TUGAS KELOMPOK
Prof. Dr, Ir. Musbir, M.Sc
MODEL DINAMIKA POPULASI
DAN EVALUASI STOCK
ASSESMENT DAN TINGKAT EKSPLOITASI STOK
IKAN LAYANG (Decapterus kurroides) DI PERAIRAN KABUPATEN BARRU TAHUN
2010 - 2014

IBNU MALKAN HASBI
P3300214005
ST. NURUL NAHDYAH P3300214013
PROGRAM MAGISTER ILMU PERIKANAN
FAKULTAS ILMU KELAUTAN DAN PERIKANAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2015
I. PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Kabupaten
Barru terletak diantara koordinat 4 0,5’49’– 4 47’35’ Lintang Selatan dan 199
35’ 00’ – 119 49’16’ Bujur Timur dengan luas daerah sekitar 1.174.74 Km2,
Kabupaten Barru yang terletak pada posisi lintas dengan bentangan pantai 78 Km.
Kabupaten Barru memiliki potensi kelautan dan Perikanan yang sangat besar.Garis
pantainya membentang di Wilayah Barat Kabupaten, menghadap ke selat Makassar.
Berbagai Budi Daya laut berpotensi untuk dikembangkan.Budidaya Keramba Jaring
apung yang menghasilkan Bandeng dan Nila Merah di Kecamatan Mallusetasi, Kerang
Mutiara di Pulau Panikiang,sementara di Kecamatan Tanete Rilau,Barru,Soppeng
Riaja dan Mallusetasi dapat dikembangkan budidaya rumput laut,Kepiting dan
Teripang.Sedangkan budidaya kerang-kerangan juga dikembangkan di Kecamatan
Balusu,Barru dan Mallusetasi (http://barrukab.bps.go.id,)
Potensi
perikanan di Kabupaten Barru terdiri dari perikanan laut
dan darat.Untuk jenis ikan laut yang dihasilkan, sebagian besar ikan
laut diperairan Kabupaten Barru
berpotensi ekspor, seperti: cakalang, tuna, tongkol, layang, kembung, tambang,
lamuru, kerapu dan beberapa ikan laut lainnya. Selain perikanan laut, perikanan
budidaya seperti tambak, laut, kolam, mina padi juga merupakan potensi yang
dapat dikembangkan. Komoditas budidaya tambak mayoritas adalah Ikan Bandeng,
Udang Windu, Udang Api-api. (Wordpress, 2014)
Ikan layang (Decapterus russelli)
mempunyai nama umum round
scad (Nurhakim, 1987). Ikan layang merupakan ikan yang mempunyai
kemampuan bergerak dengan cepat di air laut. Tingginya kecepatan tersebut dapat
dicapai karena bentuk tubuhnya yang seperti cerutu dan mempunyai sisik yang
sangat halus (Burhanuddin et.
al. 1981).
Sumberdaya
ikan pada umumnya bersifat open access,
yang menyebabkan setiap orang dapat berpartisipasi dan tidak ada batasan
mengenai besarnya upaya penangkapan yang dikerahkan atau sumberdaya ikan yang
boleh ditangkap. Sumberdaya ikan termasuk sumberdaya yang dapat pulih (renewable resources), tetapi penangkapan
yang terus meningkat tanpa adanya pembatasan akan menyebabkan terkurasnya
sumberdaya tersebut. Naamin (1984) diacu
dalam Suman (2004). Apabila kondisi pola pemanfaatan sumberdaya ikan layang
yang ada saat ini tidak berjalan, maka
dalam jangka panjang akan dapat menyebabkan sumberdaya ikan layang di Perairan Kabupaten Barru terancam dan akan mengalami
kepunahan.
Untuk
itu dibutuhkan model untuk menentukan estimasi hasil tangkapan maksimum lestari
dan upaya penangkapan optimum, yaitu salah satunya dengan menggunakan model
produksi surplus. Model surplus produksi menganalisis hasil tangkapan (catch)
dan upaya penangkapan (effort) beberapa tahun, yang dikembangkan oleh
Schaefer dan Fox. Sehingga, diperoleh nilai tangkapan maksimum lestari (Maximum Suistainable Yield/ MSY) dan
upaya penangkapan (effort) optimum
dalam kegiatan penangkapan sumberdaya ikan layang di perairan Kabupaten Barru
secara berkelanjutan.
B. Tujuan
dan Kegunaan
Tujuan dari
laporan ini adalah untuk mengetahui tingkat produksi lestari atau Maximum Sustainable Yield (MSY) dan
upaya penangkapan (effort) optimum
ikan layang (Decapterus
russelli) di perairan
Kabupaten Barru.
Kegunaan dari Makalah ini sebagai
dasar pertimbangan dalam pengelolaan sumber daya optimum ikan layang (Decapterus russelli)di
perairan Kabupaten Barru secara berkelanjutan.
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Klasifikasi dan Morfologi Ikan
Layang (Decapterus kurroides)
Menurut
Bleeker (1855) diacu dalam Prihatini (2006), ikan layang dapat
diklasifikasikan sebagai berikut :
Kingdom :
Animalia
Filum :
Chordata
Super
Kelas : Pisces
Kelas :
Actinopterygii
Sub
Kelas : Teleostei
Ordo :
Perciformes
Famili :
Carangidae
Genus : Decapterus

Ikan
layang hidup di perairan lepas pantai, dan ikan ini biasa memakan
plankton-plankton kecil.Decapterus kurroides memiliki ciri morfologi
sebagai berikut, dua sirip punggung (dorsal), dorsal 1 memiliki 8
jari-jari keras dan dorsal 2 memiliki 1 jari-jari keras dan 28-29
jari-jari lemah. Sirip dubur (anal) memiliki 3 jari-jari keras dan 22-25
jari-jari lemah. 5 Tubuhnya memiliki warna hijau kebiruan di daerah atas dan
keperakan di daerah bawah, operculum memiliki bintik-bintik hitam
kecil. Insang dilindungi oleh membran halus.
Decapterus
russelli di Indonesia disebut juga dengan Benggol, Kerok, dan Layang. Ikan
ini memiliki bentuk badan memanjang dan sedikit gepeng. Ciri lain adalah
dibelakang sirip pinggung kedua dan sirip dubur terdapat 1 jari-jari sirip
tambahan (finlet). Tubuhnya berwarna biru kehijauan, hijau pupus pada bagian
atas, dan putih perak pada bagian bawah. Siripnya berwarna abu kekuningan. Ikan
ini memiliki satu totol hitam pada tepian atas penutup ingsang. Decapterus
macrosoma disebut juga benggol deles, layang lidi, dan luncu. Ikan jenis
ini memiliki bentuk badan memanjang sperti cerutu dengan panjang mencapai 40cm.
Tubuhnya berwarna biru kehijauan bagian atas, dan putih perak bagian bawah.
Sirip-siripnya kuning pucat dan juga memiliki satu totol hitam pada bagian atas
penutup ingsang.
Decapterus
lajang memiliki rahang atas yang mencapai lengkung terdepan.
Tubuhnya berwarna biru pada bagian atas dan pada bagian bawah berwarna putih.
Dalam keadaan segar siripnya berwarna merah jambu. Ikan ini memiliki totol
hitam pada bagian belakang tuutp ingsang.
Decapterus
kurroides memiliki tubuh memanjang dan sedikit gepeng. Panjang tubuh
mencapai 17cm. Badan bagian atas berwarna biru kehijauan dan bagian bawah
berwarna putih keperak-perakan. Sirip ekor berwarna merah, sirip dorsal kadang
berwarna kehitaman dan sirip yang lain berwarna putih. Terdapat satu bintik hitam
pada garis tepi operculum.
Decapterus
muruadsi memiliki rahang atas hampir mencapai lengkung terdepan. Tubuh
bagian atas berwarna gelap dan bagian bawah berwarna putih. Pada bagian tengan
tubuhnya terdapat sirip memanjang berwarna kuning.
Decapterus
macarellus disebut juga dengan melalugis biru. Ikan ini tidak memiliki
gigi pada rahang atas. Tubuhnya berwarba biru metalik sampai kehitaman pada
bagian atas dan putih keperakan pada bagian bawah dengan panjang tubuh mencapai
28cm. Sirip ekor berwarna kuning kehitaman dan sirip lainnya berwarna putih
kehitaman. Ikan jenis ini juga memiliki bintik hitam kecil pada garis tepi
operculum.
B. Habitat dan Penyebaran
Ikan
layang (Decapterus kurroides) merupakan spesies ikan layang yang berada di
daerah dasar perairan. Penyebaran ikan layang ini sangat menyebar di daerah
perairan Indonesia, yaitu dari Pulau Seribu, P. bawean, P. Masalembo, Selat
Makassar, Selat Karimata, Selat Malaka, Laut Flores, Arafuru, Selat Bali, dan
Perairan Selatan Pulau Jawa. Decapterus kurroides termasuk jenis ikan
layang yang agak langka yang terdapat di perairan Palabuhanratu, Labuhan,
Muncar, Bali dan Aceh. Jenis ikan layang yang banyak di perairan Cisolok adalah
jenis layang Decapterus Kurroides dan masyarakat sekitar perairan
Cisolok menyebutnya ikan selayang.
Penyebaran
ikan layang (Decapterus kurroides) di Indonesia terdapat di perairan Pasifik
barat Indonesia, perairan Afrika Timur sampai Filiphina, perairan utara sampai
selatan Jepang, perairan selatan sampai barat Australia (Bleeker, 1855 dalam Dahlan,
2012). Lingkungan ikan layang (Decapterus kurroides) cukup berbeda dengan
jenis genus Decapteruslainnya, ikan ini berada di kedalaman 100-300 m, dan
biasanya berada di kedalaman 150-300 m, dan biasa berinteraksi di karang
(Saanin, 1984 dalam Dahlan, 2012).
Ikan
layang tersebar di seluruh dunia. Ikan layang tersebar dengan mendiami
daerah-daerah tropis dan subtropis di Lautan Indo-pasifik dan Lautan Atlantik.
Jenis ikan layang sangat beragam, setiap jenisnya memiliki daerah sebaran yang
berbeda, dan juga ada yang daerah sebarannya tumpang tindih satu sama lain.
Jenis ikan layang Decapterus russeli memiliki daerah sebaran yang
paling luas diantara jenis layang yang lainnya. Ikan layang
jenis Decapterus kurroides ini hampir tertangkap di seluruh daerah
perairan Indonesia, dan sangat dominan di perairan Jawa, mulai dari Pulau Masa
Lembu, Pulau Bawean, dan juga seluruh daerah Kepulauan Seribu. Jenis ikan
layang lainnya yaitu Decapterus layang tersebar di perairan-perairan
dangkal dan untuk jenis Decapterus macrosoma tersebar di laut Jaluk.
Berdasarkan data penangkapan di Indonesia, ikan layang jenis Decapterus
layang tertangkap di Laut Jawa, Selat Sunda, Selat Madura dan perairan
laut dangkal lainnya di Indonesia, sedangkan jenis Decapterus macrosoma tertangkap
oleh nelayan-nelayan di Laut Jeluk seperti Pulau Banda, Ambon, Sangihe, dan
Selat Bali. Decapterus kurroides tergolong jenis ikan layang yang
langka yang hanya tersebar di tiga daerah di Indonesia, yaitu di perairan
Labuhan, perairan Selat Bali, dan juga di perairan Palabuhanratu, Jawa Barat,
dalam jumlah besar pada musim-musim tertentu (Djamali,
1979 dalam Dahlan, 2012).
Sebaran
ikan layang (Decapterus kurroides) sangat berkaitan erat dengan makanan ikan
tersebut. Makanan memegang peranan penting dalam pertumbuhan, dan sebaran ikan
layang. Kebiasaan akan ikan layang dapat diketahui dengan melihat habitat ikan
layang. Ikan layang merupakan pemakan plankton hewani, benthos, dan ikan-ikan
kecil.
C. Pengkajian
Stok Ikan
Sparre
dan Venema (1999) mengemukakan bahwa maksud dari pengkajian stok ikan adalah
memberikan saran tentang pemanfaatan optimum sumberdaya hayati perairan seperti
ikan dan udang. Sumberdaya hayati bersifat terbatas tetapi dapat memperbaharui
dirinya. Pengkajian stok ikan dapat diartikan sebagai upaya pencarian tingkat
pemanfaatan yang dalam jangka panjang memberikan hasil tangkapan maksimum
perikanan dalam bentuk bobot. pada tingkat tertentu akan diperoleh hasil
tangkapan yang sejalan dengan peningkatan upaya penangkapan. Akan tetapi
setelah tingkat tersebut, pembaharuan sumberdaya (reproduksi dan pertumbuhan
tubuh) tidak dapat mengimbangi penangkapan, sehingga peningkatan tingkat
ekspoitasi yang lebih jauh akan mengarah kepada pengurangan hasil tangkapan.
Tingkat
upaya penangkapan yang dalam jangka panjang memberikan hasil tertinggi
dicirikan oleh FMSY dan hasil tangkapannya dicirikan oleh MSY (Maximum Sustainable Yield). Ungkapan
dalam jangka panjang digunakan karena seseorang dapat memperoleh hasil yang
tinggi dalam tahun tertentu. Namun, jika upaya penangkapan terus ditingkatkan,
hasil tangkapan akan makin berkurang pada tahun-tahun berikutnya. Hal ini
karena sumber dayanya telah tertangkap (Sparre dan Venema, 1999).

Gambar
2. Tujuan dasar pengkajian stok (Sparre dan Venema 1999)
Pengkajian
stok ikan harus dilakukan secara terpisah bagi setiap unit stok. Oleh karena
itu, data masukan untuk tiap stok dari spesies yang dikaji harus tersedia.
Konsep stok berkaitan erat dengan konsep parameter pertumbuhan dan mortalitas.
Parameter pertumbuhan merupakan nilai numerik dalam persamaan. Parameter ini
dapat diprediksi melalui ukuran badan ikan setelah mencapai umur tertentu.
Parameter mortalitas mencerminkan suatu laju kematian hewan, yakni jumlah
kematian per satuan waktu. Mortalitas penangkapan mencerminkan kematian yang
dikarenakan oleh penangkapan. Adapun mortalitas alami merupakan kematian karena
pemangsaan, penyakit, predator dan faktor alam lain (Sparre dan Venema, 1999).
Pengkajian
stok ikan bertujuan untuk mendeskripsikan proses-proses, hubungan antara
masukan dan luaran serta alat yang digunakan. Hubungan tersebut disebut
model-model. Suatu model adalah deskripsi yang disederhanakan dari hubungan
antara data masukan dan data luaran. Model terdiri atas sederetan instruksi
tentang bagaimana melakukan perhitungan dan bagaimana model-model tersebut
dirancang berdasarkan hasil amatan atau hasil pengukuran (Sparre dan
Venema,1999).
Suadi
dan Widodo (2008) menyatakan bahwa pengakajian stok mencakup suatu estimasi
tentang jumlah atau kelimpahan dari sumber daya. Selain itu, mencakup pula
pendugaan terhadap laju penurunan sumberdaya yang diakibatkan oleh penangkapan
serta tingkat kelimpahan dimana stok dapat menjaga dirinya dalam jangka panjang.
A. Model
Surplus Produksi
Pengelolaan
sumberdaya ikan pada awalnya didasarkan pada konsep hasil maksimum yang lestari
(Maximum Sustainable Yield) atau
disingkat MSY. Inti dari konsep ini adalah bahwa setiap spesies ikan memiliki
kemampuan untuk berproduksi yang melebihi kapasitas produksi (surplus),
sehingga apabila surplus
ini
dipanen (tidak lebih dan tidak kurang), maka stok ikan akan mampu bertahan
secara berkesinambungan. Dengan kata lain konsep ini hanya mempertim-bangkan
faktor biologi ikan semata (Fauzi, 2004).
Produksi surplus dihitung sebagai jumlah dari
pertumbuhan dalam berat dari individu-individu dalam populasi, dikurangi
penurunan biomassa dari binatang yang mati karena mortalitas alami (Widodo dan
Suadi, 2006). Fungsi surplus produksi dapat dituliskan sebagai berikut:





Widodo
dan Suadi (2006) mengemukakan bahwa pertambahan netto dalam ukuran
populasi akan kecil, baik pada tingkat populasi tinggi maupun rendah. Karena
itu sebagai konsekuensinya pertambahan tersebut akan mencapai maksimum pada tingkat
populasi intermediate. Hukum umum dari pertumbuhan populasi dapat
dinyatakan dalam bentuk persamaan deferensial sebagai berikut :

dimana
B merupakan biomassa populasi. Hukum pertumbuhan populasi ini dipergunakan
untuk menggambarkan banyak organisme. Suatu fungsi yang telah terbukti sangat
cocok untuk berbagai data eksperimen yaitu:

dimana
r dan K adalah konstanta. Ini dikenal dengan persamaan pertumbuhan logistik Verhultst-Pearl. Parameter r adalah laju
pertumbuhan intrinsik, karena untuk B kecil, maka laju pertumbuhan kira-kira
sama dengan r. Adapun K adalah daya dukung lingkungan dan mewakili populasi
maksimum yang dapat ditopang oleh lingkungan. Fungsi ini bersifat parabolik
yang simetrik dengan laju pertumbuhan maksimum pada tingkat K. Kurva
selengkapnya dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 3.
Hubungan antara biomassa tangkapan (B) dengan turunan pertama biomassa (Widodo
dan Suadi, 2006)
Beberapa
asumsi yang mendasari hukum umum pertumbuhan populasi pada Gambar 3 dapat
dikemukakan sebagai berikut (Widodo dan Suadi, 2006):
a)
Setiap
populasi dan ekosistem tertentu akan tumbuh dalam berat sampai mendekati daya
dukung maskimum dari ekosistem (terutama dalam kaitannya dengan ketersediaan
makanan). Kenaikan dalam berat total perlahan-lahan berhenti manakala ukuran
stok semakin mendekati, secara asimtotik, daya dukung dari lingkungan K secara
asimtotik.
b)
Nilai
K kira-kira berkaitan erat dengan nilai biomassa dari stok perawan atau yang
belum dimanfaatkan (virgin stock).
c)
Pertumbuhan
menurut waktu dari biomassa populasi dapat dilukiskan dengan suatu kurva
logistik, turunan pertama dari kurva ini mencapai maksimum.
d)
Upaya
penangkapan yang menurunkan K sampai dengan setengah dari nilai originalnya
akan menghasilkan pertumbuhan netto yang tertinggi dari stok, yakni produksi
surplus maksimum (maximum surplus yield) yang tersedia dalam suatu
populasi.
e)
Surplus
produksi maksimum pada butir (d) akan dipertahankan secara lestari (di sinilah
berawal yang disebut maximum sustainable yield, MSY) manakala biomassa
dari stok yang dieksploitasi dipertahankan pada tingkat K/2.
Konsep
surplus produksi merupakan konsep dasar dalam ilmu perikanan. Schaefer (1954)
menyebutkan bahwa salah satu cara untuk menduga stok didasarkan pada model
surplus produksi logistik. Dasar pemikirannya adalah bahwa peningkatan
(increment) populasi ikan akan diperoleh dari sejumlah ikan-ikan muda yang
dihasilkan setiap tahun, sedang penurunan dari populasi tersebut (decrement)
merupakan akibat dari mortalitas baik karena faktor alam (predasi, penyakit dan
lain lain) maupun mortalitas yang disebabkan eksploitasi oleh manusia. Oleh
karena itu, populasi akan berada dalam keadaan ekuilibrium bila increment sama
dengan decrement (Widodo dan Suadi, 2006).
Tujuan
penggunaan model surplus produksi adalah menentukan tingkat optimum dari suatu upaya penangkapan sehingga
dapat ditentukan hasil tangkap maksimum lestari tanpa mempengaruhi stok jangka
panjang, atau dikenal dengan maximum
sustainable yield (MSY) (Sutikno dan Maryunani, 2006).
Beberapa
teori yang mendasarinya yaitu model Schaefer dan Fox. Pada prinsipnya model-model holistik lebih
sederhana jika dibandingkan dengan model analitik, sehingga data yang
diperlukan menjadi lebih sedikit.
Sebagai contoh model ini tidak memerlukan penentuan kelas umur. Hal ini merupakan salah satu alasan mengapa
model surplus produksi banyak digunakan sebagai model dalam menentukan stok
ikan di perairan tropis. Model ini dapat memperkirakan jumlah hasil tangkapan
total dan atau hasil tangkapan per unit upaya dalam beberapa tahun (Sutikno dan
Maryunani, 2006).
B. Model
Schaefer (1954)
Model
Schaefer menyatakan bahwa pertumbuhan dari suatu stok merupakan suatu fungsi
dari besarnya stok tersebut. Jelas bahwa asumsi suatu stok bereaksi seketika
terhadap perubahan besarnya stok tidaklah realistik. Oleh karena itu
dipergunakan konsep ekuilibrium, dan ini mengacu pada keadaan yang timbul bila
suatu mortalitas penangkapan tertentu telah ditanamkan cukup lama ke dalam
suatu stok, sehingga memungkinkan stok tersebut menyesuaikan ukuran serta laju
pertumbuhannya sedemikian rupa sehingga persamaan yang dikemukakan oleh
Schaefer terpenuhi (Suadi dan Widodo, 2006).
Tingkat
upaya penangkapan optimum (fsmy) dan
hasil tangkapan maksimum lestari (MSY) dari unit penangkapan dengan model
Schaefer (1954) in King (1995) dapat
diketahui melalui persamaan berikut :
1.
Hubungan
antara hasil tangkapan (Y) dengan upaya penangkapan (f),

2.
Upaya
penangkapan optimum (fmsy) diperoleh dengan cara menyamakan turunan
pertama hasil tangkapan (Y) terhadap upaya penangkapan (f) dengan nol
atau dy/df = 0 :





3.
Maximum
sustainable yield (MSY)
atau merupakan hasil tangkapan maksimum lestari diperoleh dengan
mensubtitusikan nilai upaya penangkapan optimum (fmsy) ke persamaan pada
butir 1 di atas,



Pada model
ini, untuk mendapatkan gambaran pengaruh dari upaya penangkapan (f) terhadap
hasil tangkapan per unit upaya penangkapan (CPUE) dan untuk mendapatkan nilai
konstanta a dan b pada rumus di atas digunakan analisis regresi dengan
melinierkan model Schaefer seperti berikut:


Rumus yang
digunakan untuk mengetahui CPUE adalah sebagai berikut (Gulland 1983) :


Keterangan :
CPUE :
Hasil tangkapan per upaya penangkapan (kg/unit)
Catch :
Hasil tangkapan per tahun (kg) ; dan
Effort : Upaya penangkapan per tahun (unit).
Schaefer
(1954) in Tinungki (2005) menyatakan bahwa pertumbuhan (dalam berat biomassa)
dari suatu populasi (Bt) dari waktu ke waktu merupakan fungsi dari populasi
awal. Schaefer dalam mengembangkan konsepnya mengasumsikan bahwa stok perikanan
bersifat homogeni, fungsi pertumbuhannya adalah fungsi logistik dengan area
terbatas. Asumsi-asumsi model Schaefer adalah:
a)
Terdapat
batas tertinggi dari biomassa (K)
b)
Laju
pertumbuhan adalah relatif dan merupakan fungsi linear dari biomassa
c)
Stok
dalam keadaan seimbang (equilibrium
condition)
d)
Kematian
akibat penangkapan (Ct) sebanding dengan upaya (ft) dan koefisien penangkapan
(q)
e)
Meramalkan
MSY adalah 50% dari tingkat populasi maksimum.
Tinungki
(2005) menyebutkan bahwa salah satu keuntungan model Schaefer adalah dapat
digunakan dengan tidak tergantung pada adanya data kelimpahan stok. Jika data
runtun waktu untuk data penangkapan dan upaya tersedia, maka pendugaan
parameter-parameter dengan menggunakan metode regresi linear sederhana dapat
dilakukan. Model Schaefer mengasumsikan populasi pertumbuhan logistik yakni
tangkapan meningkat secara cepat di awal, namun kemudian laju perubahannya
melambat dengan peningkatan upaya (Coppola dan Pascoe 1998 in Tinungki 2005). Model ini menetapkan dua hasil dasar, yaitu:
a)
Upaya
penangkapan adalah suatu fungsi linear dari ukuran populasi (atau tangkapan per
satuan upaya)
b)
Jumlah
tangkapan adalah suatu fungsi parabola dari upaya penangkapan.
C. Model
Fox (1970)
Model
Fox (1970) memiliki karakter bahwa pertumbuhan biomassa mengikuti model
pertumbuhan Gompertz, dan penurunan tangkapan per satuan upaya (CPUEt) terhadap
upaya penangkapan (Ft) mengikuti pola eksponensial negatif, yang lebih masuk
akal dibandingkan dengan pola regresi linier. Asumsi yang digunakan dalam model
Fox (1970) adalah:
a) Populasi dianggap tidak
akan punah
b) Populasi sebagai jumlah
dari individu ikan.
Model
ini memperlihatkan grafik lengkung bila
secara langsung diplot terhadap upaya ft akan
tetapi bila diplot dalam bentuk logaritma terhadap upaya,
maka akan menghasilkan garis lurus:




Model
tersebut mengikuti asumsi bahwa
menurun dengan
meningkatnya upaya. Model Fox dan Schaefer berbeda dalam hal dimana model
Schaefer menyatakan satu tingkatan upaya dapat dicapai pada nilai
= 0 yaitu bila
sedangkan pada model Fox,
adalah selalu lebih besar dari nol untuk seluruh nilai.




Bila
diplotkan terhadap ft akan menghasilkan garis lurus, pada
model Schaefer, namun menghasilkan lengkung yang mendekati nol hanya pada
tingkatan upaya yang tinggi, tanpa pernah menyentuh sumbu pada model Fox.
Gambar 5 memperlihatkan perbandingan antara kurva model Schaefer dan model Fox.


Gambar
5. Kurva model Schaefer (--------) dan Fox (--------)
Fox
menyatakan bahwa hubungan antara effort
(ft) dan catch (Ct) adalah bentuk
eksponensial dengan kurva yang tidak simetris, dan dinyatakan bahwa hubungan
antara effort (ft) dan catch per unit effort (CPUEt) adalah
sebagai berikut:

hubungan
antara effort dan catch adalah:

Upaya
optimum (fopt) diperoleh dengan cara menyamakan turunan pertama catch (Ct)
terhadap effort (ft) sama dengan nol:

sehingga:

Produksi
maksimum lestari (MSY) diperoleh dengan mensubsitusikan nilai upaya optimum ke
dalam persamaan (2.7.3) sehingga:

besarnya
parameter a dan b secara sistematis dapat dicari dengan mempergunakan persamaan
regresi. Rumus-rumus untuk model produksi surplus ini hanya berlaku bila
parameter slope (b) bernilai negatif, artinya penambahan jumlah effort akan menyebabkan penurunan CPUE.
Bila dalam perhitungan diperoleh nilai b positif maka tidak dapat dilakukan
pendugaan stok maksimum maupun besarnya effort minimum, tetapi hanya dapat
disimpulkan bahwa penambahan jumlah effort
masih menambah hasil tangkapan. Penelitian komponen-komponen sumberdaya
perikanan dan potensinya dilakukan terhadap kondisi perikanan yang sekarang ada.
Informasi ini diperlukan untuk perencanaan pengembangan perikanan masa yang
akan datang (Tinungki 2005).
III. METODOLOGI
A.
Waktu dan Tempat
Pengamatan
dilakukan pada bulan April sampai dengan Mei 2015 di perairan Kabupaten Barru.
Data yang digunakan diperoleh dari Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi
Sulawesi Selatan. Data dianalisis di Pascasarjana Universitas Hasanuddin,
Makassar.
B. Metode
Pengolahan Data
Data
primer diperoleh dari Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Sulawesi Selatan
yang meliputi data hasil tangkapan dan data trip setiap alat tangkap yang
digunakan untuk menangkap ikan ikan layang (Decapterus
russelli) di perairan Kabupaten Barru, Provinsi Sulawesi Selatan
mulai dari tahun………………..
Pengolahan data dilakukan di
Pascasarjana Universitas Hasanuddin dengan menginput dan mengolah data melalui
program Microsoft Excel 2013.
C. Analisis
Data
Standarisasi Alat Tangkap
Unit
effort sejumlah armada penangkapan ikan dengan alat tangkap dan waktu tertentu
dikonversi ke dalam satuan “boat-days”
(trip). Pertimbangan yang digunakan
adalah :
1.
Respon
stock terhadap alat tangkap standar
akan menentukan status sumberdaya selanjutnya berdampak pada status perikanan
alat tangkap lain,
2.
Total
hasil tangkap ikan per unit effort
alat tangkap standar lebih dominan dibanding alat tangkap lain, dan
3.
Daerah
penangkapan alat tangkap standar meliputi dan atau berhubungan dengan daerah
penangkapan alat tangkap lain.
Prosedur
standarisasi alat tangkap ke dalam satuan baku unit alat tangkap standar, dapat
dilakukan sebagai berikut :
1.
Alat
tangkap standar yang digunakan mempunyai CPUE terbesar dan memiliki nilai
faktor daya tangkap (fishing power index,
FPI) sama dengan 1. Nilai FPI dapat diperoleh melalui persamaan (Gulland,
1983):



keterangan
:
CPUEr = total
hasil tangkapan (catch) per upaya tangkap (effort) dari alat tangkap r yang
akan distandarisasi (ton/trip).
CPUEs = total
hasil tangkapan (catch) per upaya tangkap (effort) dari alat tangkap s yang
dijadikan standar (ton/trip).
FPI = fishing power index dari alat tangkap i (yang
distandarisasi dan alat tangkap standar).
2.
Nilai FPIi digunakan untuk menghitung total upaya
standar, yakni :

keterangan
:
E = total effort atau jumlah upaya tangkap dari
alat tangkap yang distandarisasi dan alat tangkap standar (trip)
Ei = effort dari alat tangkap yang distandarisasi
dan alat tangkap standar (trip).
Estimasi Potensi Lestari
Estimasi
potensi sumberdaya perikanan tangkap didasarkan atas jumlah hasil tangkapan
ikan yang didaratkan pada suatu wilayah dan variasi alat tangkap per trip.
Prosedur estimasi dilakukan dengan cara (Sparre dan Venema, 1999) :
1.
Menghitung hasil tangkapan per upaya
tangkap (CPUE), melalui persamaan

keterangan
:
CPUEn = total hasil tangkapan per
upaya penangkapan yang telah distandarisasi dalam tahun n (ton/trip)
Catch n = total hasil tangkapan dari
seluruh alat dalam tahun n (ton)
En = total effort atau jumlah upaya tangkap dari
alat tangkap yang distandarisasi dengan alat tangkap standar dalam tahun n
(trip).
2. Melakukan
estimasi parameter alat tangkap standar dengan menggunakan model Schaefer
berikut :
CPUEn = α – βEn atau
Catchn = α En – βEn2
keterangan :
CPUEn = total hasil tangkapan per
upaya setelah distandarisasi pada tahun n (ton/trip)
En = total effort standar pada tahun n
(trip/tahun)
α dan β = konstanta dan koefisien
parameter dari model Schaefer
Persamaan (4.28) dihitung dengan menggunakan metode regresi
linear sederhana (Ordinary Least Square,
OLS).
3. Melakukan
estimasi effort optimum pada kondisi keseimbangan (equilibrium state), digunakan persamaan :
Eopti =
½ (α / β)
4. Melakukan estimasi
Maximum Sustainable Yield (MSY)
sebagai indikator potensi sumberdaya perikanan tangkap yang berkelanjutan
(lestari) melalui persamaan :
MSY = ¼ (α / β)
Nilai
effort optimum dan MSY yang diperoleh
melalui persamaan (3) dan (4) selanjutnya dimasukkan sebagai kendala tujuan
dalam model ekonomi sumberdaya perikanan tangkap (model dasar LGP). Dengan
demikian, secara biologi pengelolaan perikanan menunjukkan optimalisasi pemanfaatan
sumberdaya perikanan tangkap yang berkelanjutan.
IV.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Ikan layang (Decapterus
spp) merupakan salah satu komunitas perikanan pelagis kecil yang penting di
Indonesia. Ikan yang tergolong suku Carangidae ini bisa hidup bergerombol
. Ukurannya sekitar 15 centimeter meskipun ada pula yang bisa mencapai 25 centimeter.
Ciri khas yang sering dijumpai pada ikan layang ialah terdapatnya sirip kecil (finlet)
di belakang sirip punggung dan sirip dubur dan terdapat sisik berlinginyang
tebal (lateral scute) pada bagian garis sisi (lateral line).
(Nontji, 2002)
Berdasarkan
data dari Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Barru didapatkan analisis hasil
tangkapan per unit upaya (CPUE) produksi Ikan Layang (Decapterus spp) selama 5 tahun terakhir (2010-2014)
yaitu pada Tabel 1 berikut :
Tabel 1. Analisis hasil tangkapan per unit
upaya (CPUE) produksi Ikan Ikan Layang (Decapterus spp) di Kabupaten
Barru tahun 2010-2014
Tahun
|
Catch (ton)
|
Effort (trip)
|
CPUE
|
Ln CPUE
|
2010
|
3216.3
|
32956
|
0.09759
|
-2.326941708
|
2011
|
1938.3
|
47192
|
0.04107
|
-3.192413086
|
2012
|
1793.7
|
72798
|
0.02464
|
-3.703407957
|
2013
|
1454.4
|
90461
|
0.01608
|
-4.130325374
|
2014
|
1722.3
|
54644
|
0.03152
|
-3.457178812
|
Sumber
: Data sekunder, diolah 2015
Berdasarkan
tabel di atas dapat dilihat bahwa hasil tangkapan ikan Layang mengalami
penurunan pada tahun 2010 sampai 2013, kembali meningkat pada tahun 2013. Dari
tabel 1 di atas dapat dilakukan penghitungan nilai MSY dan Fopt dengan dua
metode yaitu metode Schaefer dan Metode Fox.
a.
Analisis Potensi Lestari (MSY dan
Fopt) Metode Schaefer
Adapun hasil penghitungan nilai a dan
b dapat dilihat pada Gambar 1. 

Gambar 1. Hubungan Effort dan CPUE
Berdasarkan gambar di atas maka dapat
dilihat bahwa nilai a=0,1146 dan nilai b= -0,000001. Sehingga :


Berdasarkan perolehan nilai MSY dan F
optimal maka dapat dibuat kurva tingkat pemanfaatan MSY dan Fopt Ikan Layang (Decapterus ruselli) di Kabupaten Barru
selama 5 tahun terakhir (2010-2014) pendekatan Schaefer seperti
di bawah ini :


Gambar
2. Kurva tingkat
pemanfaatan MSY dan Fopt Ikan Layang (Decapterus ruselli) di Kabupaten Barru
selama 5 tahun terakhir (2010-2014)
pendekatan Schaefer
Berdasarkan kurva di atas dapat dilihat bahwa untuk tingkat
pemanfaatan MSY berada pada 3.283,29 ton per tahun dan untuk Upaya penangkapan
optimal atau Fopt berada pada 57.300 trip per tahun. Sehingga dapat dilihat
pada gambar 4 berikut bahwa ikan layang di Kabupaten Barru belum mengalami over fishing karena nilainya belum melebihi
nilai MSY.

Gambar
4. Diagram
Perbandingan Hasil Tangkapan dengan MSY model Schaefer
Sedangkan berdasarkan
upaya penangkapan optimal (Fopt) maka dapat dilihat pada gambar 5 bahwa tahun
2012 dan 2013 telah mengalami kelebihan upaya penangkapan atau overfishing.

Gambar
5. Diagram
perbandingan upaya penangkapan dengan Fopt model Schaefer
b.
Analisis Potensi Lestari (MSY dan
Fopt) Metode Fox
Adapun hasil penghitungan nilai a dan
b metode Fox dapat dilihat pada Gambar 6.

Gambar 6. Hubungan Effort dan LnCPUE
Berdasarkan
gambar di atas maka dapat dilihat bahwa nilai a=1,6632 dan nilai b= -0,00003.
Sehingga :


Berdasarkan perolehan
nilai MSY dan F optimal maka dapat dibuat kurva tingkat pemanfaatan MSY dan
Fopt Ikan Layang (Decapterus ruselli)
di Kabupaten Barru selama 5
tahun terakhir (2010-2014)
pendekatan Fox seperti di bawah ini :


Gambar
7. Kurva Kurva
tingkat pemanfaatan MSY dan Fopt Ikan Layang
(Decapterus ruselli) di Kabupaten Barru selama 5 tahun terakhir (2010-2014)
pendekatan Fox
Berdasarkan kurva di atas dapat dilihat bahwa
untuk tingkat pemanfaatan MSY berada pada 38.819,87 ton per tahun dan untuk
Upaya penangkapan optimal atau Fopt berada pada 20.000 trip per tahun. Sehingga
dapat dilihat pada gambar 8 bahwa pada tahun 2010-2014 belum mengalami over
fishing karena jumlah hasil tangkapannya lebih rendah dari nilai MSY.

Gambar
8. Diagram
perbandingan hasil tangkapan dengan nilai MSY Model Fox
Sedangkan berdasarkan upaya penangkapan optimal (Fopt)
maka dapat dilihat pada gambar 9 bahwa tahun 2010 sampai 2014 telah mengalami
kelebihan upaya penangkapan atau overfishing.

Gambar 9. Diagram perbandingan upaya
penangkapan dengan nilai Fopt metode Fox.
KESIMPULAN
DAN SARAN
A.
Kesimpulan
1.
Berdasarkan
hasil analisis pendugaaan MSY dan F Optimum
dengan menggunakan Model Schaefer dan Fox menunjukkan bahwa nilai MSY
Schaefer sangat jauh berbeda dengan nilai MSY fox yakni sebesar 3.283,29 ton
pada schaefer dan 38.819,87 pada metode fox. Sedangkan F
Optimum Schaefer sebesar 57.300 trip sedangkan
F Optimum Fox sebesar 20.000 trip.
2.
Potensi
pemanfaatan Ikan Layang (Decapterus
ruselli) di Kabupaten Barru dengan menggunakan metode Schaefer dan fox
belum mengalami over fishing
3.
Upaya
penangkapan Ikan Layang (Decapterus
ruselli) di Kabupaten Barru dengan menggunakan metode Schaefer sudah
mengalami over fishing pada tahun
2012 dan 2013 sedangkan dengan menggunakan metode fox juga telah mengalami over fishing pada tahun 2010 smpai 2014.
4. Saran
Khusus bagi pengelola sumberdaya perikanan di perairan
Kabupaten Barru agar dapat
menyediakan dan memberikan informasi kepada pihak yang berkecimpung dalam dunia
perikanan khususnya dalam bidang penangkapan ikan, dalam hal ini nelayan
penangkap terkait potensi lestari atau MSY agar dapat mengoptimalkan
pemanfaatan sumberdaya perikanan dan tentunya diharapkan terwujudnya suatu
keseimbangan antara potensi lestari (MSY) sumberdaya perikanan dengan
pemanfaatannya sehingga kelestarian sumberdaya perikanan dapat berkelanjutan.
LAMPIRAN
2010
|
|||||
Alat Tangkap
|
Catch (ton)
|
Effort (trip)
|
CPUE
|
FPI
|
Effort Standar (FPI)
|
Pukat Cincin
|
1241.1
|
12453
|
0.0997
|
0.59609
|
7423
|
Jaring Insang Hanyut
|
267.8
|
10291
|
0.0260
|
0.15564
|
1602
|
Bagan Perahu
|
1707.4
|
10212
|
0.1672
|
1.00000
|
10212
|
JUMLAH
|
3216.3
|
32956
|
|
|
19237
|
2011
|
|||||
Alat Tangkap
|
Catch (ton)
|
Effort (trip)
|
CPUE
|
FPI
|
Effort Standar (FPI)
|
Pukat Cincin
|
437.7
|
8921
|
0.0491
|
0.24537
|
2189
|
Jaring Insang Hanyut
|
132.9
|
31431
|
0.0042
|
0.02115
|
665
|
Bagan Perahu
|
1367.7
|
6840
|
0.2000
|
1.00000
|
6840
|
JUMLAH
|
1938.3
|
47192
|
|
|
9694
|
2012
|
|||||
Alat Tangkap
|
Catch (ton)
|
Effort (trip)
|
CPUE
|
FPI
|
Effort Standar (FPI)
|
Pukat Cincin
|
452.8
|
9845
|
0.0460
|
0.65348
|
6434
|
Jaring Insang Hanyut
|
82.6
|
11118
|
0.0074
|
0.10556
|
1174
|
Jaring Insang Tetap
|
81.6
|
35116
|
0.0023
|
0.03302
|
1159
|
Bagan Perahu
|
1176.7
|
16719
|
0.0704
|
1.00000
|
16719
|
Sero
|
1.2
|
1051
|
0.0011
|
0.01622
|
17
|
JUMLAH
|
1793.7
|
72798
|
|
|
25486
|
2013
|
|||||
Alat Tangkap
|
Catch (ton)
|
Effort (trip)
|
CPUE
|
FPI
|
Effort Standar (FPI)
|
Pukat Cincin
|
298.4
|
9890
|
0.0302
|
0.42809
|
4234
|
Pukat Pantai
|
33.9
|
1841
|
0.0184
|
0.26127
|
481
|
Jaring Insang Hanyut
|
82.7
|
33306
|
0.0025
|
0.03523
|
1173
|
Jaring Insang Tetap
|
12.3
|
30851
|
0.0004
|
0.00566
|
175
|
Bagan Perahu
|
1027.1
|
14573
|
0.0705
|
1.00000
|
14573
|
Pancing Lainnya
|
10.3
|
15896
|
0.0006
|
0.00919
|
146
|
JUMLAH
|
1454.4
|
90461
|
|
|
20636
|
2014
|
|||||
Alat Tangkap
|
Catch (ton)
|
Effort (trip)
|
CPUE
|
FPI
|
Effort Standar (FPI)
|
Pukat Cincin
|
143.8
|
4770
|
0.0301
|
0.13402
|
639
|
Pukat Pantai
|
17.1
|
693
|
0.0247
|
0.10970
|
76
|
Jaring Insang Hanyut
|
170.1
|
30337
|
0.0056
|
0.02493
|
756
|
Jaring Insang Tetap
|
15.1
|
12726
|
0.0012
|
0.00527
|
67
|
Bagan Perahu
|
1376.2
|
6118
|
0.2249
|
1.00000
|
6118
|
JUMLAH
|
1722.3
|
54644
|
|
|
7657
|
|
|
|
|
|
|
Tahun
|
Catch (ton)
|
Effort (trip)
|
CPUE
|
Ln CPUE
|
Tahun
|
2010
|
3216.3
|
32956
|
0.09759
|
-2.326941708
|
2010
|
2011
|
1938.3
|
47192
|
0.04107
|
-3.192413086
|
2011
|
2012
|
1793.7
|
72798
|
0.02464
|
-3.703407957
|
2012
|
2013
|
1454.4
|
90461
|
0.01608
|
-4.130325374
|
2013
|
2014
|
1722.3
|
54644
|
0.03152
|
-3.457178812
|
2014
|
Tahun
|
Catch (ton)
|
Effort (trip)
|
CPUE
|
Ln CPUE
|
2010
|
3216.3
|
32956
|
0.09759
|
-2.326941708
|
2011
|
1938.3
|
47192
|
0.04107
|
-3.192413086
|
2012
|
1793.7
|
72798
|
0.02464
|
-3.703407957
|
2013
|
1454.4
|
90461
|
0.01608
|
-4.130325374
|
2014
|
1722.3
|
54644
|
0.03152
|
-3.457178812
|
Tahun
|
produksi
|
Tahun
|
upaya
|
tahun
|
upaya
|
2010
|
3216.3
|
2010
|
32956
|
2010
|
32956
|
2011
|
1938.3
|
2011
|
47192
|
2011
|
47192
|
2012
|
1793.7
|
2012
|
72798
|
2012
|
72798
|
2013
|
1454.4
|
2013
|
90461
|
2013
|
90461
|
2014
|
1722.3
|
2014
|
54644
|
2014
|
54644
|
MSY FOX
|
2446.57
|
Fopt Schaefer
|
57300
|
Fopt FOX
|
35087.72
|
MODEL SCHAEFER
|
|||
Tahun
|
Catch (ton)
|
Effort (trip)
|
CPUE
|
2010
|
3216.3
|
32956
|
0.09759
|
2011
|
1938.3
|
47192
|
0.04107
|
2012
|
1793.7
|
72798
|
0.02464
|
2013
|
1454.4
|
90461
|
0.01608
|
2014
|
1722.3
|
54644
|
0.03152
|
Model FOX
|
||||
Tahun
|
Catch (ton)
|
Effort (trip)
|
CPUE
|
Ln CPUE
|
2010
|
3216.3
|
32956
|
0.09759
|
-2.326941708
|
2011
|
1938.3
|
47192
|
0.04107
|
-3.192413086
|
2012
|
1793.7
|
72798
|
0.02464
|
-3.703407957
|
2013
|
1454.4
|
90461
|
0.01608
|
-4.130325374
|
2014
|
1722.3
|
54644
|
0.03152
|
-3.457178812
|
Schaefer
|
f
|
Fox
|
|
y=af+bf^2
|
Effort
|
F exp (a+bf)
|
|
0
|
0
|
0
|
0
|
5000
|
548
|
10000
|
1425.36
|
10000
|
1046
|
15000
|
1854.08
|
15000
|
1494
|
20000
|
2143.78
|
20000
|
1892
|
25000
|
2323.82
|
25000
|
2240
|
30000
|
2418.23
|
30000
|
2538
|
35000
|
2446.57
|
35000
|
2786
|
40000
|
2424.72
|
40000
|
2984
|
45000
|
2365.52
|
45000
|
3132
|
50000
|
2279.28
|
50000
|
3230
|
55000
|
2174.22
|
55000
|
3278
|
60000
|
2056.86
|
60000
|
3276
|
65000
|
1932.33
|
65000
|
3224
|
70000
|
1804.59
|
70000
|
3122
|
75000
|
1676.70
|
75000
|
2970
|
80000
|
1550.94
|
80000
|
2768
|
85000
|
1429.02
|
85000
|
2516
|
90000
|
1312.12
|
90000
|
2214
|
95000
|
1201.07
|
95000
|
1862
|
100000
|
1096.37
|
100000
|
1460
|
105000
|
998.30
|
105000
|
1008
|
110000
|
906.94
|
110000
|
506
|
115000
|
822.23
|
115000
|
-46
|
120000
|
744.03
|
|
|
125000
|
672.10
|
|
|
130000
|
606.15
|
|
|
135000
|
545.86
|
|
|
140000
|
490.90
|
|
|
145000
|
440.90
|
|
|
150000
|
395.53
|
|
|
155000
|
354.43
|
|
|
160000
|
317.27
|
|
|
165000
|
283.73
|
|
|
170000
|
253.51
|
|
|
175000
|
226.30
|
|
|
180000
|
201.86
|
|
|
185000
|
179.91
|
|
|
190000
|
160.23
|
|
|
195000
|
142.61
|
|
|
200000
|
126.84
|
|
|
205000
|
112.74
|
|
|
210000
|
100.15
|
|
|
215000
|
88.92
|
|
|
220000
|
78.90
|
|
|
225000
|
69.98
|
|
|
230000
|
62.03
|
|
|
235000
|
54.96
|
|
|
240000
|
48.68
|
|
|
245000
|
43.09
|
|
|
250000
|
38.13
|
|
|
255000
|
33.73
|
|
|
260000
|
29.82
|
|
|
265000
|
26.36
|
|
|
270000
|
23.29
|
|
|
275000
|
20.57
|
|
|
280000
|
18.16
|
|
|
285000
|
16.03
|
|
|
290000
|
14.15
|
|
|
295000
|
12.48
|
|
|
300000
|
11.01
|






![]() |

DAFTAR
PUSTAKA
Abdul,
R., 1985. Ekologi Ikan.
Fakultas Perikanan Universitas Brawijaya, Malang.
Dahlan, Muh.
Arifin. 2012. Keragaman Populasi dan Biologi Reprosuksi Ikan
Layang
(Decapterus
macrosoma Bleeker 1841) di Selat Makassar, Laut Flores dan Teluk
Bone.
Universitas Hasanuddin. Makasar.
Djamali, A.,
Mubarak, H. 1998. Sumberdaya Ikan Konsumsi Perairan Karang, dalam Potensi dan Penyebaran Sumberdaya ikan
Laut di Perairan Indonesia, Jakarta , Widodo, J., Aziz, K.A.,
Priyono, B.E., Tampubolon, G.H.
Effendie,
M.I. 2000. Biologi Perikanan. Yayasan Pustaka Nusatama. Bogor.
Fujaya,
Y., 1999. Fisiologi Ikan.
Rineka Cipta, Yakarta.
Saanin. 1984. Taksonomi dan Kunci
Identifikasi Ikan Jilid I dan II. Bandung: Bina Cipta. 508 halaman.
Sparre P dan Venema SC, 1999.
Introduksi Pengkajian Stok Ikan Tropis. Buku 1:manual. Jakarta: FAO dan Deptan.
Terjemahan dari: Introduction to Tropical Fish Stock Assesment. 438 hal.
Wordpress, 2014 https://mgmpppkbarru.wordpress.com/potensi-daerah/ diunduh pada
tanggal 20 April 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar