03632*L2,6653, (R2 = 0,82) (Syandri,
1996).
Di
Danau Singkarak, presentasi komposisi makanan ikan bilih adalah detritus
(39,4%), zooplankton (34,6%), fitoplankton (13,6%) dan serasah
(12,4%) sedangkan di Danau Toba berupa detritus (47,5%) dan fitoplankton
(24,4%) dan makanan tambahannya adalah zooplankton (8,8%) dan
serasah (19,4%). Hal ini menunjukkan bahwa ikan bilih yang diintroduksikan
dapat memanfaatkan kelimpahan makanan alami yang tersedia di Danau Toba yang
selama ini belum banyak dimanfaatkan oleh jenis ikan lain. Dengan demikian,
ikan bilih di danau Toba telah dapat mengisi relung (niche) makanan yang
kosong. (Kartamihardja dan Purnomo, 2006).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar