Kamis, 23 Juli 2015

ontologi epstimologi dan aksiologi pada sistem ponggawa sawi MK. Filsafat ilmu

TUGAS INDIVIDU
Filsafat Ilmu Perikanan

SISTEM PONGGAWA-SAWI DALAM MASYARAKAT NELAYAN DIHUBUNGKAN DENGAN ONTOLOGI, EPSTIMOLOGI, DAN AKSIOLOGI


OLEH :

IBNU MALKAN HASBI
P3300214005





PROGRAM MAGISTER ILMU PERIKANAN
FAKULTAS ILMU KELAUTAN DAN PERIKANAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2014
I. PENDAHULUAN
 Dalam struktur ekonomi masyarakat nelayan dikenal adanya Ponggawa dan Sawi. Ponggawa merupakan pemilik modal dan Sawi adalah peminjam atau pekerja atau juga dapat disebut buruh atau bahasa undang-undangnya nelayan kecil. Pemilik modal berhak membeli hasil tangkapan Sawi yang diberi modal. Dan Sawi berkewajiban menjual hasil tangkapannya kepada Ponggawa yang memodalinya. Kewajiban ini merupakan ketentuan yang harus dilaksanakan. Modal yang diberikan oleh Ponggawa tidak terbatas pada modal materi berupa uang, namun juga kepada peralatan seperti kapal, mesin kapal, jaring, pancing, pukat, dan sebagainya.
            Begitu kuatnya peran Ponggawa dalam mengatur pengelolaan usaha perikanan laut ini ditandai dari hulu hingga hilir. Sejak membutuhkan modal awal untuk kerja di laut menangkap ikan, hingga pemasaran hasil tangkapan ikannya, semuanya harus dilakukan atas kendali Ponggawa, baik Ponggawa darat maupun Ponggawa laut .
            Struktur Ponggawa baik Ponggawa darat dan Ponggawa pulau yang merupakan pensuplai modal usaha dan bantuan finansial lainnya sangat berperan dalam menentukan aktifitas kenelayanan terutama bagi nelayan sawi. Hal ini dikarenakan pola hubungan Ponggawa-sawi menempatkan sawi sebagai inferior terhadap Ponggawa sehingga berimbas pula pada struktur kerja kenelayanan yang dilakoni termasuk model pemanfaatan terhadap sumber daya yang ada. Selain itu fungsi Ponggawa yang terkadang menjadi distributor hasil tangkapan menjadikan peran mereka semakin kuat dalam mengintervensi aktifitas nelayan sawi dalam mengeksploitasi sumber daya yang ada.
            Musim penangkapan ikan tidak berlangsung sepanjang waktu. ada masa-masa dimana kegiatan penangkapan ikan praktis tidak dapat dilakukan seperti masa ombak besar atau stok ikan di laut berkurang. situasi ini malah kian melekatkan mereka kepada Ponggawa karena manakala mereka tidak melaut maka otomatis pendapatanpun tersumbat. Tidak ada jalan lain selain mengutang pada Ponggawa, termasuk bila ada kebutuhan mendesak dan tiba-tiba. Klimaksnya kemudian utang yang ada bukan lagi sekedar utang materi tetapi utang budi karena disaat tak ada lagi tempat berharap bantuan, sang Ponggawalah yang membantu. Bayangkan saja jika seorang istri nelayan sedang dalam proses melahirkan dan saat itu si suami tak memiliki uang yang cukup. Seseorang yang membantu disaat sulit seperti itu akan dipandang sebagai penolong. Sistem tabungan sangat tidak familiar bagi nelayan terutama mereka yang berstatus sebagai sawi. Penyimpanan uang di bank hanya dilakukan oleh Ponggawa. Penguasaan kalangan pemodal (Ponggawa) terhadap usaha perikanan berakar sangat kuat bagi masyarakat nelayan sawi di ketiga pulau tersebut. Sistem ‘Ponggawa – sawi’ tersebut telah memerangkap masyarakat ke dalam sistem hutang beranak–pinak yang tidak kunjung putus dan turun–temurun.
Sejumlah sistem tradisional masih dijalankan oleh masyarakat pesisir di Provinsi Sulawesi Selatan (Ponggawa-Sawi), Provinsi Maluku (Sasi), dan Provinsi Nangaro Aceh Darussalam (Panglima Laut) ditengah perubahan sistem sosial dan ekonomi diantara masyarakat pesisir itu sendiri dan daerah lainnya. Tantangan untuk mengulas sistem tradisional adalah kebanyakan tidak terdokumentasi, namun diyakini di dalam masyarakat itu sendiri, sistem-sistem tersebut telah menjadi bagian norma hubungan sosial dan ekonomi mereka sehari-hari. Urgensi untuk melihat peluang pelibatan langsung sistem tradisional dalam kerangka kebijakan pembangunan perikanan nasional haruslah dimulai dengan menganalisa dinamika sistem tradisional itu sendiri, termasuk muatan norma hubungan sosial yang memungkinkan untuk menjadikan unsur penyelarasan di dalam Undang-Undang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Otonomi Daerah pengelolaan sumberdaya pesisir.
Sebagai suatu kriteria yang konkrit untuk membedakan dan mengklasifikasikan nelayan dari tipe-tipe kebudayaan lainnya, kita dapat secara tentatif memandang masyarakat nelayan sebagai telah memberi sumbangan sebesar 10% dari bahan makanan lokal. Tetapi konfigurasi kebudayaan, yang diisi dengan emosi-emosi dan disalurkan dengan menggunakan nilai-nilai dan sikap, jarang dikarakteristikkan hanya dengan statistik atau secara kuantitatif. Kebudayaan nelayan erat kaitannya dengan suatu orientasi terhadap laut, suatu orientasi yang meliputi sikap maupun pengetahuan aktual.


II. PEMBAHASAAN
A.   Apa itu Ponggawa Sawi (ONTOLOGI)
Ponggawa-Sawi sebagai suatu sistem tradisional di masyarakat pesisir Sulawesi Selatan dibentuk dalam konsep hubungan antara ponggawa dan sawi yang dikenal sebagai hubungan patron dan client. Ponggawa adalah seorang yang mampu menyediakan kapital (sosial dan ekonomi) bagi kelompok masyarakat dalam menjalankan suatu usaha (biasanya berorientasi pada skala usaha penangkapan ikan); sedangkan sawi adalah sekelompok orang yang bekerja pada ponggawa dengan memakai atribut hubungan norma sosial dan persepakatan kerja. Hubungan ini terus berdinamika ditengah tekanan legitimasi atau marginalisasi, namun, masih banyak yang harus dipahami terutama menyangkut hal aturan sosial tempat masyarakatnya berpijak. Aturan sosial atau hubungan sosial yang dilandasinya lebih banyak tentang sistem hirarki sosial, kekerabatan keluarga dan perkawinan menjadi ciri khas sistem ponggawa-sawi. Pada banyak hubungan sosial ini lebih banyak dilandasi oleh adanya penghormatan akan konsep budaya siri’ (malu), senasib sepenanggungan (dalam bahasa Makassar disebut pacce) dengan orientasi kepada pengesahan prilaku sosial yang melingkupi sistem tradisional ini tidak semuanya dapat dibenarkan.
Secara historis, Ponggawa atau punggawa dapat diartikan sebagai pemimpin bagi suatu etnis tertentu. Karena sifatnya lokalitas, maka kekuatan hubungan sosialnya juga ikut terpengaruh, seperti tingginya tingkat kepercayaan dan gantungan harapan oleh pengikutnya (Sawi) kepada Ponggawanya. Hubungan ini juga timbul sedikit banyak dipengaruhi akibat perang fisik yang terjadi di masa lalu, saat itu kelompok etnis tertentu mencari seorang yang dapat dijadikan pemimpin di dalam hal penyediaan perlindungan. Persepsi perlindungan ini terus berlanjut dari hal perlingan fisik menjadi perlindungan akan perolehan sumber hidup berasal dari sumberdaya sekitarnya. Akibatnya terbentuk suatu kepatuhan norma dan hubungan mengikat yang secara sosial terbentuk untuk kelangsungan hidup mereka. Sedangkan pengikut yang dinormakan sebagai kepatuhan untuk memenuhi petunjuk atau perintah yang diberikan oleh ponggawa.

B.   PERMASALAHAN DALAM SISTEM PONGGAWA SAWI (EPISTIMOLOGI)
Hubungan antara Ponggawa dan Sawi dapat dikategorikan sebagai hubungan yang tidak seimbang atau tidak adil dalam kondisi perolehan. Hubungan kekerabatan ini lebih banyak terjadi dengan tetap menggunakan norma sosial adalah pada tingkat lokal seperti pedesaan. Hubungan antara superior dan sejumlah inferior didasari oleh pertukaran pelayanan (service) yang tidak seimbang. Malah dikatakan bahwa besarnya nilai pertukaran antara Ponggawa dan Sawi lebih banyak disandarkan oleh besarnya perhatian atau pemberian yang terjadi. Misalnya, Sawi akan memberikan penghormatan kesepakatan norma kepada Ponggawa sesuai dengan besarnya service yang diberikan oleh Ponggawanya. Namun demikian, terjadi hubungan de facto antara Ponggawa dan Sawi itu sendiri akibat normanya bergeser dari pengikat hubungan sosial ke hubungan sosial, seperti mekanisme pembayaran. Pengikat hubungan norma ini lebih banyak ditentukan oleh fungsi atau peran Ponggawa sebagai figur utama untuk semua Sawinya, termasuk pinjaman keuangan dan perlindungan atau kesediaan menyediakan bantuan pada saat dibutuhkan.Karakteristik dan prilaku hubungan norma sosial Ponggawa dan Sawi juga dipengaruhi oleh asal etnis yang pada akhirnya menentukan tingkatan hubungan Ponggawa dan Sawi.
Untuk daerah Sulawesi Selatan, beberapa etnis mendominasi atau menerapkan tingkat perolehan sumber hidup dengan menggunakan perangkat hubungan patron dan client, dan etnis tersebut adalah Bugis dan Makassar, sedangkan etnis Tana Toraja lebih banyak mengaplikasikan pada perolehan lahan daratan akibat kondisi geografis wilayahnya. Perbedaan etnis dan letak geografis wilayah juga ikut menentukan perbedaan kondisi sosial yang dapat dipandang sebagai tingkat variasi. Hubungan antara ponggawa dan sawi bersifat sukarela dan bisa berakhir kapan saja. Ponggawa bisa saja meninggalkan sawinya (tidak lagi dianggap sebagai bagian hubungan) jika dianggap tidak cukup patuh menjalankan norma yang telah disepakati. Sebaliknya, para sawi ini akan berpindah ke ponggawa lainnya jika ponggawanya tidak cukup untuk melindunginya. Dalam situasi demikian bisa saja diantara para sawi muncul seorang dengan derajat sosial yang lebih tinggi dan mampu memimpin kelompoknya, dan orang ini kemudian bisa menjadi ponggawa baru. Jika seorang sawi pindah ke Ponggawa lainnya, maka atas permufakatan antara calon ponggawa dengan ponggawa terdahulu dapat mentrasfer sawi tersebut dengan konsesi pembayaran utang atau nilai lainnya yang sepadan dengan kepindahan sawi.
Hal ini menunjukkan bahwa ponggawa bukan lagi semata-mata tempat tujuan untuk mencari keamanan sumber hidup, tapi ponggawa sendiri harus memberikan perlindungan terbaik yang dimilikinya akibat terjadinya persaingan antar ponggawa di dalam satu wilayah. Konsep norma yang mengatur hubungan antara ponggawa dan sawi umumnya berkisar pada norma loyalitas, merasa aman jika berada dalam kendali strata sosial tingkat atas di lingkungan dimana mereka hidup. Pertentangan otoritas yang mengandalkan sistem kelas sosial dan sistem kepatuhan akan norma yang ada kadang sulit diselesaikan jika keduanya berada dalam suatu areal. Hal ini bisa terjadi jika sistem kepatuhan yang diterapkan oleh salah satunya dinilai bertentangan dengan norma yang ada di dalam masyarakat.Lebih lanjut dikatakan, pada mulanya banyak kelompok masyarakat dengan tingkat sosial yang tinggi mempunyai pengikut untuk mengerjakan lahan atau melaksanakan pelayanan dalam skala lokal, misalnya menyediakan air minum dan kayu bakar atau membantu ponggawanya dalam acara seremonial. Diantara sawi tersebut dengan status bujang akan sukarela tinggal bersama ponggawanya sebagai pelayan tanpa upah; mereka hanya menerima ruang penginapan, makanan dan pakaian. Seringkali, ponggawa bahkan mencarikan pasangan hidup buat sawinya dan mempersiapkan pestanya. Pada saat pertama kali hidup baru, maka sawi ini akan tetap berada di lingkungan rumah tangga ponggawa, atau bertempat tinggal sekitar atau dekat rumah ponggawa. Ponggawa dengan status sosial dan kewajiban sosialnya akan terus menyediakan bahan kebutuhan hidup, misalnya beras atau bahan pangan lainnya kepada sawinya sampai sawi ini dapat menunjukkan tingkat loyalitas yang lebih tinggi dengan cara pengabdian atau mencarikan sawi untuk ponggawanya yang biasanya mempunyai sumber usaha lainnya. Bentuk hubungan inilah yang memperkuat norma kepatuhan atau loyalitas dari sawi kepada ponggawanya; dan sebaliknya bentuk inilah yang menjadi dasar untuk mempertahankan sawi untuk tetap bekerja kepada ponggawa. Hubungan ini tidak diatur dalam bentuk formal, dan dapat berakhir kapan saja. Yang terpenting dalam hubungan ini adalah tidak diinginkannya berakhir dengan kondisi konflik kepentingan yang melanggar norma yang ada di dalam masyarakatnya.
Bentuk hubungan ini menguntungkan kedua belah pihak; ponggawa mempunyai buruh yang dapat menjalankan usahanya dan layanan sosial lainnya; sedangkan sawi mempunyai jaminan hidup atau sumber pendapatan di dalam hidupnya. Dengan jumlah sawi yang banyak akan meningkatkan status sosial ponggawa demikian juga dengan kelompok etnisnya. Jika ponggawa ingin lebih jauh meningkatkan jumlah sawi dan tingkat loyalitas, maka ponggawa harus berperan sebagai “ponggawa yang dapat dicontoh atau dijadikan panutan” dengan cara meningkatkan keyakinan sawinya dalam hal jaminan hidup; dan jika hal ini tidak dapat dipenuhi atau dipertahankan, maka sawi tersebut akan dengan mudah meninggalkan ponggawa. Hal ini bukan sesuatu yang mudah dilakukan akibat makin banyaknya jenis pilihan perolehan sumber hidup; terjadinya persaingan antar ponggawa; dan masuknya investor luar yang seringkali menitipkan investasinya kepada ponggawa. Ponggawa menghadapi dua pilihan; pertama menjaga hubungan sosial dengan sawi dengan cara tidak memaksakan sawinya untuk bekerja demi peningkatan perolehan hasil tangkapan yang seringkali sawi akan memilih ponggawa lainnya jika ruang waktu dimungkinkan untuk lebih rendah hari atau frekwensi kerjanya. Dilain pihak, investor luar akan meminta ponggawa untuk mengoptimalkan hasil tangkapnya atau investor akan menarik dananya dari ponggawa yang berakibat makin kurangnya investasi; dan pada akhirnya akan melemahkan sistem ponggawa-sawi.
C.   Solusi dan pengendalian dalam sistem ponggawa-sawi
sistem ponggawa-sawi dapat berperan aktif dalam pengelolaan sumberdaya perikanan, maka teori willingness-to-pay dan willingness-to-accept mungkin mampu menyediakan alternatif. Menurut teori willingness-to-pay, ponggawa dan nelayan lainnya bersedia menginvestasikan atau terlibat dalam korservasi ekosistem pantai (utamanya pada jenis komoditas bernilai ekonomis tinggi), dan kemudian mereka akan mendapatkan keuntungan. Jika mereka tidak memperdulikan kaidah konservasi, ini berarti mereka harus menerima konsekwensi biaya akibat kerusakan ekosistem yang mungkin akan menurunkan pendapatan mereka. Secara rasional dapat dikatakan bahwa konsep teori pertama bisa digunakan; dengan harapan bahwa pemerintah secara kontinyu mempertahankan kepentingan nelayan kecil, dan menyediakan alternatif perolehan pendapatan untuk ponggawa dan sawi selama periode konservasi ekosistem.
            Peran ponggawa-sawi penting dilihat dalam masyarakat pesisir terutama karena menjadi bagian kehidupan masyarakat dan nelayan kecil begitu dominan dalam suatu daerah yang tertutup. Ada kemungkinan institusi tradisional ponggawa-sawi dapat berperan dalam pengelolaan sumberdaya pesisir; yaitu melalui teori kepemilikan bersama sumberdaya yang dilandasi oleh aturan sosial dan norma kekerabatan yang telah lama digunakan. Teori ini mengusulkan bahwa etnis tertentu atau kelompok masyarakat yang mempunyai norma dan pengaruh sosial yang kuat diberikan kekhususan dan hak istimewa untuk mengelola sumberdaya lokal tertentu. Dalam teori ini, peran pemerintah hanya sebagai pembina, sementara masyarakat setempat, ponggawa dan sawi mendominasi dan mengarahkan proses pengambilan keputusan dan perencanaan. Lembaga swadaya masyarakat dan organisasi kemasyarakatan berperan dalam memfasilitasi atau menjembatani hubungan antara masyarakat dan pemerintah.
            Potensi sistem ponggawa-sawi terletak pada pengakuan akan keberadaannya oleh pemerintah lokal dan regional. Alokasi hak tradisional masyarakat pesisir sebenarnya telah lama dikenal melalui Hak Ulayat. Selanjutnya dengan hak tradisional tersebut, tersirat juga makna kepemilikan atau hak pengelolaan. Ini berarti terdapat hak eksklusif dan kepemilikan yang dipunyai oleh sekelompok masyarakat, hak tradisional adalah suatu kelompok sosial yang mempunyai hak untuk memanfaatkan, mengelola tingkat eksploitasi, dan pempertahankannya dari kemungkinan tangkap lebih dalam konteks norma kesepakatan tanggung jawab.  
Pada tiga etnis utama yaitu Bugis, Makassar, dan Makassar yang memanfaatkan sumberdaya pesisir di Sulawesi Selatan, maka terdapat peluang dan kendala yang seharusnya dicermati dan ditindak lanjuti secara hati-hati. Transformasi sistem pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir dan lautan di Indonesia ke daerah yang tercantum dalam Undang-Undang No.22/1999 memuat aspirasi legitimasi kelembagaan tradisional ponggawa-sawi dalam pengelolaan sendiri sumberdaya pesisir. Walaupun demikian, integrasi sistem ponggawa-sawi kedalam pengelolaan sumberdaya pesisir secara lokalitas tidak menjamin keberhasilannya dalam memecahkan segala aspek peningkatan kesejahteraan masyarakat pesisir. Konsep dasar yang diajukan adalah penerapan co-management (pengelolaan kemitraan) antara masyarakat pesisir dan pemerintah setempat. Akibat terdapat keunikan karakteristik dari sistem tradisional ini, maka kerangka kemitraan selayaknya berbentuk segitiga dengan asumsi bahwa antara kelompok nelayan dan ponggawa-sawi terdapat perbedaan strategi pemanfaatan sumberdaya pesisir. Diasumsikan bahwa terlepas dari perbedaan strategi pemanfaatan dan mekanisme perolehan sumberdaya, maka yang sebaiknya ditetapkan adalah terdapatnya kesamaan pandang perencanaan yang ditujukan untuk mencapai kesejahteraan masyarakat, penguatan peran kelembagaan, konsistensi dukungan pemerintah dan rasionalisasi kemampuan sumberdaya pesisir di dalam proses pengelolaan kemitraan.
Sebagai gambaran bentuk partisipasi sistem tradisional ini adalah sebagai berikut:
Kelompok Nelayan Lokal
 


Co-Management
 


Ponggawa-Sawi                                                          Pemerintah Lokal

            Gambar di atas berasumsi bahwa mekanisme pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya adalah berbentuk co-management. Kelompok nelayan lokal dalam hal ini dapat dianggap sebagai stakeholders (pemangku sumberdaya) yang meliputi nelayan mandiri, nelayan paruh waktu, wanita dan anggota keluarga nelayan, bahkan organisasi lokal. Pemisahan kelompok ponggawa-sawi dengan kelompok nelayan lokal selain diasumsikan terdapatnya perbedaan strategi pemanfaatan sumberdaya, juga terjadinya perbedaan dalam proses pengambilan keputusan yang merupakan faktor penentu perolahan manfaat. Selanjutnya posisi sasi berada dalam kelompok ponggawa akibat terdapat ikatan norma moral kepatuhan dan loyalitas didalam sistemnya, walaupun tingkat kesejahteraan sawi kurang lebih sama dengan nelayan. Meskipun tidak dapat dipungkiri bahwa pengelompokan sawi bersama ponggawa akan mengakibatkan tekanan atau terhambatnya ekspresi pendapat pada sawi dalam proses pengambilan keputusan akan mekanisme dan strategi pengelolaan kemitraan. Makanya agak sulit dikatakan apakah sawi dan ponggawa akan cocok berada dalam satu kelompok, namun penguatan peran dan fungsi norma sosial yang ada pada mereka akan menepis kemungkinan yang menghambat. Tingkat kesamaan dalam pengambilan keputusan menjadi sentral issue dalam kerangka kemitraan ini, tapi lebih penting lagi adalah proses dan mekanismenya diserahkan pada mereka, dan pemerintah lokal seharusnya terus menerus memfasilitasi aktifitas mereka.
            Dalam format kemitraan pengelolaan sumberdaya pesisir yang diusulkan, terdapat dua strategi yaitu; pendekatan komplementari dan sistematik (Bene dan Taufik 2001). Pendekatan komplementari digunakan untuk memperoleh pengertian dan hubungan antara kelompok, kemudian pendekatan sistematik digunakan sebagai basis untuk menganalisa interaksi didalam kelompok dan selanjutnya melihat akibat interaksinya mungkin saja nanti akan berpengaruh pada kerangka pengelolaan kemitraan tersebut. Dari kerangka tersebut terlihat bahwa kelompok nelayan mendominasi dalam hal banyaknya jumlah anggota didalam suatu kelompok yang penting didalam memobiliasi dan mengefektifkan praktek pengelolaan kemitraan yang diusulkan. Secara implisit, hak tradisional termasuk sistem ponggawa-sawi telah dimuat dalam Undang-Undang No.22/1999 dan menjadi dasar penerapan co-management. Walaupun demikian apakah sistem ponggawa-sawi dilegitimasi atau tidak, konsep pengelolaan kemitraan antara nelayan dan pemerintah lokal akan mengetengahkan persoalan hak penangkapan tradisional. Kesemuanya ini terletak pada pemahaman yang jelas akan bagaimana format hak penangkapan yang diberikan kepada masyarakat pesisir, dan sejauh mana tingkat kewenangan dan tanggung jawab yang diberikan kepada mereka.
Perlunya penguatan, revitalisasi dan mengintegrasikan nelayan tradisional, mungkin juga termasuk sistem ponggawa-sawi dalam konsep pengelolaan sumberdaya pesisir sebenarnya telah lama diusulkan pada konferensi regional “Desentralisasi Pengelolaan Wilayah Laut” tahun 2001 di Makassar. Di konferensi tersebut dilakukan diskusi tentang perlunya peran aktif nelayan tradisional dalam merancang, mengimplementasi dan mengawasi pelaksanaan pengelolaan sumberdaya pesisir. Urgensi untuk melibatkan langsung sistem ponggawa-sawi sayangnya tidak mendapatkan porsi lebih banyak dalam diskusi tersebut, sehingga kesan potensi sistem tradisional ini tidak banyak diungkap. Marginalisasi sistem ponggawa-sawi dalam kerangka pengelolaan sumberdaya pesisir mungkin akan menimbulkan dampak yang tidak diharapkan, karenanya untuk meminimumkan hal tersebut, maka pilihan sistem tradisional ini harus termasuk didalam kerangka pengelolaan. Sebagai gambaran, potensi yang dimiliki oleh ponggawa-sawi adalah:
·         Pengambilan Keputusan
·         Dominasi Pemasaran Lokal
·         Partisipasi Lokal
·         Hubungan Penangkapan yang Saling Menguntungkan
·         Bagian dari Komunitas Masyarakat Pesisir
·         Kepemimpinan Lokal
Dengan norma hubungan sosial dengan sawi, bakat alami bisnis, kepemimpinan tradisional kharismatik, maka proses dan mekanisme pengambilan keputusan akan perlakuan dan strategi pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya pesisir akan banyak ditentukan oleh peran ponggawa. Hal tersebut juga menyebabkan ponggawa mendominasi atau bahkan ikut menentukan rona pemasaran hasil tangkapan, termasuk jaringan pemasaran yang lebih luas. Partisipasi ponggawa dalam menyikapi pentingnya pelestarian ekosistem pesisir juga terlihat. Dalam prakteknya, mungkin hanya sistem ponggawa-sawi yang membentuk suatu ikatan kerjasama dengan nelayan dalam bentuk penyediaan umpan hidup bagi perikanan pole and line misalnya. Dengan terbentuknya sistem persepakatan ini yang tentu saja aplikasi dari norma dari sistem ponggawa-sawi, maka nelayan mempunyai prospek perolehan pendapatan dan investasi dalam melakukan kegiatan usahanya.
                                                      III.  PENUTUP
Pelaksanaan pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya alam, termasuk perikanan telah lama ada di dalam masyarakat pesisir dan dalam menghadapi dinamika hubungan sosial ekonomi, sistem tradisional masih terus berlanjut hingga kini. Muatan norma sosial lebih banyak ditekankan pada harmonisasi hubungan antara adat dan agama; seperti sistem Subak yang menekankan pentingnya hubungan antara manusia dengan penciptanya, hubungan antara manusia dan lingkungannya, dan hubungan antara sesama manusia yang dikenal sebagai Tri Hita Karana. Terakomodasinya peran pemerintah lokal (desa) dalam pengelolaan sumberdaya pesisir merupakan suatu bukti legitimasi sistem tradisional agar dapat berperan aktif. Disadari bahwa tidak semua sistem tradisional layak diikut sertakan dalam kerangka pengelolaan sumberdaya alam, karenanya analisa dinamika sistem tradisional itu sendiri perlu dilakukan untuk melihat atau mereposisikan peran yang akan diemban oleh institusi tradisional tersebut. Melihat kondisi dan dinamika sistem tradisional yang ada di Makassar, ada kecendrungan dibentuknya pengelolaan sumberdaya berbasis kemitraan atau lebih dikenal sebagai co-management yang diyakini lebih signifikan dibandingkan pengelolaan yang hanya melibatkan satu unsur saja. Legitimasi aturan adat termasuk aspek pembinaannya merupakan unsur mutlak dalam upaya melestarikan sumberdaya pesisir dan peluang peningkatan kesejahteraan masyarakat pesisir.




DAFTAR PUSTAKA




Tidak ada komentar:

Posting Komentar

window.setTimeout(function() { document.body.className = document.body.className.replace('loading', ''); }, 10);