TUGAS MATAKULIAH KE -2
Prof. Dr. Ir.
Sharifuddin Bin Andy Omar, M.Sc
EKOLOGI
PERIKANAN LANJUTAN
MINI JURNAL PHYTOPLANKTON
OLEH
:
IBNU MALKAN HASBI
P3300214005
PROGRAM STUDI
ILMU PERIKANAN
PROGRAM PASCA SARJANA
FAKULTAS ILMU KELAUTAN DAN PERIKANAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2014
MINI REVIEW
KEANEKARAGAMAN KOMUNITAS FITOPLANKTON DIPERAIRAN INDONESIA
A.
PENDAHULUAN
Plankton adalah organisme mikroskopik yang hidup melayang atau mengapung
dalam kolom air dengan kemampuan gerak yang terbatas. Plankton terbagi atas dua
kelompok yaitu fitoplankton (plankton nabati) dan zooplankton (plankton hewani)
merupakan komponen utama dalam rantai makanan ekosistem perairan. Fitoplankton
berperan sebagai produsen primer dan zooplankton sebagai konsumen pertama yang
menghubungkan dengan biota pada tingkat trofik yang lebih tinggi (Levinton,
1982; Arinardi et al., 1995; Castro & Huber, 2007).
Fitoplankton sebagai tumbuhan yang mengandung pigmen
klorofil mampu melaksanakan reaksi fotosintesis dimana air dan karbondioksida
dengan
adanya sinar surya dan
garam-garam hara dapat menghasilkan senyawa organik seperti karbohidrat.
Fitoplankton memberi kontribusi yang besar terhadap produktifitas primer di
lautan (Kingsford, 2000). Banyak proses biotik dan abiotik yang mempengaruhi
variabilitas keanekaragaman fitoplankton di perairan. Intensitas dan frekuensi
proses-proses ini dapat menyebabkan dinamika tidak merata (non-equilibrium)
dan meningkatkan keanekaragaman jenis (Chalar, 2009).
Perairan
dekat pantai (estuaria) merupakan perairan yang subur, karena kontribusi
zat-zat hara yang berasal dari daratan. Menurut Odum (1971) ekosistem estuaria
memiliki produktivitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan ekosistem perairan
tawar maupun asin. Produktivitas yang tinggi ini sangat mendukung kesuburan
laut yang berbatasan dengan perairan muara (Stewart, 1972). Namun demikian,
ekosistem estuaria dihadapkan pada kondisi yang cukup riskan oleh faktor-faktor
permanen yang secara fluktuatif mempengaruhinya seperti suhu, salinitas, dan
siklus nutrien. Selain itu, tingginya tingkat pemanfaatan dan dampak dari
penggunaan estuaria sebagai daerah pembuangan limbah secara terus-menerus telah
menyebabkan degradasi ekosistem estuaria dan menurunnya daya dukung ekosistem
secara keseluruhan (carrying capacity; Dahuri et al, 1996).
Perairan estuari secara sederhana dapat diartikan
sebagai perairan di
sekitar muara sungai. Air di
muara sungai merupakan campuran massa air yang
berasal dari sungai (air tawar)
dengan air laut sekitarnya. Percampuran dari massa air tersebut dapat
menyebabkan fluktuasi parameter fisika dan kimia di perairan estuari. Kondisi
lingkungan yang selalu berfluktuasi ini akan mempengaruhi organisme dan biota
yang ada di dalam perairan. Salah satunya adalah fitoplankton yang berperan sebagai
produsen dalam tingkatan rantai makanan pada perairan tersebut.
Keberadaan fitoplankton di suatu perairan dipengaruhi
oleh faktor fisika dan kimia perairan. Fitoplankton memiliki batas toleransi
tertentu terhadap faktorfaktor fisika kimia sehingga akan membentuk struktur
komunitas fitoplankton yang berbeda. Kombinasi pengaruh antara faktor fisika
kimia dan kelimpahan fitoplankton menjadikan komunitas dan dominansi
fitoplankton pada setiap perairan tidak sama sehingga dapat dijadikan sebagai
indikator biologis suatu perairan.
Beban masukan yang ditimbulkan dari kegiatan manusia
di sepanjang daerah aliran Sungai Brantas akan meningkatkan kandungan unsur
hara di perairan. Meningkatnya kandungan unsur hara pada perairan secara
langsung akan mempengaruhi komunitas fitoplankton dan lingkungan sekitarnya.
Kondisi ini mengakibatkan adanya fluktuasi secara temporal struktur komunitas
fitoplankton akibat pengaruh musim (hujan dan kemarau) serta interaksinya
dengan factor fisika kimia dan pembatas utama nutrien bagi fitoplankton di
perairan Estuari
Fitoplankton
merupakan salah satu komponen penting dalam suatu ekosistem karena memiliki
kemampuan untuk menyerap langsung energi matahari melalui proses fotosintesa
guna membentuk bahan organik dari bahan-bahan anorganik yang lazim dikenal
sebagai produktivitas primer. Salah satu pigmen fotosintesa yang paling penting
bagi tumbuhan khususnya fitoplankton adalah klorofil a. Produktivitas primer
sangat tergantung dari konsentrasi klorofil. Oleh karena itu, kadar klorofil dalam
volume air tertentu merupakan suatu ukuran bagi biomasa fitoplankton yang
terdapat dalam perairan. Dengan demikian klorofil dapat digunakan untuk
menaksir produktivitas primer suatu perairan (Nybakken, 1988).
Fitoplankton mampu membuat ikatan-ikatan organik
yang komplek (glukosa) dari ikatan-ikatan anorganik sederhana, karbondioksida
(CO2) dan air (H2O). Energi matahari diabsorbsi oleh klorofil untuk membantu
berlangsungnya reaksi kimia yang terjadi dalam proses fotosintesa tersebut
(Hutabarat, 2000).
Kondisi suatu perairan, baik fisikakimia maupun biotik
sangat mempengaruhi keberadaan, kelimpahan dan keanekaragaman jenis plankton
(fitoplankton) dalam suatu badan air. Beberapa jenis fitoplankton hanya dapat
hidup dan berkembang biak dengan baik dalam lokasi yang mempunyai kualitas
perairan bagus, walaupun beberapa jenis masih dapat hidup dan berkembang dengan
baik dalam perairan yang mempunyai kualitas buruk. Penilaian kualitas perairan
dengan menggunakan pendekatan materi biologi, khususnya organisme plankton,
akhir-akhir ini mulai mendapat perhatian yang besar. Pendekatan aspek biologi
sangat bermanfaat, karena organisme tersebut mampu merefleksikan adanya
perubahan yang disebabkan oleh penurunan kualitas suatu perairan.
Kondisi kualitas perairan yang berpengaruh terhadap
keberadaan jenisjenis fitoplankton salah satunya adalah kekeruhan, karena dalam
perairan yang keruh akan mempengaruhi penetrasi sinar matahari. Keadaan seperti
ini akan berpengaruh terhadap keberadaan fitoplankton yang membutuhkan sinar
matahari untuk kelangsungan proses fotosintesis.
Fitoplankton
merupakan tumbuhan tingkat rendah yang bersifat planktonik, hidup melayang
dalam kolom perairan. Walaupun renik tubuhnya, namun mereka mampu melakukan
aktifitas fotosintetik seperti halnya tumbuhan tingkat tinggi. Kecepatan
pertumbuhannya yang tinggi, mereka sangat potensial dalam penyerapan CO2 udara.
Disamping itu, fitoplankton mampu melepaskan O2 yang sangat berguna bagi proses
pernapasan (respirasi) bagi organisme lain. Di dalam ekosistem perairan,
fitoplankton sangat berperan sangat penting sebagai produser primer yang
menduduki tingkat tropik paling dasar dalam rantai makanan.
Fitoplankton memiliki klorofil yang berperan dalam
fotosintesis untuk menghasilkan bahan organik dan oksigen dalam air yang
digunakan sebagai dasar mata rantai pada siklus makanan di laut. Namun
fitoplankton tertentu mempunyai peran menurunkan kualitas perairan laut apabila
jumlahnya berlebih (blooming) [1]. Tingginya populasi fitoplankton
beracun di dalam suatu perairan dapat menyebabkan berbagai akibat negatif bagi
ekosistem perairan, seperti berkurangnya oksigen di dalam air yang dapat
menyebabkan kematian berbagai makhluk air lainnya [2]. Hal ini diperparah
dengan fakta bahwa beberapa jenis fitoplankton yang potensia blooming adalah
yang bersifat toksik, seperti dari beberapa kelompok Dinoflagellata, yaitu Alexandrium
spp, Gymnodinium spp, dan Dinophysis spp. Dari kelompok
Diatom tercatat jenis Pseudonitszchia spp termasuk fitoplankton toksik
[3].
Berkurangnya fitoplankton di suatu perairan akan
mempengaruhi organism lain mulai jenis-jenis hewan pemakan fitoplankton sampai
pada tingkat tropic berikutnya. Kualitas perairan yang buruk akan menyebabkan
keanekaragaman jenis fitoplankton semakin kecil, karena semakin sedikit jenis
yang dapat toleran dan beradaptasi terhadap kondisi perairan tersebut. Berdasarkan
perbedaan daya toleransi dan kemampuan adaptasi jenis-jenis fitoplankton terhadap
habitatnya, maka kelimpahan dan keanekaragaman fitoplankton dapat dijadikan
untuk menilai kualitas suatu perairan.
Tujuan penelitian ini untuk mengetahui pola
struktur komunitas fitoplankton berdasarkan kandungan pigmennya sebagai arahan
praktis pemantauan lingkungan. Bila memang terdapat korelasi yang nyata, maka
dengan menganalisis jenis-jenis klorofil sampel, dapat diasumsikan struktur penyusun
komunitas fitoplankton di perairan tersebut.
B.
Rumusan
Masalah
·
Apa saja factor-faktor yang mempengaruhi
kepadatan fitoplankton?
·
Bagaimanakah jenis dan keanekaragaman
fitoplankton?
·
Bagaimanakah jenis dan peran makrofita pada
lingkungan?
·
Apa sajakah factor yang mempengaruhi
keberadaan perifiton?
·
Bagaimanakah cara meneliti perifiton?
C.
Apa Tujuan
·
Untuk mengetahui saja factor-faktor yang
mempengaruhi kepadatan fitoplankton
·
Untuk mengetahui bagaimanakah jenis dan
keanekaragaman fitoplankton.
·
Untuk mengetahui jenis dan peran makrofita pada lingkungan
·
Untuk mengetahui yang mempengaruhi keberadaan
perifiton
·
Untuk mengetahui cara meneliti perifiton.
II. Pembahasan
A.
Pengertian
Fitoplankton
Fitoplankton merupakan sekelompok organisme
yang memegang peranan sangat penting dalam ekosistem air, karena hidup
fitoplankton terutama pada lapisan perairan yang mendapat cahaya matahari yang
dibutuhkan dan mempunyai kandungan klorofil yang mampu melakukan proses fotosintesis.
Proses fotosintesis pada ekosistem air yang dilakukan oleh fitoplankton sebagai
produsen merupakan sumber energi utama bagi kelompok organisme air lainnya yang
berperan sebagai konsumen, dimulai dengan zooplankton dan di ikuti oleh
organisme air lainnya seperti ikan melalui rantai dan jaring-jaring makanan.
Setidaknya sekitar 90% proses fotosintesis diperairan dilakukan oleh
fitoplankton, sedangkan 10% sisanya berasal dari hasil fotosintesis yang
dilakukan oleh mikrofita.
Fitoplankton selain disusun oleh sekelompok
bakteri terutama juga tersusun dari kelompok ganggang (alga) mikroskopik.
Ganggang ini ada yang uniseluler, koloni atau membentuk filamen. Didalam
perairan tawar fitoplankton ini hidup bersama dengan zooplankton dan organisme
lainnya. Alga yang hidup di air terbuka seperti didanau dan sungai yang arusnya
tidak terlalu kuat meliputi hampir seluruh sekelompok takson alga.Populasi
ganggang yang berada di perairan danau oligotropik (danau yang memiliki
kandungan nutrisi yang rendah) kurang berlimpah dibandingkan dengan danau
eutropik (danau yang kaya nutrisi). Pembusukan bahan-bahan organik di dalam
danau oligotropik tidak terlalu tinggi sehingga tidak menghabiskan persediaan
oksigen. Oleh karena itu, oksigen tidak menjadi nutrien yang membatasi pertumbuhan
fitoplankton.
Ekosistem danau ini mempunyai dua lapisan
perairan yaitu lapisan perairan yang lebih hangat dan lapisan perairan yang
dingin. Lapisan perairan yang lebih hangat berada di lapisan atas (epilimnion)
sebaliknya lapisan perairan yang lebih dingin terdapat di dalam metalimnion dan
hipoliranion. Lapisan epilimnion merupakan lapisan yang kaya akan oksigen
sedangkan lapisan hipolimnion merupakan lapisan yang miskin oksigen. Perbedaan
kandungan oksigen pada kedua lapisan tersebut berkaitan dengan jumlah cahaya
yang menjadi energi utama dalam proses fotosintesis. Kelimpahan fitoplankton di
daerah epilimnion lebih tinggi daripada di daerah hipolimnion.
B.
Faktor
faktor yang Mempengaruhi Kepadatan Fitoplankton
Fitoplanton tumbuh padat didalam danau
eutrophik karena daerah eutrophik banyak
memberikan nutrisi yang penting bagi fitoplankton, terutama unsure P dan N.
namun, meskipun populasi fitoplanton
tinggi kadar oksigen terlarut tetap rendah, karena cahaya tidak dapat menembus
perairan. Unsure P dan N adalah unsure yang bermanfaat bagi pertumbuhan
fitoplanton.
Fosfat merupakan unsur penting yang terdapat di
dalam danau air tawar. Fosfat merupakan nutrient utama bagi fitoplanton. Di
dalam sebuah danau eutrofik, dimana populasi ganggang berlimpah-limpah, ketika
fosfor juga tersedia berlimpah di dalam suatu danau, nitrogen menjadi terbatas.
Pada danau yang seperti ini, ganggang hijau biru jenis tertentu dapat mempunyai
keuntungan dalam berkompetisi dengan ganggang lain dan sering kali
kelimpahannya mendominasi. Di danau Eutrofik tingkat kematian fitoplanton
sangat tinggi akibatnya materi organic busuk dari fitoplanton menumpuk di
daerah hipolimnion, hal ini menyebabkan habisnya oksigen di daerah hipolimnion (Hadi,2010)
Faktor
berikutnya yang berpengaruh terhadap kepadatan fitoplanton adalah kecepatan
arus air. Dimana kepadatan fitoplanton akan berkurang drastis pada kecepatan
arus yang lebih besar dari 1 m/detik. Jadi kelimpahan fitoplanton di ekosistem lentik lebih
tinggi dibanding pada ekosistem lotik terutama adalah perifiton. Perifiton
merupakan organisme tumbuhan yang hidupnya melekat pada subtract yang ada
diperairan misalnya pada batang, kayu, batu, cangkang invertebrata,dsb
Selain kecepatan arus air yang berpengaruh
antara lain kekeruhan air juga sangat mempengaruhi keberadaan fitoplanton.
Singh (1983) mencatat bahwa kepadatan fitoplanton di sungai Gangga (India) pada
tingkat kekeruhan 45-55 ppm mencapai 2500 individu/L dan pada saat musim
penghujan tingkat kekeruhan meningkat menjadi 600-900 ppm yang menyebabkan
kepadatan fitoplanton menurun sangat drastic hanya 100 individu/L (Temala,2002)
Selain faktor
diatas menurut Goldman dan Hone (1983) pertumbuhan fitoplanton dipengaruhi oleh
faktor abiotik yaitu intensitas
cahaya, suhu, pH, oksigen terlarut, materi organic terlarut dan unsure hara
yang terlarut seperti senyawa nitrogeb dan fosfat. Cahaya mempengaruhi
fitoplanton karena cahaya diperlukan dalam fotosintesis fitoplanton. Zat hara
diperlukan fitoplanton untuk pertumbuhannya. Suhu mempenagruhi fitoplanton
karena suhu berpengaruh terhadap pertumbuhan dan reproduksi fitoplanton.(Hadi,2010)
C.
Jenis
dan Keanekaragaman Fitoplankton
Fitoplankton terdiri dari berbagai jenis
ganggang, yaitu Cyanophyta (ganggang hijau biru), Cryptophyceae (kriptofita),
Dinophyceae (dinoflagelata), Chlorophyta (ganggang hijau), Euglenophyta
(kelompok euglena), Bacillariophyceae (diatom), Chrysophyceae dan Haptophyceae
(ganggang kuning keemasan). Fitoplankton mencukupi kebutuhan energi dan karbon
melalui fotosintesis. Nutrien yang dibutuhkan dalam jumlah sedikit pada umumnya
adalah vitamin, seperti cyanocobalamin, thiamine, dan biotin. Fitoplankton
memerlukan sekitar 20 unsur-unsur untuk pertumbuhan, tetapi hanya karbon,
nitrogen dan fosfor yang benar-benar diperlukan sehingga ketidakhadiran unsur tersebut dapat
mengatasi laju pertumbuhan fitoplankton. Semua unsur-unsur tersebut terdapat di
dalam air pada konsentrasi lebih rendah dibanding yang diperlukan oleh sel,
oleh sebab itu fitoplankton memiliki mekanisme yang berkaitan dengan enzim
untuk memasukkan unsur tersebut ke dalam sel.
1.
Cyanophyta (ganggang hijau
biru)
Cyanophyta merupakan bakteri dengan
struktur sel prokariotik sederhana. Cyanobacteria berbeda dengan bakteri
lainnya karena adanya klorofil a, pigmen fotosintetik yang dimiliki oleh alga
dan tumbuhan tinggi. Cyanobacteria juga mampu menggunakan air sebagai donor
elektron didalam fotosintesis. Jadi Cyanobacteria mampu melakukan fotosintesis
seperti pada tumbuhan tinggi. Bentuk Cyanobacteria ada yang bersifat unicellular,
filamen dan koloni. Kebanyakan dari Cyanobacteria yang planktonic terdiri dari
coccoid yaitu famili Chroococcaceae (Microcystis,
Coelosphareium dan Coccochloris).
Jenis yang filamen (Planktothrix,
Limnothrix dan Tychonema),
Nostocaceae (Anabena, Aphanizomenon,dan
Nodularia) dan Rivulariaceae (Gletrichia).
Cyanobacteria memiliki sel
terdiferensiasi yang disebut heterocysts. Heterocysts bisa terdapat pada alga
bentuk filamen tetapi jarang pada Oscilatoria.
Heterocysts memiliki peran utama dalam proses fiksasi nitrogen. Heterocysts
merupakan penyerap cahaya yang utama pada Cyanobacteria. Heterocysts tidak
memiliki fotosistem tetapi memiliki kemampuan reduksi yang tinggi. Lapisan lilin di dalam Heterocysts mampu
membatasi laju difusi oksigen dari luar, tetapi nitrogen dapat melaluinya untuk
mendukung terjadi proses fiksasi. Lingkungan dalam Heterocysts memungkinkan
untuk terjadinya proses fiksasi nitrogen. Tetapi enzim nitrogenase tidak aktif
dengan adanya oksigen. Karbon organik dari sel disebelahnya ditransfer ke dalam
Heterocysts dan digunakan sebagai suatu sumber energi di dalam proses fiksasi
nitrogen.
2.
Chlorophyta (ganggang hijau)
Chlorophyta merupakan kelompok alga yang
berukuran besar dan memiliki bentuk bervariasi. Kelompok alga hijau adalah
Volvocales dan Chlorococcales. Reproduksi secara aseksual dilakukan melalui
pembelahan sel tetapi tidak untuk kelompok Chlorococcales dan Siphonales.
Pembagian sel didalam koloni mengakibatkan pelebaran koloni. Koloni tersebut
dapat terpecah-pecah dan terbentuklah koloni baru dibentuk dari fragmentasi
koloni induk. Reproduksi seksual didalam alga hijau beragam. Cara yang
sederhana adalah melalui peleburan dua sel gamet melalui apa yang disebut
isogami dan anisogami. Gamet jantan dan betina berflagel, memiliki struktur dan
ukuran serupa atau ada yang gamet betinanya sedikit lebih besar dari jantan.
Isogami merupakan peleburan gamet jantan dan betina yang ukurannya sama,
anisogami merupakan peleburan gamet jantan dan betina yang ukurannya berbeda
3.
Alga Kuning-Hijau (Xanthophyceae)
Anggota Xanthophyceae berbentuk
unicellular, koloni dan filamen. Xanthophyceae bercirikan adanya klorofil
(pigmen hijau) dan xantofil (pigmen kuning) karena itu warnanya hijau
kekuning-kuningan. Semua sel yang motil mempunyai dua flagela, salah satu dari
lembut dan lebih panjang dibanding yang lainnya. Xanthophyceae ada yang selnya
tidak memiliki dinding, tetapi yang selnya berdinding mengandung pektin dalam
jumlah yang besar. reproduksi aseksual pada umumnya melalui pembelahan dan
pembentukan zoospora. Kebanyakan alaga Xanthophyceae melekat pada substrat dan
epifit pada makrofita. Sebagian besar anggotanya bersifat planktonik dan
meliputi genus-genus umum seperti Chlorobotrys, Gleobotrys dan Gleochloris.
4.
Alga Coklat-keemasan
Kromofora Chrysophyceae menghasilkan
susunan warna coklat keemasan karena adanya β-karotene dan xanthophyl khusus
yaitu karotenoids dan juga mengandung khlorofil a. Kebanyakan dari alga
Chrysophycean adalah unicellular contohnya Ochromonas,
dan beberapa ada yang berupa koloni contohnya Synura, dan jarang yang berbentuk filamen. Banyak jenis yang tidak
mempunyai dinding sel dan dilemgkapi oleh membran sitoplasmik, sedangkan
beberapa permukaan sel ditutup oleh plat mengandung zat kapur atau mengandung
silika. Reproduksi secara vegetatif dengan pembelahan sel secara membujur.
Jenis yang unicellular dengan flagel tunggal meliputi Chromulina, Chrysococcus dan Mallomonas. Chrysophyceae yang
berbentuk koloni yang besar misalnya Synura,
Chrysophaerella, Uroglena, dan
Dinobryon. Beberapa jenis alga Chrysophyceae dapat melakukan fotosintesis
dengan phagotrophy. Alga yang phagotrophy mendapat nutrisi dan energi dengan
mencerna bakteri.
5.
Diatoms (Bacillariophyceae)
Diatom banyak ditemukan di dalam air.
Karakteristik bacillariophyceae adalah memiliki dinding sel dan bentuknya dapat
berupa koloni dan unicellular. Kelompok ini dibagi menjadi dua yaitu diatom
simetri (central) yang mempunyai simetri radial dan diatom pinatus atau
bertagkai (pennales) yang memiliki simetri bilateral. Dinding sel atau frustul
diatom terdiri atas dua katup yang cocok satu dengan lainnya. Empat kelompok
utama pada diatom bertangkai meliputi, a) Araphidineae (Pseudoraphe, Asterionella, Diatoma, Fragileria); b) Raphidioidineae
(Actinelia, Eunotia); c)
Monoraphidineae (Achnanthes, Cocconeis);
dan d) Biraphidineae (Amphora, Cymbella, Gomphonema, Navicula).
Dinding sel tersusun atas dua belahan yaitu kotak (hipoteca) dan tutup
(epiteca). Reproduksi secara vegetatif dengan sel adalah dengan cara membelah
diri. Reproduksi seksual terjadi hanya ketika sel merespon kondisi-kondisi
lingkungan, misalnya cahaya, temperatur, nutrien, faktor pertumbuhan dan
lain-lain.
6.
Cryptophyceae (kriptofita)
Kebanyakan dari alga crytophyceae adalah
unicellular dan motil. Anggota plankton Cryptomonadineae misalnya Cryptomonas, Rhodomonas dan Chroomonas. Crytophyceae melakukan
reproduksi melalui pembelahan sel secara membujur. Ganggang crytophyceae hampir
ada pada semua danau, dengan mengabaikan status yang trophiknya. Kerakteristik
crytophyceae meliputi, dan mampu bereproduksi pada cahaya yang berintesitas
rendah.
7.
Dinophyceae (dinoflagellata)
Dinoflagellata merupakan alga satu sel
berflagel sehingga banyak yang motile. Mayoritas tidak mempunyai diding sel (Gymnodinium). Permukaan sel mempunyai
garis melintang dan kerut membujur yang saling berhubungan dan berisi flagel.
Dinoflagellata bereproduksi secara seksual, tetapi yang dominan adalah
reproduksi aseksual melalui pembentukan aplanospora.
8.
Euglenophyta (kelompok
euglena)
Ganggang euglenoid (Euglenophyceae)
ukurannya relatif lebih besar dan merupakan fitoplankton yang sesungguhnya.
Hampir semua euglenoids adalah unicellular, tidak mempunyai suatu dinding sel
dan mempunyai flagella yang berasal dari invaginasi membran sel. Reproduksi
terjadi dengan pembelahan sel secara longitudinal. Euglenoid mendapatkan
nutrisi melalui fotosintesis, tetapi sebagian ada yang bersifat fagotrofik.
Amoniak dan campuran nitrogen organik adalah sumber nitrogen yang penting bagi
kebanyakan ganggang euglenoid.
9.
Alga Coklat dan Merah
Alga coklat (Phaoephyta) kebanyakan
berbentuk filamen atau ganggang bertalus. Sebagian besar hidup di air laut,
yang hidup di air tawar hidupnya melekat pada substrat. Ganggang merah
(Rhodophyta) juga sangat jarang yang tersebar pada perairan tawar. Jenis yang
bertalus (Batrachospermum) hidup
terbatas pada air yang berarus dan teroksigenasi dengan baik.
D. Pengertian Makrofita
Tumbuhan air atau makrofita yang hidup pada
suatu lingkungan perairan dapat dikatakan sebagai salah satu faktor ekologis di
suatu perairan, karena tumbuhan air merupakan sumber utama makanan primer bagi
kehidupan organisme air misalnya ikan. Apabila keberadaannya cukup padat di
lingkungan perairan, maka tumbuhan air tidak hanya sebagai faktor ekologi,
melainkan dapat sebagai faktor pembatas karena dapat mengakibatkan kekurangan
oksigen di perairan tersebut. Makrofita mempunyai peran penting dalam
meningkatkan kualitas oksigen terlarut di lingkungan perairan karena pada
tumbuhan air mempunyai klorofil, dan juga sebagai sumber pakan bagi ikan gurami
ataupun nila, selain itu juga sebagai runtuhan (sisa-sisa) yang essensial untuk
organisme saprofit.
Sibontang (1988), menyatakan bahwa dari
kelompok makrofita, nutrien diasimilasikan dari endapan oleh makrofita yang
memiliki daun mengembang, berakar dan mengapung dari makrofita terapung bebas.
Pada makrofita berakar terbenam akan memperoleh nutriennya terutama pada batas
air dengan endapan, dimana konsentrasi jauh lebih besar dari pada dalam air.
Tersedianya cahaya merupakan faktor utama yang mengatur pertumbuhan dan
interaksi kompetitif pada makrofita aquatik. Pertumbuhan makrofita biasanya
lebih tinggil pada endapan yang kaya bahan organik dari pada endapan pasir.
E. Jenis Makrofita
Makrovita
bersifat makroskopik, berbeda dengan tumbuhan lain, ganggang misalnya, yang
biasanya mikroskopik. Kebanyakan makrofita membutuhkan akar dan oleh karena itu
berkembang didalam air yang relative dangkal. Makrofita di danau tumbuh secara
normal dan muncul dari air. Makrofita yang tumbuh tinggi misalnya Phragnites. Makrofita yang daunnya
mengapung datar di permukaan air adalah bunga teratai (Nymphaea) dan rumput-rumputan liar (misalnya Patamogeton). Sebagian tumbuhan ada yang berada pada dasr air
seperti Myriophyllum dan Ceratophyllum. Diantara tumbuhan yang megapung
pada permukaan, tumbuhan yang paling kecil menempati tempat ini adalah Lemma, dan yang paling besar meliputi
eceng gondok (Eichornia) dan sejenis
paky (Salvinia)
Pada tumbuhan air, daun- daun dan batang makrofita berisi
rongga udara yang besar yang berisi tumbuhan tersebut apabila kekurangan
oksigen. Keseluruhan tumbuhan yang ada pada permukaan air tidak bisa memperoleh
oksigen dari udara bebas dan harus mengambil udara dan air. Mereka mempnyai
daun-daun sangat tiptis dan sebagian besar oksigen hasil fotosintesis tidak
semua dikeluarkan, hal itu bertujuab untuk mengurangi kekurangan pada akar.
Beberapa jenis tumbuhan air yang tergolong makrofita diantaranya:
1. Tumbuhan
teratai
Teratai
merupakan nama umum untuk genus Nymphaea
yang merupakan tumbuhan air. Tanaman teratai memiliki ciri khas
dengan daun yang mengambang di permukaan air yang tenang. Tanaman teratai pun
menghasilkan bunga mempesona yang memiliki warna beraneka ragam. Di beberapa
daerah di Indonesia teratai dikenal dengan beberapa nama yang hampir mirip
seperti teratai, dan terate. Dalam bahasa Inggris, bunga dari genus Nymphaea ini dikenal
sebagai water-lily
atau waterlily.
Gambar 1: (Teratai putih/ Nymphaea) alba)
|
Klasifikasi Ilmiah bunga teratai:
Kerajaan :
Plantae
Subkingdom :Tracheobionta(Tumbuhan berpembuluh)
Super Divisi :
Spermatophyta (Menghasilkan biji)
Divisi :
Magnoliophyta (Tumbuhan berbunga)
Kelas :
Magnoliopsida (berkeping dua / dikotil)
Sub Kelas :
Magnoliidae
Ordo :
Nymphaeales
Famili :
Nymphaeaceae
Genus :
Nymphaea
Tanaman teratai tumbuh di permukaan air yang
tenang. Tanaman teratai juga memiliki
daun yang tumbuh mengambang di permukaan air. Bunga teratai terdapat di permukaan air, bunga dan daun
teratai keluar dari tangkai yang berasal dari rizoma yang berada di dalam
lumpur pada dasar kolam, sungai atau rawa.
2. Tumbuhan krangkong ( Ludwigia
adscendens)
Merupakan tumbuhan air yang tumbuh secara liar di
tepi-tepi sungai, sawah atau ditempat-tempat yang berair, pada ketinggian 10 m
sampai 1600 m di atas permukaan laut. Berbunga pada bulan Mei-Agustus dan
pengurnpulan bahan dapat dilakukan sepanjang tahun.
Klasifikasi:
Gambar 2: (Tumbuhan
Krangkong / Ludwigia adscendens)
Kingdom : Plantae
Divisi :Spermatophyta
Sub Divisi :Angiospermae
Kelas : Dicotyledoneae
Sub Kelas :Dialypetalae
Bangsa :Myrtales
Suku :Onagraccae
Marga :Ludwigia
Spesies : Ludwigia adscendens
(L.)
3. Tumbuhan
kangkung
Gambar 2: (Tumbuhan Kangkung)
Klasifikasi
Kerajaan:
|
|
Divisi:
|
|
Kelas:
|
|
Ordo:
|
|
Famili:
|
|
Genus:
|
|
Spesies:
|
Ipomoea aquatica
|
Kangkung
(Ipomoea aquatica) merupakan sejenis tumbuhan yang termasuk jenis
sayur-sayuran dan di tanam sebagai makanan. Kangkung banyak dijual di
pasar-pasar. Kangkung banyak terdapat di kawasan Asia dan merupakan tumbuhan
yang dapat dijumpai hampir di mana-mana terutama di kawasan berair. Kangkung termasuk suku
Convolvulaceae atau keluarga kangkung-kangkungan. Merupakan tanaman yang tumbuh
cepat dan memberikan hasil dalam waktu 4-6 minggu sejak dari benih. Terna semusim
dengan panjang 30-50 cm ini merambat pada lumpur dan tempat-tempat yang basah
seperti tepi kali, rawa-rawa, atau terapung di atas air. Biasa ditemukan di
dataran rendah hingga 1.000 m di atas permukaan laut. Tanaman bernama Latin Ipomoea reptans ini terdiri dan dua
varietas, yakni kangkung darat yang disebut kangkung cina dan kangkung air yang
tumbuh secara alami di sawah, rawa, atau parit.
Bagian tanaman kangkung yang paling penting adalah batang muda dan
pucuknya sebagai bahan sayur-mayur. Menurut Dr. Setiawan, kangkung mempunyai
rasa manis, tawar, sejuk. Sifat tanaman ini masuk ke dalam meridian usus dan
lambung. Efek farmakologis tanaman ini sebagai antiracun (antitoksik),
antiradang, peluruh kencing (diuretik),menghentikan perdarahan (hemostatik),
sedatif (obat tidur). Selain vitamin A, B1, dan C, kangkung juga mengandung
protein, kalsium, fosfor, besi, karoten, hentriakontan, sitosterol.
Secara anatomi tanaman
kangkung memiliki akar serabut yang tumbuh disetiap ruas batang, sehingga
memiliki daya hisap yang tinggi terhadap logam-logam yang ada di sungai.
Stuktur batang yang berongga berguna untuk mempercepat proses kapilaritas dari
batang. Akibatnya kemampuan untuk mengangkut air limbah bisa terjadi dengan
cepat. Struktur daun yang terdiri dari 3-5 lima helai dengan struktur daun yang
tipis menyebabkan tumbuhan mudah kehilangan air karena air yang ada di dalam
menguap. Hilangnya air yang menguap akan menyebabkan tekanan pada daun menjadi
rendah sehingga menarik air yang ada di pembuluh. Isapan daun ini akan membuat
air yang terdapat di akar naik ke atas. Dengan stuktur anatomi, morfologi dan
fisiologi kangkung yang seperti ini sehingga tanaman ini dapat menyerap
berbagai jenis polutan yang ada di sungai. (Anonim,Tanpa tahun)
Tumbuhan hydrila (Hydrilla verticillata)
Tumbuhan Eceng Gondok
(Eichhornia
crassipes)
Eceng
gondok (Eichhornia crassipes (Mart.) Solm.) merupakan tanaman gulma di
wilayah perairan yang hidup terapung pada air yang dalam atau mengembangkan
perakaran di dalam lumpur pada air yang dangkal. Eceng gondok berkembangbiak
dengan sangat cepat, baik secara vegetatif maupun generatif. Perkembangbiakan
dengan cara vegetatif dapat melipat ganda dua kali dalam waktu 7-10 hari. Hasil
penelitian Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Sumatera Utara di Danau Toba
(2003) melaporkan bahwa satu batang eceng gondok dalam waktu 52 hari mampu
berkembang seluas 1 m2, atau dalam waktu 1 tahun mampu menutup area seluas 7
m2. Heyne (1987) menyatakan bahwa dalam waktu 6 bulan pertumbuhan eceng gondok
pada areal 1 ha dapat mencapai bobot basah sebesar 125 ton.
Perkembangbiakannya
yang demikian cepat menyebabkan tanaman eceng gondok telah berubah menjadi
tanaman gulma di beberapa wilayah perairan di Indonesia. Di kawasan perairan
danau, eceng gondok tumbuh pada bibir-bibir pantai sampai sejauh 5-20 m.
Perkembangbiakan ini juga dipicu oleh peningkatan kesuburan di wilayah perairan
danau (eutrofikasi), sebagai akibat dari erosi dan sedimentasi lahan, berbagai
aktivitas masyarakat (mandi, cuci, kakus/MCK), budidaya perikanan (keramba
jaring apung), limbah transportasi air, dan limbah pertanian.(Pasaribu,Tanpa
Tahun)
F. Peran Makrofita
Makrofita di perairan selain berdampak
negatif juga mempunyai fungsi positif bagi perikanan. Hasil penelitian Petr
(2000), Pokorny & Kvet (2004), Pipalova (2006), dan Krismono et al., (2007)
menyatakan bahwa makrofita merupakan komponen yang penting dalam ekosistem
sebagai habitat pemijahan ikan, asuhan ikan, menempelnya pakan alami dan
penyerap konsentrasi nutrien serta logam berat. Secara umum pengaruh makrofita
pada ekosistem danau merupakan bagian dari rantai stabilitas perairan.
Eceng gondok dapat berfungsi sebagai
pembersih limbah rumah tangga. Eceng gondok juga dapat membersihkan waduk dan
danau dari polutan pestisida dan logam berat. Hal ini telah dibuktikan secara
histologis oleh Warrier & Seroja (2008). Eceng gondok dapat tumbuh cepat 3%
hari-1 khususnya di saluran-saluran air
Sungai Musi Sumatera selatan. Eceng gondok berkembang biak dalam satu minggu
dapat tumbuh dua kali lipat.
G.
Faktor
yang Berpengaruh terhadap Keberadaan Perifiton
Produktivitas dan
biomassa perifiton dikontrol oleh energi dan input atau masukan nutrien. Faktor
dasar yang mengontrol produktivitas fitoplankton dan perifiton adalah suhu,
cahaya, ketersediaan makro-mikronutrien dan substrat. Pada daerah yang dalam
biasanya cahaya menjadi faktor pembatas pertumbuhan perifiton.
1. Substrat
Keberadaan
perifiton tidak terlepas dari adanya substrat tempat hidupnya. Perkembangan
perifiton menuju kemantapan komunitasnya sangat ditentukan oleh kemantapan
substrat. Berdasarkan substrat yang didiami, perifiton dapat dibedakan atas:
§ epipelik,
mikroorganisme yang menempel pada permukaan sedimen;
§ epilitik,
mikroorganisme yang menempel pada permukaan batuan;
§ epifitik,
mikroorganisme yang menempel pada permukaan tumbuhan;
§ epizoik,
mikroorganisme yang menempel pada permukaan hewan;
§ episamik,
mikroorganisme yang hidup dan bergerak diantara butiran-butiran pasir;
§ epidendrik,
mikroorganisme yang menempel pada permukaan batang kayu.
Substrat buatan merupakan benda yang secara
sengaja dibuat untuk dijadikan media tumbuh suatu organisme, misalnya
perifiton. Disebutkan keuntungan dari penggunaan substrat buatan dalam
penelitian komunitas perifiton antara lain adalah mudah standarisasinya, karena
substrat dari masing-masing organisme dapat disamakan di tiap-tiap stasiun pada
waktu yang sama sehingga organisme disetiap lokasi mempunyai kesempatan yang
sama untuk melekat dan tumbuh. Selain itu ketepatan laju pertumbuhan dan laju
akumulasinya dapat ditentukan dan dibandingkan, pengumpulan datanya mudah, dan
memungkinkan menjadikan perifiton sebagai petunjuk yang peka bagi kualitas air.
Kerugian dalam menggunakan substrat buatan antara lain spesies yang hidup
secara alami mungkin tidak terambil; laju akumulasi pada hakekatnya bukan
merupakan produktivitas karena pertumbuhannya dimulai pada tempat yang kosong.
Menurut Collins and Weber in Biggs (1988) dalam menggunakan substrat buatan ada
tiga faktor yang perlu diperhatikan, yaitu:
o Waktu
pemaparan, yang akan mempengaruhi perluasan pertumbuhan
o Kecepatan
arus, yang dapat menguntungkan beberapa taksa
o Musim.
Waktu pemaparan merupakan faktor yang paling
penting, karena dapat mengakibatkan fluktuasi yang besar terhadap biomassa yang
tidak berhubungan dengan gangguan fisik atau kualitas air. Schwoerbel (1972) in
Supriyanti (2001) menyatakan bahwa warna substrat tidak berpengaruh terhadap
perifiton. Penempatan substrat di daerah yang sangat subur dan tercemar, letak
lempengan horisontal tidak memberikan hasil yang baik, adanya sedimentasi yang
intensif menyebabkan detritus dengan cepat menutupi gelas, sehingga pada daerah
ini posisi vertikal lebih baik. Untuk daerah oligotrofik, posisi horisontal
akan memberikan hasil yang baik.
2. Kualitas
air
Kondisi perairan
sebagai tempat hidup perifiton terdiri atas komponen biotik dan abiotik yang
saling berinteraksi. Komponen abiotik pada perairan diantaranya adalah kualitas
perairan yang akan berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan komunitas
perifiton.
· Suhu
Organisme
diperairan umumnya memiliki toleransi yang sempit terhadap suhu. Perubahan suhu
mengakibatkan perubahan pola sirkulasi dan stratifikasi yang jelas berpengaruh
besar atas kehidupan organisme akuatik, suhu optimum pada perairan berkisar
antara 30-35 oC (Odum 1971). Menurut (APHA 1995), suhu air
dipengaruhi oleh substrat, kekeruhan, suhu, tanah dan air hujan, serta
pertukaran panas udara dan permukaan air. Organisme perairan yang hidup secara
alami di suatu perairan adalah jenis-jenis yang dapat menyesuaikan diri dengan
suhu air dan sifat kualitas atau kondisi air. Suhu berpengaruh terhadap
kelarutan gas-gas dalam air, termasuk oksigen.
Kecepatan
metabolisme dan respirasi organisme air juga memperlihatkan peningkatan dengan
naiknya suhu perairan yang selanjutnya mengakibatkan peningkatan konsumsi
oksigen. Peningkatan suhu perairan sebesar 10 °C akan meningkatkan meningkatkan
konsumsi oksigen organisme akuatik sekitar 2-3 kali
lipat (Haslam 1995). Suhu yang optimal bagi
pertumbuhan fitoplankton adalah 20-30 °C (Ray and Rao 1964). Proses
fotosintesis dan pertumbuhan sel alga maksimum terjadi pada kisaran suhu 25-40
°C (Reynolds 1990).
· Derajat
keasaman (pH)
Nilai pH
didefinisikan sebagai logaritma dari perbandingan timbal balik antara ion
hidrogen bebas. Nilai pH air alami ditentukan oleh besarnya interaksi ion H+
dari pelepasan H2CO3 dan dari ion OH- yang dihasilkan dari hidrolisis
bikarbonat. Oksidasi dari batu pyrit dan tanah pada badan sungai dapat
menghasilkan asam sulfur dan dapat menurunkan nilai pH perairan (Wetzel 1983).
Nilai pH dipengaruhi oleh beberapa parameter antara lain aktivitas biologi,
suhu, kandungan oksigen, dan adanya ion-ion. Dari hasil aktivitas biologi
dihasilkan CO2 yang merupakan hasil respirasi, CO2 inilah yang akan membentuk
ion buffer atau penyangga untuk kisaran pH diperairan agar tetap stabil
(Pescod, 1973). Ray and Rao (1964) menyatakan pH optimum untuk perkembangan
diatom antara 8,0–9,0. Diatom mulai berkurang perkembangannya pada nilai pH
antara 4,6–7,5, namun demikian pada kisaran pH tersebut masih didapatkan
berbagai jenis diatom.
· Kecerahan
Cahaya matahari
sangat penting dalam proses fotosintesis pada perifiton autotrof. Sehingga
keberadaan cahaya matahari merupakan faktor pembatas bagi perifiton. Setiap
jenis perifiton membutuhkan suhu dan cahaya tertentu untuk pertumbuhan
maksimumnya (Fogg 1965). Intensitas cahaya matahari dapat diukur dengan tingkat
kecerahan perairan. Kecerahan suatu perairan mempengaruhi daya tembus cahaya
yang memasuki perairan. Sering kali penetrasi cahaya terhalang oleh
partikel-partikel kecil dalam air. Apabila kekeruhan air disebabkan oleh
jasad-jasad hidup, maka nilai kecerahan merupakan indikasi produktivitas (Odum
1971). Kecerahan menggambarkan sifat optik air yang ditentukan berdasarkan
banyaknya cahaya yang diserap dan dipancarkan oleh bahan-bahan yang terdapat
dalam air.
· Unsur
hara
Unsur hara yang
terdapat dalam perairan memiliki pengaruh terhadap perkembangan komunitas
perifiton. Nitrogen dan fosfor merupakan unsur hara perairan yang terdapat
dalam bentuk senyawa seperti ammonia, nitrit, nitrat dan ortofosfat.
o Nitrogen
Senyawa nitrogen ditemukan pada tumbuhan
dan hewan sebagai penyusun protein dan klorofil. Nitrogen adalah unsur penting
bagi makhluk hidup disamping karbon, hidrogen, dan oksigen. Nitrogen adalah
komponen utama di dalam metabolisme protein. Nitrogen di perairan berada dalam
bentuk senyawa anorganik seperti nitrit (NO2), nitrat (NO3), amonium (NH4), dan
amonia (NH3) serta jumlahnya realatif sedikit. Kekurangan nitrogen akan
berakibat terbatasnya produksi protein dan materi-materi lain yang dibutuhkan
untuk memproduksi sel-sel baru (Garcia and Garcia 1985).
Nitrat (NO3) adalah bentuk utama
nitrogen di perairan alami dan merupakan nutrien utama bagi pertumbuhan tanaman
dan alga. Nitrat yang merupakan sumber nitrogen bagi tumbuhan selanjutnya
dikonversi menjadi protein. Nitrat juga merupakan zat hara penting bagi
organisme autotrof dan diketahui sebagai faktor pembatas pertumbuhan (APHA
1995). Nitrat nitrogen bersifat mudah larut dan stabil. Senyawa ini dihasilkan
dari proses oksidasi sempurna senyawa nitrogen di perairan. Kadar amonia dan
nitrat yang sesuai untuk pertumbuhan alga < 0,5 mg/l.
o Fosfor
Fosfor yang berada dalam perairan umumnya
ditemukan dalam bentuk senyawa organik dan anorganik. Senyawa anorganik berada
dalam bentuk fosfat dan polifosfat, sedangkan yang berbentuk senyawa organik
berupa gula fosfat dan hasil-hasil oksidasinya merupakan senyawa yang tidak
mudah terurai. Fosfor yang terdapat di air berasal dari dekomposisi organisme yang
telah mati. Senyawa fosfat dapat berasal dari proses erosi tanah, buangan dari
hewan dan pelapukan tumbuhan serta limbah industri, pertanian dan domestik.
Keberadaan fosfat di air dipengaruhi oleh
proses biologi dan fisika, yaitu pemanfaatan fitoplankton maupun pergerakan
massa air. Kandungan fosfat akan meningkat dengan meningkatnya kedalaman.
Konsentrasi fosfor sering menjadi faktor pembatas di perairan alami. Fosfor
merupakan unsur pembatas pertumbuhan yang umum pada perifiton meskipun fosfor
ini dibutuhkan dalam jumlah yang sedikit.
Keberadaan fosfor yang berlebihan dan diikuti
dengan keberadaan nitrogen dapat menstimulir peledakan pertumbuhan alga di
perairan. Alga yang berlimpah ini dapat membentuk lapisan pada permukaan air
yang selanjutnya dapat menghambat penetrasi cahaya matahari dan oksigen
sehingga kurang menguntungkan bagi ekosistem perairan. Nilai kisaran ortofosfat
yang baik bagi pertumbuhan perifiton adalah 0,011–0,1 mg/l, pada nilai kisaran
tersebut perairannya tergolong subur.
3. Komunitas
Perifiton
Komunitas perifiton terbentuk dari perifiton
yang berkolonisasi pada suatu media (substrat). Kolonisasi dapat diartikan
sebagai suatu proses pertumbuhan dan perkembangan dari suatu populasi organisme
pada suatu media hidup. Kolonisasi dapat terjadi bila segala kebutuhan hidup
organisme terpenuhi atau bila terdapat kesempatan untuk mengisi relung yang
belum termanfaatkan. Strukturisasi merupakan proses perkembangann koloni-koloni
yang berhasil mengisi relung-relung yang tersedia pada media hidup. Dengan
demikian proses ini menunjukkan kompleksitas dari komunitas pada media hidup
tersebut.
Komunitas yang terdiri dari berbagai populasi
bersifat dinamis dalam interaksinya yang berarti dalam ekosistem mengalami
perubahan sepanjang masa. Perkembangan ekosistem menuju kedewasaan dan
keseimbangan dikenal sebagai suksesi ekologis atau suksesi. Suksesi terjadi
sebagai akibat dari modifikasi lingkungan fisik dalam komunitas atau ekosistem.
Proses suksesi berakhir dengan sebuah komunitas atau ekosistem klimaks atau
telah tercapai keadaan seimbang.
H.
Cara
Meneliti Perifiton
Seorang ilmuwan untuk meneliti perifiton,
sebelumnya harus mengerti habitatnya untuk menemukan perifiton tertentu sesuai
dengan kemampuan adaptasinya terhadap lingkungan. Danau, sebagai perairan tergenang,
memiliki karakteristik antara lain berarus lambat, retention time relatif lama, memiliki stratifikasi lapisan secara
vertikal, serta biota yang hidup tidak memiliki adaptasi khusus. Komunitas
tumbuhan dan hewan tersebar di danau sesuai dengan kedalaman dan jaraknya dari
tepi. Rutner (1974) menjelaskan mengenai zonasi yang berperan dalam membentuk
struktur komunitas perifiton, yaitu:
a. Zona
eulitoral, adalah daerah pinggiran yang masih mendapatkan percikan air. Daerah
ini ditumbuhi perifiton yang mampu bertahan terhadap perubahan lingkungan yang
cukup ekstrim.
b.
Zona sublitoral atas, yaitu
zona perairan yang masih dapat ditembus sinar matahari, perubahan suhu kecil
dan tidak berarti. Zona ini memiliki komposisi perifiton yang paling kaya.
c.
Zona sublitoral bawah, yaitu
zona air yang kurang mendapat sinar matahari. Intensitas cahaya dan suhu
menurun menurut wilayah termoklin, dengan kondisi demikian, jenis alga hijau
secara kuantitatif menurun, namun masih layak bagi diatom, alga biru dan alga
merah.
d.
Zona air gelap, pada zona
ini komunitas perifiton jenis alga autotrof semakin menghilang dan digantikan
jenis-jenis heterotrof.
Di bawah ini adalah tahap-tahap yang dilakukan dalam meneliti
komunitas perifiton serta parameter fisika-kimia oleh Niken Pratiwi, 2007
yaitu:
1.
Pengambilan
contoh air pada lokasi (geologi) yang telah ditentukan, yang mana diambil dari
bermacam-macam jenis substrat.
2.
Sambil mengambil
contoh air dari bermacam-macam substrat, peneliti dapat melakukan analisis
parameter fisika dan kimia perairan, yaitu suhu, arus, DO, pH, kekeruhan
(turbiditas), TSS, TDS, DHL, BOD5, COD, dan unsur hara (nitrat,
ammonia, dan ortofosfat). Di samping parameter-parameter tersebut, terdapat
beberapa parameter yang berkaitan dengan hidrologi sungai yaitu
lebar badan sungai, lebar sungai, kedalaman, kecepatan arus, dan debit air.
3.
Analisis komunitas
perifiton: Berdasarkan kelimpahan (modifikasi Eaton et al., 1995) setiap
genus perifiton dilakukan penghitungan terhadap keanekaragaman (H’),
keseragaman (E), dan dominansi (C) (Odum, 1971). Untuk menguji kesamaan nilai
tengah kelimpahan selama pengamatan dilakukan uji Kruskal-Wallis (Walpole,
1995). Selain itu, dilakukan analisis tingkat kesamaan kelimpahan perifiton
terhadap waktu pengamatan (Walpole, 1995), analisis kualitas lingkungan
perairan menurut National Sanitation Foundation’s/NSF (Ott, 1978) serta
dengan klasifikasi saprobik dan koefisien sistem saprobik (modifikasi Dresscher
dan Van der Mark, 1976 in Soewignyo et al., 1986). Untuk melihat
hubungan kelimpahan perifiton parameter fisika dan kimia perairan, digunakan
pendekatan analisis statistik uji Pearson correlation.
i. Beberapa penelitian tentang Fitoplankton
Adapun beberapa hasil penelitian tentang
fitoplankton yang dilakukan diperairan Indonesia Adalah:
1.
Produktivitas Primer Fitoplankton di Teluk Bungus
Studi mengenai produktivitas primer fitoplankton di
Teluk Bungus dilakukan pada Mei 2012. Tujuan studi ini untuk menentukan
produktivitas primer fitoplankton dan hubungannya dengan beberapa faktor
lingkungan yang diukur. Van dorn water sampler digunakan mengkoleksi
sampel air untuk keperluan analisis klorofil-a dan fisika kimia perairan.
Produktivitas primer fitoplankton masih dikategorikan normal (bagus) dengan
kisaran kadar klorofil-a dari 0,07 to 0,66 mg/m3. Kadar klororfil-a berkorelasi
positif secara signifikan dengan salinitas.
Berdasarkan analisis regresi linear sederhana antara
klorofil-a dengan beberapa parameter lingkungan yang diukur (kecerahan,
salinitas, nitrat, ortofosfat, kepadatan), didapatkan hasil klorofil-a berkorelasi
positif secara signifikan dengan salinitas. Nilai koefisien korelasi (r) = 0,88
dan koefisien determinasi (r2) = 0,78 serta p hitung (0,007) < p 0,05.
2. FITOPLANKTON PENYEBAB
HARMFUL ALGAE BLOOMS (HABs) DI PERAIRAN SIDOARJO
Harmful Algae Blooms (HABs) adalah suatu fenomena
blooming fitoplankton toksik di suatu perairan yang dapat menyebabkan kematian
biota lain. Toksin yang dihasilkan HABs dapat mengkontaminasi manusia melalui
perantara kerang dan ikan. Perairan Sidoarjo merupakan muara dari beberapa
sungai dan penting sebagai area penangkapan perikanan. Data monitoring Dinas
Kelautan dan Perikanan tahun 2006 menunjukkan bahwa di perairan Sidoarjo
ditemukan spesies yang berpotensi menyebabkan HABs yaitu Ceratium fucus,
Ceratium tripos dan Dinophysis caudata. Penelitian ini bertujuan untuk
menginventarisasi dan mengetahui kepadatan serta distribusi fitoplankton yang
berpotensi menyebabkan HABs di perairan Sidoarjo. Pengambilan sampel
fitoplankton dilakukan pada bulan Mei 2008 di 12 titik pengambilan sampel
dengan menggunakan jaring fitoplankton 20μm. Hasil penelitian menunjukkan
terdapat 11 spesies penyebab HABs, Nitzschia sp., Chaetoceros sp.
(modifikasi Citra LANDSAT 2003;
Skala 1:217458)
Setelah dilakukan pengamatan pada sampel dari perairan
Sidoarjo, maka data hasil pengamatan dan penghitungan dapat dilihat pada Tabel
1. Fitoplankton yang ditemukan pada 12 titik sampling di perairan Sidoarjo
berkisar antara 18-27 spesies yang terdiri dari tiga kelas yaitu Bacillariophyceae,
Dinophyceae dan Cyanophyceae. Skeletonema costatum merupakan spesies yang
hampir dominan di semua titik, dengan jumlah tertinggi pada titik-4. Kepadatan
fitoplankton berkisar antara 405 – 46967 ind/L dengan kepadatan fitoplankton tertinggi
di titik-4 dan kepadatan terendah di titik-10. diketahui indeks diversitas fitoplankton pada
perairan Sidoarjo, memiliki kisaran indeks diversitas dari 0,27 hingga 2,37.
Indeks tertinggi didapat pada titik 4 sedangkan indeks terendah pada titik 6.
3.
STRUKTUR
KOMUNITAS FITOPLANKTON DI PERAIRAN TELUK SEKOTONG DAN TELUK KODEK, KABUPATEN
LOMBOK
Komposisi atau genera fitoplankton di
perairan Teluk sekotong (stasiun 1-10) dan di Teluk Kodek (stasiun 11-16) selengkapnya
disajikan pada Tabel Sedangkan
kelimpahan fitoplankton di perairan Teluk sekotong (stasiun 1-10) dan di Teluk
Kodek (stasiun 11-16) selengkapnya disajikan pada Gambar 3. Baik di Teluk
Sekotong maupun di Teluk Kodek teridentifikasi sebanyak 27 marga terdiri atas
diatom 18 marga (Asterionella, Bacteriastrum, Coscinodiscus,
Chaeto-ceros, Climacodium, Hemiaulus, Lauderia, Leptocylindrus, Mellosira,
Nitzschia, Navicula, Odontela, Plankto-niella, Rhizosolenia, Skeletonema,
Streptotheca, Thalassiosira, Thalassio-thrix) dan dinoflagellata 9 marga (Amphizolenia,
Ceratium, Diplosalis, Dinophysis, Gymnodinium, Noctiluca, Ornithoceros,
Protoperidinium, Prorocen-trum). Kelimpahan fitoplankton di perairan Teluk
Sekotong relatif lebih tinggi dibandingkan dengan di perairan Teluk Kodek.
Kelimpahan fitopankton di Teluk Sekotong berkisar antara 834.134 – 6.488.888
sel/m3 , sedangkan pada Teluk Kodek berkisar antara 53.571 - 191.642 sel/m3.
Kelompok diatomae relatif tinggi dibandingkan kelompok dinoflagellata baik di
perairan Teluk Sekotong maupn Teluk Kodek. Kelompok diatomae mendominansi
fitoplankton berkisar antara 82,46% - 99,4% sedangkan kelompok dinoflagellata
hanya 0,16 – 17,54%.
Tabel
1. Genera fitoplankton diatomae dan dinoflagellata di perairan Teluk Sekotong
(stasiun 1-10) dan Teluk Kodek (stasiun 11-16).
Kelas
|
Genera
|
Diatomae
|
Asterionella, Bacteriastrum, Coscinodiscus, Chaetoceros,
Climacodium, Hemiaulus, Lauderia, Leptocylindrus, Mellosira, Nitzschia,
Navicula, Odontela, Planktoniella, Rhizosolenia,
Skeletonema, Streptotheca,
Thalassiosira, Thalassiothrix.
|
Dinoflagellata
|
Amphizolenia,
Ceratium, Diplosalis, Dinophysis, Gymnodinium, Noctiluca, Ornithoceros,
Protoperidinium, Prorocentrum.
|
KESIMPULAN
Fitoplankton yang ditemukan baik di perairan
Teluk Sekotong maupun Teluk Kodek terdiri atas 18 marga diatom dan 9 marga
dinoflagellata. Kelimpahan fitoplankton di perairan Teluk Sekotong lebih besar
dibandingkan di perairan Teluk Kodek. Hal ini diduga karena ketersediaan
nutrien yang berbeda. Keanekaragaman genera fitoplankton di perairan Teluk
Sekotong tergolong kurang – sedang dan terdapat kecenderungan adanya dominasi
oleh salah satu genera dalam populasi. Keanekaragaman genera fitoplankton di
perairan Teluk Kode tergolong sedang dan kecenderungan dominansi oleh salah
satu genera dalam populasi tersebut rendah. Faktor utama yang mempengaruhi hal
tersebut diatas diduga adalah faktor ketersediaan nutrien yang berbeda dan
dominasi oleh marga Skeletonema dan Chaetoceros karena marga
tersebut mampu bersaing dalam menyerap hara lebih cepat. Ketersediaan silikat
yang tinggi mampu mendukung bagi kelimpahan marga diatom
4. KETERIKATAN ANTARA
KELIMPAHAN FITOPLANKTON DENGAN PARAMETER FISIKA KIMIA DI ESTUARI SUNGAI BRANTAS
(PORONG),
JAWA
TIMUR oleh DEWI WULANDARI`
Penelitian dilakukan di perairan Estuari Sungai
Brantas tepatnya di muara
Sungai Porong, Jawa Timur pada
bulan Maret 2007, Agustus 2007, dan Maret 2008. Tujuan dari penelitian ini
adalah untuk mengetahui komposisi jenis dan kelimpahan fitoplankton, dinamika
spasial dan temporal kelimpahan fitoplankton serta keterkaitan antar jenis dan
kelimpahan fitoplankton dengan parameter fisika
dan kimia khususnya nutrien (nitrat, nitrit, ammonia,
fosfat, dan silikat). Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan
informasi ilmiah tentang dinamika struktur komunitas fitoplankton di sebuah
estuari tropis khususnya dalam hal dinamika spasial dan temporal, dalam hal ini
pada muara Sungai Porong, serta informasi ini dapat digunakan untuk pemanfaatan
dan pengelolaan Estuari Sungai Brantas secara optimal. Komposisi jenis
fitoplankton yang ditemukan selama pengamatan didominasi oleh kelas
Bacillariophyceae. Genus Chaetoceros sp ditemukan pada hampir seluruh
stasiun pengamatan. Kelimpahan fitoplankton pada bulan Maret 2007 memiliki nilai
kisaran sebesar 42.744 – 335.034 sel/l.
Komposisi jenis fitoplankton yang ditemukan di
perairan Estuari Sungai Brantas pada setiap bulan pengamatan didominasi oleh
kelas Bacillariophyceae, dengan jenis yang paling banyak ditemukan yaitu genus Chaetoceros
sp. Dan Biddulphia sp. Berdasarkan kesamaan spasial, kelimpahan
fitoplankton tertinggi diperoleh pada bulan Agustus 2007 yaitu dengan kisaran
antara 8.812 – 35.243 sel/l, sedangkan pada pengamatan berdasarkan peningkatan
gradien salinitas, yaitu pada bulan Maret 2007 diperoleh kisaran kelimpahan
fitoplankton sebesar
42.744 – 335.034 sel/l. Dinamika
spasial dan temporal kelimpahan fitoplankton di Estuari Sungai Brantas
menunjukkan bahwa berdasarkan kesamaan spasial, kelimpahan fitoplankton tertinggi
terdapat pada wilayah yang dekat dengan muara sungai yang terjadi pada musim
kemarau yaitu bulan Agustus 2007.
Berdasarkan analisis komponen utama, diperoleh hasil
kelimpahan fitoplankton di perairan Estuari Sungai Brantas (Porong) memiliki
korelasi positif yang erat dengan parameter kecerahan, salinitas, pH dan kadar
nutrien yaitu silikat dan memiliki korelasi negatif dengan parameter nitrat,
nitrit, ammonia, dan fosfat. Korelasi negatif fitoplankton dengan nutrien
menunjukkan bahwa penurunan kadar nutrien terjadi karena pemanfaatan nutrien
secara optimal oleh fitoplankton.
5. KEANEKARAGAMAN
FITOPLANKTON DI PERAIRAN PANTAI SEKITAR MERAK BANTEN DAN PANTAI PENET LAMPUNG
Sebuah studi keanekaragaman fitoplankton di perairan
pesisir Merak, Banten dan Penet Lampung yang menggunakan metode sub sampling.
Sampel diambil dari stasiun yang ditetapkan. Indeks keanekaragaman nilai dan
indeks equitabiliity keledai kedua daerah nilai menunjukkan yang relatif
tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa perairan kedua wilayah masih layak untuk
mendukung kehidupan fitoplankton. Spesies fitoplankton pesisir Komunitas
perairan ditemukan adalah Bacillariophyta dan Pyrrophyta.
Keanekaragaman fitoplankton di perairan Merak-Banten Hasil
pencacahan terhadap sampel fitoplankton di daerah perairan Krakatau Stell
Pantai Merak Banten ditemukan 45 jenis, yang terdiri dari Cyanophyta (4
jenis), Bacillariophyta
(31jenis), dan Pyrrophyta (10 jenis). Cyanophyta yang paling merata ditemukan
adalah jenis Trichodesmium sp. Jenis ini dapat ditemukan di kedua
stasiun baik pada saat pasang maupun surut. Selanjutnya, jenisjenis dari
Bacillariophyta dan Pyrrophyta umumnya ditemukan relatif merata dengan kelimpahan
yang relatif bervariasi. Sedangkan jenis Anabaena sp dan Aphanocapsa sp
hanya ditemukan satu lokasi saja yaitu di Stasiun 1 saat air laut
pasang.
Hasil
analisis terhadap jumlah individu dan jumlah taksa fitoplankton yang ditemukan
di kawasan Pantai Penet, memperlihatkan bahwa secara umum nilai
indeks diversitas fitoplankton di
masingmasing stasiun (baik pada pasang maupun saat surut) tergolong tinggi
(lebih besar dari 4). Keadaan ini terjadi karena jumlah individu setiap jenis
fitoplankton yang ditemukan di masing-masing stasiun tersebar relatif merata.
Hasil analisis juga menunjukkan nilai equitabilitas yang tinggi (lebih besar
dari 0,80) Dari kedua analisis dapat mengindikasikan bahwa tidak terdapat satu
jenispun fitoplankton yang mendominasi. Kondisi seperti ini dapat menjadi
indikasi bahwa perairan di kawasan Pantai Penet masih tergolong baik, terutama
bagi kelangsungan kehidupan dan pertumbuhan berbagai jenis fitoplankton. Oleh
karena itu kualitas perairan tetap perlu dijaga, agar tetap dapat bermanfaat
bagi lingkungan secara global dan masyarakat nelayan di sekitar pantai Penet.
6
PEMETAAN DISTRIBUSI VERTIKAL
KELIMPAHAN FITOPLANKTON SECARA TEMPORAL
DAN SPASIAL DI PERAIRAN TIMUR PULAU BARRANG LOMPO KOTA MAKASSAR
Penelitian ini merupakan bagian awal dari
penelitian lain yang berkaitan dengan pemetaan tingkat kesuburan perairan
dengan pendekatan sistem penginderaan jauh dan optik laut. Penelitian dilakukan di
Pulau Barrang Lompo, Kota Makassar. Sampling air laut dan pengukuran intensitas cahaya
dilakukan di satu titik stasion pengukuran di kedalaman 0,5m (permukaan), 5m, 10m, dan
15m dan dilakukan setiap 2 jam dari jam 6pagi hingga jam 6sore dengan 3 kali ulangan.
Identifikasi fitoplankton dilakukan di Laboratorium Biologi Laut Jurusan Ilmu Kelautan.
Distribusi fitoplankton dianalisis secara deskriptif dengan bantuan grafik intensitas cahaya dan
nutrien, distribusi kelimpahan fitoplankton pada setiap waktu pengukuran dianalisis dengan
menggunakan ANOVA satu arah dan hubungan antara kelimpahan fitoplankton
dengan cahaya dan nutrien dianalisis dengan menggunakan regresi berganda. Dari
penelitian ini diketahui bahwa di Perairan Pulau Barrang Lompo terdapat 21 jenis
fitoplankton yang terbagi dalam 3 kelas yaitu Bacilariophyceae, Dinophyceae, dan
Chlorophyceae dimana kelimpahan Bacilariophyceae mendominasi disetiap waktu pengukuran
dan kedalam, diikuti oleh Dinophyceae dan Chlorophyceae. Keeratan hubungan antara
kelimpahan fitoplankton dengan intensitas cahaya didapatkan terkuat pada pukul 14.00,
sedangkan dengan nutrien khususnya nitrat didapatkan terkuat pada pukul 12.00.
Tabel
1. Fungsi Intensitas Cahaya terhadap kedalaman di Perairan Pulau Barrang Lompo.
Waktu (jam)
|
Fungsi Peredupan
|
k
|
R2
|
06.00
|
Id = 4381.e-1.3215.d
|
1.3215
|
0.934
|
08.00
|
Id = 89443e-1.6588.d
|
1.6588
|
0.921
|
10.00
|
Id = 59160e-1.3682.d
|
1.3682
|
0.941
|
12.00
|
Id = 58423e-1.1119.d
|
1.1119
|
0.854
|
14.00
|
Id = 52915e-1.1513.d
|
1.1513
|
0.862
|
16.00
|
Id = 44272e-0.8833.d
|
0.8833
|
0.933
|
18.00
|
Id = 2857.e-1.1282.d
|
1.1282
|
0.943
|
Keterangan:
k koefisien peredupan, R2 konstanta determinan, Id intensitas pada kedalaman d
Hasil penelitian yang dilakukan di perairan
Pulau Barrang Lompo diperoleh kesimpulan sebagai berikut :
1. Perbedaan
distribusi kelimpahan fitoplankton secara temporal di setiap kedalaman yang telah ditentukan secara umum
dipengaruhi oleh perbedaan intensitas cahaya yang masuk dalam kolom perairan,
sehingga menyebabkan komposisi dan kelimpahan jenis fitoplankton di perairan
Pulau Barrang Lompo berbeda-beda menurut waktu dan kedalaman yang diamati.
2. Keeratan
hubungan antara kelimpahan fitoplankton dengan intensitas cahaya didapatkan terkuat pada pukul 14.00,
sedangkan dengan nutrien khususnya nitrat didapatkan terkuat pada pukul 12.00.
7. KOMPOSISI DAN KELIMPAHAN FITOPLANKTON DI
PERAIRAN KALIMANTAN SELATAN
Perairan
Kalimantan Selatan berada pada pertemuan massa air dari Laut Jawa, Selat
Makassar dan Sungai Barito yang tentunya akan mempengaruhi biota termasuk
fitoplankton yang hidup di dalamnya. Penelitian yang bertujuan untuk mengetahui
komposisi dan kelimpahan fitoplankton di perairan Kalimantan Selatan ini telah
dilaksanakan pada bulan November 2010. Sampel fitoplankton diambil dari 18
stasiun menggunakan jaring plankton (ukuran jarring 80 m, diameter bukaan jaring 0,3 m, panjang 100 cm) yang
ditarik secara vertikal mulai dari kedalaman 15-50 m sampai permukaan perairan.
Selama
penelitian teridentifikasi sebanyak 32 marga
fitoplankton yang terdiri dari 23 marga Diatom dan sembilan marga Dinoflagellata.
Tiga marga fitoplankton yang dominan adalah Thalassiothrix (26 %), Chaetoceros
(25 %) dan Skeletonema (17 %). Kelimpahan fitoplankton berkisar
6.373,63 – 274.021,75
sel/m3.
Gambar 6. Stasiun pengambilan sampel fitoplankton di perairan Kalimantan
Selatan.
Sebanyak 32 marga fitoplankton
teridentifikasi dari sampel-sampel air yang diambil dari 18 stasiun di perairan
Kalimantan Selatan. Marga fitoplankton ini berasal dari Kelas Diatom sebanyak
23 marga dan Dinoflagellata sebanyak sembilan marga (Tabel 2). Hal ini
merupakan sesuatu yang umum dimana kelompok Diatom dan Dinoflagellata sering
didapatkan dalam jumlah besar dalam penyaringan fitoplankton (Nybakken, 1992).
Secara ekologis, Diatom merupakan salah satu kelompok algae terpenting yang
diperkirakan menghasilkan 40-45 % produksi primer di laut (Mann, 1999).
Disamping itu, Diatom juga tersebar luas pada semua lingkungan akuatik pada
semua garis lintang (Round et.al., 1990). Menurut Odum (1971), banyaknya
kelas Diatom (Bacillariophyceae) di perairan disebabkan oleh kemampuannya
beradaptasi dengan lingkungan, bersifat kosmopolit, tahan terhadap kondisi
ekstrim serta mempunyai daya reproduksi yang tinggi.
Tabel 4. Marga fitoplankton yang dijumpai di 18 stasiun di perairan
Kalimantan Selatan.
Class
|
|
Diatom
|
Asterionella,
Amphora, Asteromphalus, Bacteriastrum,
Bacillaria,
Chaetoceros, Coscinodiscus, Complydiscus, Ditylum,
Eucampia,
Guinardia, Hemiaulus, Leptocylindrus, Lauderia,
Navicula,
Nitzchia, Odontela, Planktoniella,
Rhizosolenia,Skeletonema,
Streptotheca, Thalassiosira,
Thalassiothrix
|
Dinoflagellate
|
Amphizolenia
Ceratium, Dictyocha, Dinophysis, Gonyaulax,
Gymnodinium Noctiluca, Ornithoceros, Protopedinium
|
Beberapa hasil penelitian juga menunjukkan
kecenderungan dominansi
Diatom dan Dinoflagellata dalam
komposisi fitoplankton yang diamati seperti di
Perairan Teluk Ambon bagian dalam
(Dwiono & Rahayu, 1984). Di Pulau Bonerate, Sulawesi Selatan ditemukan 80
marga fitoplankton yang terdiri dari 52 marga Diatom, 21 marga Dinoflagellata
dan tujuh marga Cyanophyceae (Febrina, 2005). Penelitian lain oleh Balkis et
al. (2004) menemukan bahwa dari
102 taksa fitoplankton yang
diidentifikasi di Laut Marmara (Turki), 47 taksa (46,08 %) adalah Diatom dan 45
taksa (44,12 %) adalah Dinoflagellata. Sementara itu Onyema (2007) mendapatkan
bahwa 37 taksa dari 48 taksa yang dijumpai di sebuah muara sungai di Lagos,
Nigeria adalah dari Kelas Diatom. Dominasi Diatom yang besar juga dilaporkan
oleh Polikarvop et al. (2009)
Gambar
7. Diagram komposisi fitoplankton diKalimantan Selatan
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil analisis terhadap sampel
fitoplankton dari perairan
Kalimantan Selatan pada bulan
November 2010, dapat ditarik kesimpulan
sebagai berikut :
1. Fitoplankton terdiri atas 32 marga yang berasal dari
Kelas Diatom (32 marga) dan Kelas Dinoflagellata (9 marga). Kedua kelas ini
merupakankelompok fitoplankton utama yang banyak ditemukan di perairan.
2. Tiga jenis Diatom yang mendominasi Perairan kalimantan
Selatan adalah
Thalassiothrix
(26 %), Chaetoceros (25 %) dan Skeletonema (17
%).
3. Kelimpahan fitoplankton berkisar antara 6373,63 –
274021,75 sel/m3.
Kelimpahan
fitoplankton terkecil dijumpai pada stasiun 20, sedangkan
kelimpahan terbesar dijumpai pada stasiun 13. Hal ini
menunjukkan adanya
variasi spasial kelimpahan fitoplankton
di perairan ini.
7. POLA
STRUKTUR KOMUNITAS FITOPLANKTON BERDASARKAN KANDUNGAN PIGMENNYA DI PANTAI
JEPARA
Perairan dekat pantai
(estuaria) merupakan perairan yang subur, karena kontribusi zat-zat hara yang
berasal dari daratan. Fitoplankton merupakan salah satu komponen penting dalam
suatu ekosistem perairan karena memiliki kemampuan untuk menyerap langsung
energi matahari melalui proses fotosintesa dan mampu membuat ikatan-ikatan
organik. Struktur komunitas yang ditemukan di pantai Jepara didominasi oleh
Kelas Bacillariophyceae dan mengandung klorofil-a serta betakaroten. Saran yang
dapat diberikan yaitu masih diperlukan penelitian lebih lanjut tentang pola
struktur komunitas fitoplankton berdasarkan kandungan pigmennya di pantai
Jepara untuk pemantauan lingkungan.
Selama penelitian,
terukur bahwa kandungan klorofil a, b, c, dan karotenoid di perairan pantai
Bandengan (September-Oktober laboratorium. Untuk keperluan inventarisasi,
sampel plankton diambil secara pasif dengan menyaring 100 liter air dari
kedalaman 0,3-0,5 m menggunakan jaring plankton 25 meshsize (254 m). Hasil
saringan yang berupa pemekatan dari 100 liter air dituang ke dalam botol sampel
20 mL yang telah diberi formalin 4% dan 2 tetes pewarna rose bengal. Botol
diberi label dan disimpan di kotak es.
Untuk
menentukan kadar pigmen (klorofil a, b, c, dan karotenoid; Parsons et al. 1984)
sampel air 1 liter disaring menggunakan kertas saring serat gelas GF/C Whatman
0,45 m, kemudian ditambahkan magnesium karbonat digunakan untuk mencegah
proses degradasi atau pengasaman. Pengawetan kertas saring selanjutnya selama
di lapangan dilakukan dengan penyimpanan pada suhu dingin dalam keadaan kering
setelah dibungkus alumunium foil. Di laboratorium, pigmen diekstraksi
dalam 90% aseton dingin (15 oC) selama 20 jam, disentrifuge dan diambil
supernatannya. Kadar pigmen ditentukan dengan spektrofotometer gelombang UV
pada suhu kamar. Panjang gelombang yang digunakan adalah 750 nm (sebagai faktor
koreksi), 665, 664, 647, 630, 510, dan 480 nm.
volume g/mLx10
Ca
(Klorofil a) = 11,85 E664 - 1,54 E647 - 0,08 E630
Cb
(Klorofil b) = 21,03 E647 - 5,4 E664 - 2,66 E630
Cc
(Klorofil c) = 24,52 E630 - 1,67 E664- 7,60 E647
Hasil pengamatan parameter fisika dan kimia
memperlihatkan suhu air berkisar antara 28,3-31,3oC, salinitas berkisar antara
30-33,7 ppm, kecerahan berkisar antara 1,74-4,14 m-1, kedalaman berkisar antara
0,37-1,02 m, kecepatan arus berkisar antara 0,01-1,02 m/s. Hasil pengukuran
hara memperlihatkan bahwa rata-rata nitrat sebesar 0,06 mg/L, fosfat sebesar
0,01 mg/L, muatan padatan tersuspensi sebesar 42,93 mg/L
KESIMPULAN
Struktur komunitas
yang ditemukan di pantai jepara didominasi oleh Kelas Bacillariophyceae dan
mengandung klorofil-a dan betakaroten. Saran yang dapat diberikan yaitu masih
diperlukan penelitian lebih lanjut tentang pola struktur komunitas fitoplankton
berdasarkan kandungan pigmennya di pantai jepara untuk pemantauan lingkungan.
8. Hubungan Keragaman Fitoplankton
dengan Kualitas Air di Pulau Bauluang, kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan
Jumlah individu dan spesies serta indeks keragaman,
keseragaman, dan dominansi fitoplankton di perairan pulau Bauluang, kabupaten
Takalar, Sulawesi Selatan diperlihatkan pada Tabel 1. Jumlah individu setiap
stasiun.
Gambar
1. Lokasi studi di perairan pulau Bauluang, kabupaten
Takalar, Sulawesi Selatan (YKL Indonesia, 2003). Keterangan: Angka 1 s.d. 9
merupakan titik-titik samping penelitian.
Hasil analisis keragaman (H’) fitoplankton
memperlihatkan bahwa seluruh stasiun termasuk stabil moderat. Menurut Stirn
(1981) apabila H’ < 1, maka komunitas biota dinyatakan tidak stabil, apabila
H’ berkisar 1-3 maka stabilitas komunitas biota tersebut adalah moderat
(sedang) dan apabila H’ > 3 berarti stabilitas komunitas biota berada dalam
kondsi prima (stabil). Semakin besar nilai H’ menunjukkan semakin beragamnya
kehidupan di perairan tersebut, kondisi ini merupakan tempat hidup yang lebih
baik. Kondisi di lokasi studi, mudah berubah dengan hanya mengalami pengaruh
lingkungan yang relatif kecil. Berdasarkan nilai keragaman perairan ini
mendukung usaha perikanan budidaya yang berkelanjutan karena memiliki nilai
keragaman (H’>1). Nilai keragaman di perairan ini relatif lebih tinggi (H’ =
1,4703-2,8499) dibandingkan dengan perairan Polewali (H’ = 0,8664- 2,39141).
Hal ini diduga karena penduduk pulau Bauluang
masih belum padat dan
masyarakatnya senantiasa diberi penyuluhan akan pentingnya keberadaan mangrove
sebagai pengaman serta sebagai habitat dan daerah asuhan larva dan juvenil
jenis-jenis ikan, krustasea, moluska tertentu, dan organisme perairan lainnya.
Nilai keseragaman fitoplankton di perairan pulau
Bauluang tergolong tinggi
(E>0,75), kecuali di stasiun 2 yang memiliki nilai relatif rendah, tetapi
secara keseluruhan kepadatan atau keberadaan biota tersebut termasuk merata
(Ali, 1994) sehingga tidak terjadi dominansi spesies yang dapat menunjang usaha
perikanan yang produktif dan berkelanjutan. Hal ini diperkuat Pirzan et al.
(2005) yang menyatakan bahwa apabila keseragaman mendekati nol berarti
keseragaman antar spesies di dalam komunitas tergolong rendah dan sebaliknya
keseragaman yang mendekati satu dapat dikatakan keseragaman antar spesies
tergolong merata atau sama.
KESIMPULAN
Berdasarkan studi yang dilakukan perairan di Pulau
Bauluang, Kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan, maka dapat disimpulkan,
kelimpahan fitoplankton bervariasi pada kisaran 470 – 2.680 ind./L dan jumlah
spesies pada kisaran 5 – 20 spesies. Keragaman fitoplankton perairan tergolong
stabil moderat, kepadatan / keberadaan merata dan tidak terjadi dominansi
antarspesies. Hubungan antara keragaman fitoplankton dan factor kualitas air
memperlihatkan bahwa keragaman fitoplankton memiliki keterkaitan dengan
alkalinitas dan kandungan BOT masing-masing 0,61. Sebagai upaya tercapainya
perairan Pulau Bauluang yang stabil, dimana keberadaan biota yang merata dan
tidak terjadi dominansi suatu spesies, maka perlu dilakukan pelestarian
mangrove, karang dan padang lamun yang ada
agar dapat bertumbuh dan berkembang secara alami.
8) KOMPOSISI FITOPLANKTON DI
SUNGAI SIAK KELURAHAN SRI MERANTI KECAMATAN RUMBAI KOTA PEKANBARU
Fitoplankton adalah organisme hidup yang terbang di
dalam air. Ada mereka sangat penting di
dalam air karena makanan bagi hewan di air
ikan dan Insecta
air. Studi mengetahui
komposisi phytoplancton di sungai Siak. Sampling
waktu dari April 2012 dengan Metode
Deskriptif Survey. Itu dilakukan karena
ada limbah industri lateks dan MCK. Total dari
28 genus dari
phytoplancton yang milik 4 classis,
9 ordo dan
16 keluarga. Tertinggi densitas
menunjukkan di stasiun
III (25,83 individu
/ liter) dan
kepadatan terendah menunjukkan di Stasiun
II (16,66 individu
/ liter). Frekuensi
tertinggi menunjukkan di stasiun I (23,35) dan
frekuensi terendah menunjukkan di stasiun III (21,68). Indeks Keanekaragaman phytoplancton di Siak Sungai gilirannya 2,8851-2,9175, sehingga sungai Siak dalam kategori polusi menengah. Fisika dan kimia Faktor sungai Siak masih cocok untuk kehidupan Fitoplankton tersebut
frekuensi terendah menunjukkan di stasiun III (21,68). Indeks Keanekaragaman phytoplancton di Siak Sungai gilirannya 2,8851-2,9175, sehingga sungai Siak dalam kategori polusi menengah. Fisika dan kimia Faktor sungai Siak masih cocok untuk kehidupan Fitoplankton tersebut
Komposisi fitoplankton yang ditemukan di Sungai Siak
Kelurahan Sri Meranti Kecamatan Rumbai Kota Pekanbaru yaitu 28 genus dari 16
famili, 9 ordo, dan 4 kelas. Dari keempat kelas tersebut genus yang paling
banyak ditemukan adalah dari kelas Chlorophyceae sebanyak 14 genus. Sedangkan
genus yang paling sedikit adalah dari kelas Euglenophyceae sebanyak 1 genus
KESIMPULAN
Komposisi fitoplankton yang ditemukan yaitu 28 genus
dari 16 famili, 9 ordo, dan 4 kelas. Indeks diversitas fitoplankton berkisar
2,8851—2,9175 sehingga Sungai Siak termasuk ke dalam perairan yang tercemar
sedang tetapi factor fisika kimia air Sungai Siak masih cocok untuk mendukung
kehidupan fitoplankton.
9) EFFEK UPWELLING TERHADAP
KELIMPAHAN DAN DISTRIBUSI FITOPLANKTON DI PERAIRAN LAUT BANDA DAN SEKITARNYA
Musim Timur
merupakan musim saat terjadinya proses upwelling di perairan Laut Banda.
Informasi adanya effek upwelling terhadap kelimpahan dan distribusi
fitoplankton di perairan Laut Banda belum banyak terungkap. Untuk itu dilakukan
penelitian pada bulan Agustus 1997 yang mewakili Musim Timur dan bulan Oktober
1998 yang mewakili Musim Peralihan sebagai pembanding. Data kelimpahan dan
distribusi fitoplankton dengan mengambil contoh fitoplankton dari kedalaman 100
m ke permukaan menggunakan jaring plankton dengan bukaan mulut berdiamter 31
cm,panjang 120 cm dan ukuran mata jaring 80 μm. Hasil pengamatan pada musim
timur (Agustus 1997) proses taikan air (upwelling) masih berlangsung.
Hal ini terlihat dari nilai regresi antara suhu dan salinitas (r2 = 84,1 %),
suhu dan nitrat (94,5%) Pada saat musim timur tercatat 33 jenis fitoplankton,
komposisi jenis fitoplankton lebih bervariasi dibandingkan musim peralihan
hanya 26 jenis fitoplankton. Pada musim timur jenis fitoplankton yang
mendominasi adalah jenis Chaetoceros sp. Analisis lebih lanjut dengan
analisis multivatiate, faktor nitrat mempengaruhi kelimpahan, komposisi dan
distribusi fitoplankton. Proses upwelling merupakan fenomena alam yang
sering terjadi di perairan laut, khususnya di perairan laut di daerah khatulistiwa.
Secara teoritis terjadinya proses upwelling karena adanya pengaruh angin
dan adanya proses divergensi Ekman.
Proses
taikan air (upwelling) yang terjadi di suatu perairan akan mempengaruhi
kondisi kehidupan fitoplankton, hidrologi dan pengayakan nutrisi di perairan
tersebut [5-11]. Disisi lain, kondisi fitoplankton baik keanekaragaman dan distribusi
fitoplanktonnya dipengaruhi pula oleh berbagai faktor, seperti faktor atmosfer,
lokasi dan kondisi lingkungan di perairan tersebut [12]. Proses taikan air (upwelling)
di perairan Laut Banda terjadi karena pengaruh musim tenggara [13-19]. Menurut
teori Wyrtki, angin tenggara pada musim timur (Juli-Agustus) mendorong banyak
massa air dari Laut Banda dan sekitarnya ke barat lewat Laut Flores dan masuk
ke Laut Jawa. Pola arus permukaan dapat di lihat pada Gambar 2-4. Akibatnya di
Laut Banda dan sekitarnya terjadi difisit air di permukaan yang harus diganti
dari bawah, dan penaikan air tersebut itulah yang disebut upwelling atau
taikan air. Sementara itu, peranan pemompaan Ekman dalam memperkaya lapisan
permukaan dengan zat hara di Laut Banda masih perlu penelitian lebih lanjut.
Yang sudah diteliti barulah peranan angin monsoon (MT) yang menimbulkan defisit
air di Laut Banda dan sekitarnya. Lokasi terjadinya ditandai oleh suhu air yang
relatif dingin di permukaan. Ekman pumping atau pemompaan Ekman dapat berperan
dalam memperkaya lapisan permukaan dengan zat hara. Di Laut Banda, hal ini
perlu penelitian lebih
Tabel 6 Kelimpahan Fitoplankton saat terjadi upwelling
Kesimpulan
Hasil pengamatan pada musim timur (Agustus 1997) dan musim peralihan
(Oktober 1998) di perairan Laut Banda memperlihatkan kondisi hidrologis yang
berbeda. Pada bulan Agustus 1997, proses taikan air (upwelling) masih berlangsung. Hal ini terlihat dari nilai
regresi antara suhu dan salinitas (r2 = 84,1 %), suhu dan nitrat (94,5%). Pada saat musim timur tercatat 33 jenis fitoplankton
dan komposisi jenis fitoplankton lebih bervariasi dibandingkan musim peralihan
hanya 26 jenis fitoplankton. Pada musim timur jenis fitoplankton yang
mendominasi adalah genus Chaetoceros sp., dari kelompok Diatom. Pada
Musim peralihan genus Trichodesmium sp dari kelompok Cyanobakteria mendominasi
perairan. Hasil analisis multivatiate antara kedua musim, memberikan gambaran
bahwasannya pada saat terjadinya proses taikan air mempengaruhi kelimpahan,
komposisi dan distribusi fitoplankton karena adanya faktor nitrat yang
kandungannya relatif tinggi (Gambar 15 dan Gambar 16).
Dari
berbagai analisis, memperkuat hipotesis yang ada, yaitu adanya effek upwelling
mempengaruhi kelimpahan, komposisi dan distribusi fitoplankton.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Ø Fitoplankton
merupakan sekelompok organisme yang memegang peranan sangat penting dalam
ekosistem air, fitoplankton
selain disusun oleh sekelompok bakteri terutama juga tersusun dari kelompok
ganggang (alga) mikroskopik.
Ø Beberapa faktor yang dapat
mempengaruhi kepadatan fitoplankton yaitu adanya unsur P, N dan juga kecepatan
arus air
Ø Fitoplankton
terdiri dari berbagai jenis ganggang, yaitu Cyanophyta (ganggang hijau biru),
Cryptophyceae (kriptofita), Dinophyceae (dinoflagelata), Chlorophyta (ganggang
hijau), Euglenophyta (kelompok euglena), Bacillariophyceae (diatom),
Chrysophyceae dan Haptophyceae (ganggang kuning keemasan)
Ø Makrovita
bersifat makroskopik diantaranya yaitu
tanaman teratai, tanaman krangkong, tanaman kangkung, Hydrlla, dan eceng gondok
B.
Faktor dasar yang mengontrol
produktivitas fitoplankton dan perifiton adalah suhu, cahaya, ketersediaan
makro-mikronutrien dan substrat.
DAFTAR PUSTAKA
Agus Sediadi, 2004. EFFEK UPWELLING TERHADAP KELIMPAHAN DAN DISTRIBUSI FITOPLANKTON DI
PERAIRAN LAUT BANDA DAN SEKITARNYA Program Pascasarjana Biologi, FMIPA, Universitas
Indonesia
Aunurohim dkk, 2006. FITOPLANKTON PENYEBAB HARMFUL ALGAE
BLOOMS (HABs) DI PERAIRAN SIDOARJO. Biologi FMIPA
Institut Teknologi Sepuluh Nopember-Surabaya
Budiardi T,dkk. 2007 HUBUNGAN KOMUNITAS FITOPLANKTON DENGAN PRODUKTIVITAS UDANG VANAME (Litopenaeus
vannamei) DI TAMBAK BIOCRETE. Budidaya
Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor
Enggar Patrion,dkk.2010.
STUDI KOMPOSISI FITOPLANKTON SEBAGAI PAKAN ALAMI IKAN SEPAT RAWA (TRICHOGASTER
TRICHOPTERUS PALL) STADIUM MUDA DI LEBAK LEBUNG TELOKO SUMATERA SELATAN. Biologi FMIPA Universitas Sriwijaya
Faurizki Fitra, dkk. 2013. PRODUKTIVITAS PRIMER FITOPLANKTON DI TELUK BUNGUS PRIMARY PRODUCTIVITYOF
PHYTOPLANKTON IN THE BUNGUS BAY. Universitas Andalas
Handayani sri. dkk, 2008. KEANEKARAGAMAN
FITOPLANKTON DI PERAIRAN PANTAI SEKITAR MERAK BANTEN DAN PANTAI PENET LAMPUN.
Universitas Nasional, Jakarta
Hikmah Thoha, 2011. KOMPOSISI DAN KELIMPAHAN FITOPLANKTON DI
PERAIRAN KALIMANTAN SELATAN. LIPI UNHAS
Indah Wahyuni Abida, 2010. STRUKTUR KOMUNITAS DAN
KELIMPAHAN FITOPLANKTON DI PERAIRAN MUARA SUNGAI PORONG SIDOARJO, Jurusan Ilmu Kelautan Universitas
Trunojoyo
Marsambuana Pirza Andi, 2008. Hubungan Keragaman Fitoplankton dengan
Kualitas Air di Pulau Bauluang, kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan. Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau, Maros
Muhiddin Hamzah Amir, 2009. PEMETAAN
DISTRIBUSI VERTIKAL KELIMPAHAN FITOPLANKTON SECARA TEMPORAL
DAN SPASIAL DI PERAIRAN TIMUR PULAU BARRANG LOMPO KOTA
MAKASSAR. Universitas Hasanuddin. Makassar
Naivasha Kenya, 2002. PHYTOPLANKTON COMMUNITY STRUCTURE AND SUCCESSION
IN THE WATER COLUMN OF LAKE,Republic
of Kenya African
Niniek Widyorini,
2010. POLA STRUKTUR KOMUNITAS FITOPLANKTON
BERDASARKAN KANDUNGAN PIGMENNYA DI PANTAI JEPARA. Universitas Diponegoro, Semarang
Peni Derita Wati, 2009. KOMPOSISI FITOPLANKTON DI SUNGAI SIAK KELURAHAN SRI MERANTI KECAMATAN
RUMBAI KOTA PEKANBARU. Program Studi Pendidikan Biologi Sekolah Tinggi
Keguruan dan Ilmu Pendidikan
(STKIP) PGRI Sumatera Barat
Sutomo, 2013. STRUKTUR KOMUNITAS FITOPLANKTON DI
PERAIRAN TELUK SEKOTONG DAN TELUK KODEK, KABUPATEN LOMBOK. Pusat Penelitian Oseanografi LIPI, Jakarta
Trian Septa Wijaya,
dkk.2010. Struktur
Komunitas Fitoplankton sebagai Bio Indikator Kualitas Perairan Danau Rawapening
Kabupaten Semarang Jawa Tengah .Laboratorium
Ekologi dan Biosistematika Jurusan Biologi F. MIPA UNDIP
Wulandari Dewi 2009. KETERIKATAN ANTARA KELIMPAHAN FITOPLANKTON
DENGAN PARAMETER FISIKA
KIMIA DI ESTUARI SUNGAI BRANTAS (PORONG), JAWA TIMUR, Institut pertanian Bogor,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar