TUGAS INDIVIDU
Filsafat Ilmu Perikanan
SISTEM PONGGAWA-SAWI DALAM MASYARAKAT
NELAYAN DIHUBUNGKAN DENGAN ONTOLOGI, EPSTIMOLOGI, DAN AKSIOLOGI
OLEH :
IBNU MALKAN HASBI
P3300214005
PROGRAM MAGISTER ILMU PERIKANAN
FAKULTAS ILMU KELAUTAN DAN PERIKANAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2014
I. PENDAHULUAN
Dalam struktur ekonomi masyarakat nelayan dikenal adanya
Ponggawa dan Sawi. Ponggawa merupakan pemilik modal dan Sawi adalah peminjam
atau pekerja atau juga dapat disebut buruh atau bahasa undang-undangnya nelayan
kecil. Pemilik modal berhak membeli hasil tangkapan Sawi yang diberi modal. Dan
Sawi berkewajiban menjual hasil tangkapannya kepada Ponggawa yang memodalinya.
Kewajiban ini merupakan ketentuan yang harus dilaksanakan. Modal yang diberikan
oleh Ponggawa tidak terbatas pada modal materi berupa uang, namun juga kepada
peralatan seperti kapal, mesin kapal, jaring, pancing, pukat, dan sebagainya.
Begitu
kuatnya peran Ponggawa dalam mengatur pengelolaan usaha perikanan laut ini
ditandai dari hulu hingga hilir. Sejak membutuhkan modal awal untuk kerja di
laut menangkap ikan, hingga pemasaran hasil tangkapan ikannya, semuanya harus
dilakukan atas kendali Ponggawa, baik Ponggawa darat maupun Ponggawa laut .
Struktur
Ponggawa baik Ponggawa darat dan Ponggawa pulau yang merupakan pensuplai modal
usaha dan bantuan finansial lainnya sangat berperan dalam menentukan aktifitas
kenelayanan terutama bagi nelayan sawi. Hal ini dikarenakan pola hubungan
Ponggawa-sawi menempatkan sawi sebagai inferior terhadap Ponggawa sehingga
berimbas pula pada struktur kerja kenelayanan yang dilakoni termasuk model
pemanfaatan terhadap sumber daya yang ada. Selain itu fungsi Ponggawa yang
terkadang menjadi distributor hasil tangkapan menjadikan peran mereka semakin kuat
dalam mengintervensi aktifitas nelayan sawi dalam mengeksploitasi sumber daya
yang ada.
Musim
penangkapan ikan tidak berlangsung sepanjang waktu. ada masa-masa dimana
kegiatan penangkapan ikan praktis tidak dapat dilakukan seperti masa ombak
besar atau stok ikan di laut berkurang. situasi ini malah kian melekatkan
mereka kepada Ponggawa karena manakala mereka tidak melaut maka otomatis
pendapatanpun tersumbat. Tidak ada jalan lain selain mengutang pada Ponggawa,
termasuk bila ada kebutuhan mendesak dan tiba-tiba. Klimaksnya kemudian utang
yang ada bukan lagi sekedar utang materi
tetapi utang budi karena disaat tak ada lagi tempat berharap bantuan, sang
Ponggawalah yang membantu. Bayangkan saja jika seorang istri nelayan sedang
dalam proses melahirkan dan saat itu si suami tak memiliki uang yang cukup.
Seseorang yang membantu disaat sulit seperti itu akan dipandang sebagai
penolong. Sistem tabungan sangat tidak familiar bagi nelayan terutama mereka
yang berstatus sebagai sawi. Penyimpanan uang di bank hanya dilakukan oleh
Ponggawa. Penguasaan kalangan pemodal (Ponggawa) terhadap usaha perikanan
berakar sangat kuat bagi masyarakat nelayan sawi di ketiga pulau tersebut.
Sistem ‘Ponggawa – sawi’ tersebut telah memerangkap masyarakat ke dalam sistem
hutang beranak–pinak yang tidak kunjung putus dan turun–temurun.
Sejumlah
sistem tradisional masih dijalankan oleh masyarakat pesisir di Provinsi
Sulawesi Selatan (Ponggawa-Sawi), Provinsi Maluku (Sasi), dan Provinsi Nangaro
Aceh Darussalam (Panglima Laut) ditengah perubahan sistem sosial dan ekonomi
diantara masyarakat pesisir itu sendiri dan daerah lainnya. Tantangan untuk
mengulas sistem tradisional adalah kebanyakan tidak terdokumentasi, namun
diyakini di dalam masyarakat itu sendiri, sistem-sistem tersebut telah menjadi
bagian norma hubungan sosial dan ekonomi mereka sehari-hari. Urgensi untuk
melihat peluang pelibatan langsung sistem tradisional dalam kerangka kebijakan
pembangunan perikanan nasional haruslah dimulai dengan menganalisa dinamika
sistem tradisional itu sendiri, termasuk muatan norma hubungan sosial yang
memungkinkan untuk menjadikan unsur penyelarasan di dalam Undang-Undang
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Otonomi Daerah pengelolaan sumberdaya pesisir.
Sebagai suatu kriteria yang
konkrit untuk membedakan dan mengklasifikasikan nelayan dari tipe-tipe
kebudayaan lainnya, kita dapat secara tentatif memandang masyarakat nelayan
sebagai telah memberi sumbangan sebesar 10% dari bahan makanan lokal. Tetapi
konfigurasi kebudayaan, yang
diisi dengan emosi-emosi dan disalurkan dengan menggunakan nilai-nilai dan
sikap, jarang dikarakteristikkan hanya dengan statistik atau secara
kuantitatif. Kebudayaan nelayan erat kaitannya dengan suatu orientasi terhadap
laut, suatu orientasi yang meliputi sikap maupun pengetahuan aktual.
II. PEMBAHASAAN
A. Apa
itu Ponggawa Sawi (ONTOLOGI)
Ponggawa-Sawi sebagai suatu
sistem tradisional di masyarakat pesisir Sulawesi Selatan dibentuk dalam konsep
hubungan antara ponggawa dan sawi yang dikenal sebagai hubungan patron dan client.
Ponggawa adalah seorang yang mampu menyediakan kapital (sosial dan ekonomi)
bagi kelompok masyarakat dalam menjalankan suatu usaha (biasanya berorientasi
pada skala usaha penangkapan ikan); sedangkan sawi adalah sekelompok orang yang
bekerja pada ponggawa dengan memakai atribut hubungan norma sosial dan
persepakatan kerja. Hubungan ini terus berdinamika ditengah tekanan legitimasi
atau marginalisasi, namun, masih banyak yang harus dipahami terutama menyangkut
hal aturan sosial tempat masyarakatnya berpijak. Aturan sosial atau hubungan
sosial yang dilandasinya lebih banyak tentang sistem hirarki sosial,
kekerabatan keluarga dan perkawinan menjadi ciri khas sistem ponggawa-sawi.
Pada banyak hubungan sosial ini lebih banyak dilandasi oleh adanya penghormatan
akan konsep budaya siri’ (malu), senasib sepenanggungan (dalam bahasa Makassar
disebut pacce) dengan orientasi kepada pengesahan prilaku sosial yang
melingkupi sistem tradisional ini tidak semuanya dapat dibenarkan.
Secara historis, Ponggawa atau punggawa
dapat diartikan sebagai pemimpin bagi suatu etnis tertentu. Karena sifatnya
lokalitas, maka kekuatan hubungan sosialnya juga ikut terpengaruh, seperti
tingginya tingkat kepercayaan dan gantungan harapan oleh pengikutnya (Sawi)
kepada Ponggawanya. Hubungan ini juga timbul sedikit banyak dipengaruhi akibat
perang fisik yang terjadi di masa lalu, saat itu kelompok etnis tertentu
mencari seorang yang dapat dijadikan pemimpin di dalam hal penyediaan
perlindungan. Persepsi perlindungan ini terus berlanjut dari hal perlingan
fisik menjadi perlindungan akan perolehan sumber hidup berasal dari sumberdaya
sekitarnya. Akibatnya terbentuk suatu kepatuhan norma dan hubungan mengikat
yang secara sosial terbentuk untuk kelangsungan hidup mereka. Sedangkan
pengikut yang dinormakan sebagai kepatuhan untuk memenuhi petunjuk atau
perintah yang diberikan oleh ponggawa.
B. PERMASALAHAN
DALAM SISTEM PONGGAWA SAWI (EPISTIMOLOGI)
Hubungan antara Ponggawa dan Sawi dapat dikategorikan
sebagai hubungan yang tidak seimbang atau tidak adil dalam kondisi perolehan.
Hubungan kekerabatan ini lebih banyak terjadi dengan tetap menggunakan norma
sosial adalah pada tingkat lokal seperti pedesaan. Hubungan antara superior dan
sejumlah inferior didasari oleh pertukaran pelayanan (service) yang tidak
seimbang. Malah dikatakan bahwa besarnya nilai pertukaran antara Ponggawa dan
Sawi lebih banyak disandarkan oleh besarnya perhatian atau pemberian yang
terjadi. Misalnya, Sawi akan memberikan penghormatan kesepakatan norma kepada
Ponggawa sesuai dengan besarnya service yang diberikan oleh Ponggawanya. Namun
demikian, terjadi hubungan de facto antara Ponggawa dan Sawi itu sendiri akibat
normanya bergeser dari pengikat hubungan sosial ke hubungan sosial, seperti
mekanisme pembayaran. Pengikat hubungan norma ini lebih banyak ditentukan oleh
fungsi atau peran Ponggawa sebagai figur utama untuk semua Sawinya, termasuk
pinjaman keuangan dan perlindungan atau kesediaan menyediakan bantuan pada saat
dibutuhkan.Karakteristik dan prilaku hubungan norma sosial Ponggawa dan Sawi
juga dipengaruhi oleh asal etnis yang pada akhirnya menentukan tingkatan
hubungan Ponggawa dan Sawi.
Untuk daerah Sulawesi Selatan, beberapa etnis
mendominasi atau menerapkan tingkat perolehan sumber hidup dengan menggunakan
perangkat hubungan patron dan client, dan etnis tersebut adalah Bugis dan
Makassar, sedangkan etnis Tana Toraja lebih banyak mengaplikasikan pada
perolehan lahan daratan akibat kondisi geografis wilayahnya. Perbedaan etnis
dan letak geografis wilayah juga ikut menentukan perbedaan kondisi sosial yang
dapat dipandang sebagai tingkat variasi. Hubungan antara ponggawa dan sawi
bersifat sukarela dan bisa berakhir kapan saja. Ponggawa bisa saja meninggalkan
sawinya (tidak lagi dianggap sebagai bagian hubungan) jika dianggap tidak cukup
patuh menjalankan norma yang telah disepakati. Sebaliknya, para sawi ini akan
berpindah ke ponggawa lainnya jika ponggawanya tidak cukup untuk melindunginya.
Dalam situasi demikian bisa saja diantara para sawi muncul seorang dengan
derajat sosial yang lebih tinggi dan mampu memimpin kelompoknya, dan orang ini
kemudian bisa menjadi ponggawa baru. Jika seorang sawi pindah ke Ponggawa
lainnya, maka atas permufakatan antara calon ponggawa dengan ponggawa terdahulu
dapat mentrasfer sawi tersebut dengan konsesi pembayaran utang atau nilai
lainnya yang sepadan dengan kepindahan sawi.
Hal ini menunjukkan bahwa ponggawa bukan lagi
semata-mata tempat tujuan untuk mencari keamanan sumber hidup, tapi ponggawa
sendiri harus memberikan perlindungan terbaik yang dimilikinya akibat
terjadinya persaingan antar ponggawa di dalam satu wilayah. Konsep norma yang
mengatur hubungan antara ponggawa dan sawi umumnya berkisar pada norma
loyalitas, merasa aman jika berada dalam kendali strata sosial tingkat atas di
lingkungan dimana mereka hidup. Pertentangan otoritas yang mengandalkan sistem
kelas sosial dan sistem kepatuhan akan norma yang ada kadang sulit diselesaikan
jika keduanya berada dalam suatu areal. Hal ini bisa terjadi jika sistem
kepatuhan yang diterapkan oleh salah satunya dinilai bertentangan dengan norma
yang ada di dalam masyarakat.Lebih lanjut dikatakan, pada mulanya banyak
kelompok masyarakat dengan tingkat sosial yang tinggi mempunyai pengikut untuk
mengerjakan lahan atau melaksanakan pelayanan dalam skala lokal, misalnya
menyediakan air minum dan kayu bakar atau membantu ponggawanya dalam acara
seremonial. Diantara sawi tersebut dengan status bujang akan sukarela tinggal
bersama ponggawanya sebagai pelayan tanpa upah; mereka hanya menerima ruang
penginapan, makanan dan pakaian. Seringkali, ponggawa bahkan mencarikan
pasangan hidup buat sawinya dan mempersiapkan pestanya. Pada saat pertama kali
hidup baru, maka sawi ini akan tetap berada di lingkungan rumah tangga
ponggawa, atau bertempat tinggal sekitar atau dekat rumah ponggawa. Ponggawa
dengan status sosial dan kewajiban sosialnya akan terus menyediakan bahan
kebutuhan hidup, misalnya beras atau bahan pangan lainnya kepada sawinya sampai
sawi ini dapat menunjukkan tingkat loyalitas yang lebih tinggi dengan cara
pengabdian atau mencarikan sawi untuk ponggawanya yang biasanya mempunyai
sumber usaha lainnya. Bentuk hubungan inilah yang memperkuat norma kepatuhan
atau loyalitas dari sawi kepada ponggawanya; dan sebaliknya bentuk inilah yang
menjadi dasar untuk mempertahankan sawi untuk tetap bekerja kepada ponggawa.
Hubungan ini tidak diatur dalam bentuk formal, dan dapat berakhir kapan saja.
Yang terpenting dalam hubungan ini adalah tidak diinginkannya berakhir dengan
kondisi konflik kepentingan yang melanggar norma yang ada di dalam
masyarakatnya.
Bentuk hubungan ini menguntungkan kedua belah pihak;
ponggawa mempunyai buruh yang dapat menjalankan usahanya dan layanan sosial
lainnya; sedangkan sawi mempunyai jaminan hidup atau sumber pendapatan di dalam
hidupnya. Dengan jumlah sawi yang banyak akan meningkatkan status sosial
ponggawa demikian juga dengan kelompok etnisnya. Jika ponggawa ingin lebih jauh
meningkatkan jumlah sawi dan tingkat loyalitas, maka ponggawa harus berperan
sebagai “ponggawa yang dapat dicontoh atau dijadikan panutan” dengan cara
meningkatkan keyakinan sawinya dalam hal jaminan hidup; dan jika hal ini tidak
dapat dipenuhi atau dipertahankan, maka sawi tersebut akan dengan mudah
meninggalkan ponggawa. Hal ini bukan sesuatu yang mudah dilakukan akibat makin
banyaknya jenis pilihan perolehan sumber hidup; terjadinya persaingan antar
ponggawa; dan masuknya investor luar yang seringkali menitipkan investasinya
kepada ponggawa. Ponggawa menghadapi dua pilihan; pertama menjaga hubungan sosial
dengan sawi dengan cara tidak memaksakan sawinya untuk bekerja demi peningkatan
perolehan hasil tangkapan yang seringkali sawi akan memilih ponggawa lainnya
jika ruang waktu dimungkinkan untuk lebih rendah hari atau frekwensi kerjanya.
Dilain pihak, investor luar akan meminta ponggawa untuk mengoptimalkan hasil
tangkapnya atau investor akan menarik dananya dari ponggawa yang berakibat
makin kurangnya investasi; dan pada akhirnya akan melemahkan sistem
ponggawa-sawi.
C. Solusi
dan pengendalian dalam sistem ponggawa-sawi
sistem
ponggawa-sawi dapat berperan aktif dalam pengelolaan sumberdaya perikanan, maka
teori willingness-to-pay
dan willingness-to-accept mungkin mampu menyediakan alternatif.
Menurut teori willingness-to-pay, ponggawa
dan nelayan lainnya bersedia menginvestasikan atau terlibat dalam korservasi
ekosistem pantai (utamanya pada jenis komoditas bernilai ekonomis tinggi), dan
kemudian mereka akan mendapatkan keuntungan. Jika mereka tidak memperdulikan
kaidah konservasi, ini berarti mereka harus menerima konsekwensi biaya akibat
kerusakan ekosistem yang mungkin akan menurunkan pendapatan mereka. Secara
rasional dapat dikatakan bahwa konsep teori pertama bisa digunakan; dengan
harapan bahwa pemerintah secara kontinyu mempertahankan kepentingan nelayan
kecil, dan menyediakan alternatif perolehan pendapatan untuk ponggawa dan sawi
selama periode konservasi ekosistem.
Peran ponggawa-sawi penting dilihat
dalam masyarakat pesisir terutama karena menjadi bagian kehidupan masyarakat
dan nelayan kecil begitu dominan dalam suatu daerah yang tertutup. Ada
kemungkinan institusi tradisional ponggawa-sawi dapat berperan dalam
pengelolaan sumberdaya pesisir; yaitu melalui teori kepemilikan bersama
sumberdaya yang dilandasi oleh aturan sosial dan norma kekerabatan yang telah
lama digunakan. Teori ini mengusulkan bahwa etnis tertentu atau kelompok
masyarakat yang mempunyai norma dan pengaruh sosial yang kuat diberikan
kekhususan dan hak istimewa untuk mengelola sumberdaya lokal tertentu. Dalam
teori ini, peran pemerintah hanya sebagai pembina, sementara masyarakat
setempat, ponggawa dan sawi mendominasi dan mengarahkan proses pengambilan
keputusan dan perencanaan. Lembaga swadaya masyarakat dan organisasi
kemasyarakatan berperan dalam memfasilitasi atau menjembatani hubungan antara
masyarakat dan pemerintah.
Potensi
sistem ponggawa-sawi terletak pada pengakuan akan keberadaannya oleh pemerintah
lokal dan regional. Alokasi hak tradisional masyarakat pesisir sebenarnya telah
lama dikenal melalui Hak Ulayat. Selanjutnya dengan hak tradisional tersebut, tersirat juga makna
kepemilikan atau hak pengelolaan. Ini berarti terdapat hak eksklusif dan
kepemilikan yang dipunyai oleh sekelompok masyarakat, hak tradisional adalah
suatu kelompok sosial yang mempunyai hak untuk memanfaatkan, mengelola tingkat
eksploitasi, dan pempertahankannya dari kemungkinan tangkap lebih dalam konteks
norma kesepakatan tanggung jawab.
Pada tiga etnis
utama yaitu Bugis, Makassar, dan Makassar yang memanfaatkan sumberdaya pesisir
di Sulawesi Selatan, maka terdapat peluang dan kendala yang seharusnya
dicermati dan ditindak lanjuti secara hati-hati. Transformasi sistem
pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir dan lautan di Indonesia ke daerah yang
tercantum dalam Undang-Undang No.22/1999 memuat aspirasi legitimasi kelembagaan
tradisional ponggawa-sawi dalam pengelolaan sendiri sumberdaya pesisir.
Walaupun demikian, integrasi sistem ponggawa-sawi kedalam pengelolaan
sumberdaya pesisir secara lokalitas tidak menjamin keberhasilannya dalam
memecahkan segala aspek peningkatan kesejahteraan masyarakat pesisir. Konsep
dasar yang diajukan adalah penerapan co-management (pengelolaan kemitraan)
antara masyarakat pesisir dan pemerintah setempat. Akibat terdapat keunikan
karakteristik dari sistem tradisional ini, maka kerangka kemitraan selayaknya
berbentuk segitiga dengan asumsi bahwa antara kelompok nelayan dan
ponggawa-sawi terdapat perbedaan strategi pemanfaatan sumberdaya pesisir.
Diasumsikan bahwa terlepas dari perbedaan strategi pemanfaatan dan mekanisme
perolehan sumberdaya, maka yang sebaiknya ditetapkan adalah terdapatnya
kesamaan pandang perencanaan yang ditujukan untuk mencapai kesejahteraan
masyarakat, penguatan peran kelembagaan, konsistensi dukungan pemerintah dan
rasionalisasi kemampuan sumberdaya pesisir di dalam proses pengelolaan
kemitraan.
Sebagai gambaran
bentuk partisipasi sistem tradisional ini adalah sebagai berikut:
Gambar di atas berasumsi bahwa
mekanisme pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya adalah berbentuk
co-management. Kelompok nelayan lokal dalam hal ini dapat dianggap sebagai
stakeholders (pemangku sumberdaya) yang meliputi nelayan mandiri, nelayan paruh
waktu, wanita dan anggota keluarga nelayan, bahkan organisasi lokal. Pemisahan
kelompok ponggawa-sawi dengan kelompok nelayan lokal selain diasumsikan
terdapatnya perbedaan strategi pemanfaatan sumberdaya, juga terjadinya
perbedaan dalam proses pengambilan keputusan yang merupakan faktor penentu
perolahan manfaat. Selanjutnya posisi sasi berada dalam kelompok ponggawa
akibat terdapat ikatan norma moral kepatuhan dan loyalitas didalam sistemnya,
walaupun tingkat kesejahteraan sawi kurang lebih sama dengan nelayan. Meskipun
tidak dapat dipungkiri bahwa pengelompokan sawi bersama ponggawa akan
mengakibatkan tekanan atau terhambatnya ekspresi pendapat pada sawi dalam
proses pengambilan keputusan akan mekanisme dan strategi pengelolaan kemitraan.
Makanya agak sulit dikatakan apakah sawi dan ponggawa akan cocok berada dalam
satu kelompok, namun penguatan peran dan fungsi norma sosial yang ada pada
mereka akan menepis kemungkinan yang menghambat. Tingkat kesamaan dalam
pengambilan keputusan menjadi sentral issue dalam kerangka kemitraan ini, tapi
lebih penting lagi adalah proses dan mekanismenya diserahkan pada mereka, dan
pemerintah lokal seharusnya terus menerus memfasilitasi aktifitas mereka.
Dalam format kemitraan pengelolaan
sumberdaya pesisir yang diusulkan, terdapat dua strategi yaitu; pendekatan
komplementari dan sistematik (Bene dan Taufik 2001). Pendekatan komplementari
digunakan untuk memperoleh pengertian dan hubungan antara kelompok, kemudian
pendekatan sistematik digunakan sebagai basis untuk menganalisa interaksi
didalam kelompok dan selanjutnya melihat akibat interaksinya mungkin saja nanti
akan berpengaruh pada kerangka pengelolaan kemitraan tersebut. Dari kerangka
tersebut terlihat bahwa kelompok nelayan mendominasi dalam hal banyaknya jumlah
anggota didalam suatu kelompok yang penting didalam memobiliasi dan
mengefektifkan praktek pengelolaan kemitraan yang diusulkan. Secara implisit,
hak tradisional termasuk sistem ponggawa-sawi telah dimuat dalam Undang-Undang
No.22/1999 dan menjadi dasar penerapan co-management. Walaupun demikian apakah
sistem ponggawa-sawi dilegitimasi atau tidak, konsep pengelolaan kemitraan
antara nelayan dan pemerintah lokal akan mengetengahkan persoalan hak
penangkapan tradisional. Kesemuanya ini terletak pada pemahaman yang jelas akan
bagaimana format hak penangkapan yang diberikan kepada masyarakat pesisir, dan
sejauh mana tingkat kewenangan dan tanggung jawab yang diberikan kepada mereka.
Perlunya
penguatan, revitalisasi dan mengintegrasikan nelayan tradisional, mungkin juga
termasuk sistem ponggawa-sawi dalam konsep pengelolaan sumberdaya pesisir
sebenarnya telah lama diusulkan pada konferensi regional “Desentralisasi
Pengelolaan Wilayah Laut” tahun 2001 di Makassar. Di konferensi tersebut
dilakukan diskusi tentang perlunya peran aktif nelayan tradisional dalam
merancang, mengimplementasi dan mengawasi pelaksanaan pengelolaan sumberdaya
pesisir. Urgensi untuk melibatkan langsung sistem ponggawa-sawi sayangnya tidak
mendapatkan porsi lebih banyak dalam diskusi tersebut, sehingga kesan potensi
sistem tradisional ini tidak banyak diungkap. Marginalisasi sistem
ponggawa-sawi dalam kerangka pengelolaan sumberdaya pesisir mungkin akan
menimbulkan dampak yang tidak diharapkan, karenanya untuk meminimumkan hal
tersebut, maka pilihan sistem tradisional ini harus termasuk didalam kerangka
pengelolaan. Sebagai gambaran, potensi yang dimiliki oleh ponggawa-sawi adalah:
·
Pengambilan
Keputusan
·
Dominasi Pemasaran
Lokal
·
Partisipasi Lokal
·
Hubungan
Penangkapan yang Saling Menguntungkan
·
Bagian dari Komunitas
Masyarakat Pesisir
·
Kepemimpinan Lokal
Dengan norma hubungan sosial dengan sawi, bakat
alami bisnis, kepemimpinan tradisional kharismatik, maka proses dan mekanisme
pengambilan keputusan akan perlakuan dan strategi pemanfaatan dan pengelolaan
sumberdaya pesisir akan banyak ditentukan oleh peran ponggawa. Hal tersebut
juga menyebabkan ponggawa mendominasi atau bahkan ikut menentukan rona
pemasaran hasil tangkapan, termasuk jaringan pemasaran yang lebih luas.
Partisipasi ponggawa dalam menyikapi pentingnya pelestarian ekosistem pesisir
juga terlihat. Dalam prakteknya, mungkin hanya sistem ponggawa-sawi yang
membentuk suatu ikatan kerjasama dengan nelayan dalam bentuk penyediaan umpan
hidup bagi perikanan pole and line misalnya. Dengan terbentuknya sistem
persepakatan ini yang tentu saja aplikasi dari norma dari sistem ponggawa-sawi,
maka nelayan mempunyai prospek perolehan pendapatan dan investasi dalam
melakukan kegiatan usahanya.
III. PENUTUP
Pelaksanaan pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya
alam, termasuk perikanan telah lama ada di dalam masyarakat pesisir dan dalam
menghadapi dinamika hubungan sosial ekonomi, sistem tradisional masih terus
berlanjut hingga kini. Muatan norma sosial lebih banyak ditekankan pada
harmonisasi hubungan antara adat dan agama; seperti sistem Subak yang menekankan pentingnya hubungan antara manusia dengan penciptanya,
hubungan antara manusia dan lingkungannya, dan hubungan antara sesama manusia
yang dikenal sebagai Tri Hita Karana. Terakomodasinya peran pemerintah lokal (desa) dalam pengelolaan
sumberdaya pesisir merupakan suatu bukti legitimasi sistem tradisional agar
dapat berperan aktif. Disadari bahwa tidak semua sistem tradisional layak
diikut sertakan dalam kerangka pengelolaan sumberdaya alam, karenanya analisa
dinamika sistem tradisional itu sendiri perlu dilakukan untuk melihat atau
mereposisikan peran yang akan diemban oleh institusi tradisional tersebut.
Melihat kondisi dan dinamika sistem tradisional yang ada di Makassar, ada
kecendrungan dibentuknya pengelolaan sumberdaya berbasis kemitraan atau lebih
dikenal sebagai co-management yang diyakini lebih signifikan dibandingkan
pengelolaan yang hanya melibatkan satu unsur saja. Legitimasi aturan adat
termasuk aspek pembinaannya merupakan unsur mutlak dalam upaya melestarikan
sumberdaya pesisir dan peluang peningkatan kesejahteraan masyarakat pesisir.
DAFTAR PUSTAKA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar