TUGAS INDIVIDU
KELEMBAGAAN PERIKANAN
PONGGAWA SAWI

OLEH :
IBNU
MALKAN HASBI
L241100276
JURUSAN PERIKANAN
FAKULTAS ILMU KELAUTAN DAN PERIKANAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2013
Pongawa Sawi
Dalam struktur ekonomi masyarakat
nelayan dikenal adanya Ponggawa dan Sawi. Ponggawa merupakan pemilik modal dan
Sawi adalah peminjam atau pekerja atau juga dapat disebut buruh atau bahasa
undang-undangnya nelayan kecil. Pemilik modal berhak membeli hasil tangkapan
Sawi yang diberi modal. Dan Sawi berkewajiban menjual hasil tangkapannya kepada
Ponggawa yang memodalinya. Kewajiban ini merupakan ketentuan yang harus
dilaksanakan. Modal yang diberikan oleh Ponggawa tidak terbatas pada modal
materi berupa uang, namun juga kepada peralatan seperti kapal, mesin kapal,
jaring, pancing, pukat, dan sebagainya.
Begitu kuatnya peran Ponggawa dalam
mengatur pengelolaan usaha perikanan laut ini ditandai dari hulu hingga hilir.
Sejak membutuhkan modal awal untuk kerja di laut menangkap ikan, hingga
pemasaran hasil tangkapan ikannya, semuanya harus dilakukan atas kendali Ponggawa,
baik Ponggawa darat maupun Ponggawa laut .
Struktur Ponggawa baik Ponggawa
darat dan Ponggawa pulau yang merupakan pensuplai modal usaha dan bantuan
finansial lainnya sangat berperan dalam menentukan aktifitas kenelayanan terutama
bagi nelayan sawi. Hal ini dikarenakan pola hubungan Ponggawa-sawi menempatkan
sawi sebagai inferior terhadap Ponggawa sehingga berimbas pula pada struktur
kerja kenelayanan yang dilakoni termasuk model pemanfaatan terhadap sumber daya
yang ada. Selain itu fungsi Ponggawa yang terkadang menjadi distributor hasil
tangkapan menjadikan peran mereka semakin kuat dalam mengintervensi aktifitas
nelayan sawi dalam mengeksploitasi sumber daya yang ada.
Musim penangkapan ikan tidak
berlangsung sepanjang waktu. ada masa-masa dimana kegiatan penangkapan ikan
praktis tidak dapat dilakukan seperti masa ombak besar atau stok ikan di laut
berkurang. situasi ini malah kian melekatkan mereka kepada Ponggawa karena
manakala mereka tidak melaut maka otomatis pendapatanpun tersumbat. Tidak ada
jalan lain selain mengutang pada Ponggawa, termasuk bila ada kebutuhan mendesak
dan tiba-tiba. Klimaksnya kemudian utang yang ada bukan lagi sekedar utang materi tetapi utang budi karena disaat
tak ada lagi tempat berharap bantuan, sang Ponggawalah yang membantu. Bayangkan
saja jika seorang istri nelayan sedang dalam proses melahirkan dan saat itu si
suami tak memiliki uang yang cukup. Seseorang yang membantu disaat sulit
seperti itu akan dipandang sebagai penolong. Sistem tabungan sangat tidak
familiar bagi nelayan terutama mereka yang berstatus sebagai sawi. Penyimpanan
uang di bank hanya dilakukan oleh Ponggawa. Penguasaan kalangan pemodal (Ponggawa)
terhadap usaha perikanan berakar sangat kuat bagi masyarakat nelayan sawi di
ketiga pulau tersebut. Sistem ‘Ponggawa – sawi’ tersebut telah memerangkap
masyarakat ke dalam sistem hutang beranak–pinak yang tidak kunjung putus dan
turun–temurun.
Dampak Positif Pola Hubungan Ponggawa Sawi
Nilai positif yang dapat diambil
dari system ini adalah keuangan nelayan pada saat musim paceklik ditanggung
oleh Ponggawa, begitupun sebelum pergi melaut maka Ponggawa telah memberi uang
untuk keluarga sawi yang ditinggalkan, ini dapat membantu keluarga sawi dalam
memenuhi kebutuhannya. Namun dipihak lain ini menjadi sisi negative karena
kebiasaan selalu menerima pinjaman itu
kian melekatkan mereka kepada Ponggawa karena manakala mereka tidak
melaut maka otomatis pendapatanpun tersumbat. Tidak ada jalan lain selain
mengutang pada Ponggawa, termasuk bila ada kebutuhan mendesak dan tiba-tiba.
Klimaksnya kemudian utang yang ada bukan lagi sekedar utang materi tetapi utang
budi karena disaat tak ada lagi tempat berharap bantuan, sang Ponggawalah yang
membantu.
Dampak
Negatif Pola Hubungan Ponggawa Sawi
1.
Ponggawa Sawi dan Stratifikasi
Sosial
Pada
dasarnya, penggolongan sosial dalam masyarakat nelayan dapat ditinjau dari tiga
sudut pandang. Pertama, dari segi
penguasaan alat-alat produksi atau peralatan tangkap (perahu, jarring, dan
perlengkapan yang lain), struktur masyarakat nelayan terbagi ke dalam ketegori
nelayan pemilik (alat-alat produksi) dan nlayan buruh. Nelayan buruh tidak
memiliki alat-alat produksi dan dalam kegiatan produksi sebuah unit perahu, nelayan
buruh hanya menyumbangkan jasa tenaganya dengan memperoleh hak-hak yang sangat
terbatas.
Kedua,
ditinjau dari tingkat skala investasi modal usahanya, struktur masyarakat
nelayan terbagi ke dalam kategori nelayan besar dan nelayan kecil. Disebut
nelayan besar karena jumlah modal yang diinvestasikan dalam usaha perikanan
relative banyak sedangkan pada nelayan kecil justru sebaliknya. Ketiga, dipandang dari tingkat teknologi
peralatan tangkap yang digunakan, masyarakat nelayan terbagi kedalam kategori
nelayan modern dan nelayan tradisional. Nelayan-nelayan modern menggunakan
teknologi penangkapan yang lebih canggih dibandingkan dengan nelayan
tradisional. Dari hal di atas
dapat disimpulkan bahwa pola hubungan ponggawa sawi memunculkan suatu bentuk
stratifikasi sosial pada komunitas nelayan.
2. Ponggawa
Sawi Dan Rantai Kemiskinan
Aktivitas
nelayan yang terkonsentrasi di laut, secara tidak disadari telah menjadi
perangkap/jebakan bagi dirinya. Keasyikan dan keterpencilan dalam
pekerjaan sebagai nelayan, telah turut mempengaruhi kesempatan mereka untuk
memperoleh keterampilan lain dan kesempatan ekonomi yang lebih luas dalam
rangka meningkatkan kapabilitasnya. Dalam keadaan demikian, mereka (Sawi)
kurang dan bahkan tidak menyadari bahwa akumulasi tekanan structural yang
terjadi secara eksternal dan internal telah mengkonstruksi dirinya kedalam
sebuah kondisi yang terjebak dalam kemiskinan. Keadaan ini yang disebut oleh
Giddens (2010 :64), sebagai “motivasi tak sadar” atau
ketidakmampuan sawi memberikan ungkapan verbal terhadap tindakan, sekalipun hal
itu merupakan keinginan yang berpotensi mengarahkan tindakannya.
Fenomena struktur signifikasi (struktur penandaan) dapat diamati
melalui “sikap, perilaku, dan
cara berpikir” sawi terhadap
ponggawa dalam relasi-relasi social kenelayanan. Struktur tersebut erat
kaitannya dengan “skemata simbolik” (tata aturan kelompok)
dan “wacana” (pemaknaan) yang berlangsung melalui“sarana
antara” pada “bingkai interpretasi” dalam relasi
patron-klien. Sedang, interaksi antara sawi dengan ponggawa dalam memainkan
peran dalam kelompok, berlangsung melalui komunikasi.
Tindakan
signifikasi ponggawa cenderung terjadi ketika sawi berada dalam posisi yang lemah (tidak berdaya)
atau sangat membutuhkan pinjaman uang dari ponggawa. Dalam keadaan
demikian, maka cenderung apresiasi tindakan ponggawa pada
saat itu, seakan-akan menyerupai
tindakan sekuritas sosial (social security) terhadap sawi dan keluarganya. Bahkan, terkadang dapat memukau pikiran dan perasaan para sawi, terutama ketika mendapat sapaan sebagai keluarga atau ketika diberi
pinjaman uang yang mendesak untuk kebutuhan
hidup sehari-hari bagi keluarganya. Melalui
apresiasi tindakan signifikasi dari ponggawa, makakesadaran yang ada pada sawi sebagai orang yang memiliki posisi yang sangat lemah, yang oleh Giddens (2010) disebut
sebagai “kesadaran praktis”, yang telahmenunjukkan adanya tindakan dahulukan selamat (safety
first) dan selalu patuh
terhadap skemata tata aturan kelompok serta segala bentuk kebijakan ponggawa.
Fenomena “struktur
dominasi” (struktur penguasaan) yang mencakup skemata penguasaan
seorang ponggawa terhadap sawi (politik) dan penguasaan barang (ekonomi).
Struktur tersebut berlangsung pada relasi patron-klien melalui “sarana-antara” berupa
penguasaan peranan, fasilitas teknologi (perahu, mesin, dan alat tangkap),
modal operasional, dan penguasaan pemasaran yang interaksinya melalui “kekuasaan” seorang
ponggawa darat sebagai pemilik modal.
Dalam
kehidupan sawi, masalah yang paling mendasar dan sangat mengikat adalah tingginya
ketergantungan pemenuhan kebutuhan hidup keluarganya terhadap Ponggawa
Darat. Karena itu, eksistensi
seorang sawi dalam relasi sosial kenelayanan berada pada posisi yang paling lemah dan cenderung tidak mampu memenuhi kebutuhan
hidup keluarga tanpa bantuan dari ponggawa.
Mata
rantai penyebab kemiskinan yang terdapat
dalam pola hubungan ponggawa sawi adalah
1.
Ketidakberdayaan yang dialami oleh pada
umumnya nelayan sawi, dapat dikonkritkan pada ketidakmampuan (disability)
mereka untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari dan untuk mengadakan modal.
Dikatakan demikian, karena umumnya para sawi dalam memenuhi kebutuhan hidup
keluarganya sehari-hari, hanya dengan meminjam dari ponggawa. Sama halnya dalam
mengadakan modal operasional selama di laut, para sawi juga meminjam dari
ponggawa. Karena itu, ketergantungan hidup pada ponggawa, telah
mengkondisikan sawi selalu berada dalam posisi yang tidak
berdaya.
2.
Kerawanan yang seringkali dialami oleh
nelayan sawi, dapat dikonkritkan pada rawan kecelakaan di laut atau resiko
pekerjaan melaut yang sangat mudah terjadi kecelakaan kerja. Dari sifat
pekerjaan yang penuh resiko kecelakaan, maka dibutuhkan adanya asuransi dari ponggawa
kepada nelayan sawi. Ponggawa berdasarkan pengalamannya seringkali menanggung
biaya-biaya kematian dari sawinya. Ponggawa laut (pemimpin operasional
penangkapan ikan), juga memberikan perlindungan terhadap sawinya
selama berada di laut. Seorang ponggawa laut yang memiliki pengetahuan yang
dalam tentang mantera-mantera untuk menjinakkan keganasan ombak dan badai
(“Erang Passimombalang” dan “Erang Pa’boya-boyang”) adalah menjadi modal
kepercayaan dan keyakinan dari para sawinya dalam hal keselamatan pelayaran.
Karena itu, kepercayaan sawi terhadap kemampuan pelayaran bagi seorang ponggawa
laut adalah sesuatu yang dapat menetralisasi keprihatinan sawi dalam melaut.
3.
Kelemahan fisik yang
dialami nelayan dapat dikonkritkan pada sifat pekerjaan yang mengkondisikan
bagi para sawi untuk bekerja sepanjang hari dan atau sepanjang malam dalam
ruang udara yang terbuka di tengah lautan. Kemudian, waktu istirahat bagi
nelayan yang sangat tidak menentu dan keadaan status gizi yang rendah. Keadaan
inilah yang diperkirakan telah mengkondisikan fisik nelayan menjadi lemah.
Karena itu, umumnya tingkat kesehatan nelayan rendah bila dibandingkan dengan
rata-rata tingkat kesehatan pada kelompok kerja lainnya, misalnya petani padi
sawah/ladang, petani tambak, peternak, buruh bangunan, dan sebagainya.
4.
Kemiskinan yang pada umumnya dialami
oleh nelayan sawi, dapat dikonkritkan pada tingkat pendapatan yang rendah.
Selain itu, nelayan sawi juga tidak memiliki pekerjaan sampingan sebagai
tambahan pemenuhan kebutuhan keluarganya. Padahal pekerjaan sampingan sifatnya
sangat dinamis dan dapat membawa sawi keluar dari perangkap kemiskinan.
Dikatakan dinamis, karena dapat digunakan berspekulasi (adu untung) yang
memungkinkan bagi sawi untuk terhindar dari kemiskinan atau paling sedikit dapat
mengurangi berbagai kesulitan ekonomi yang dialami. Demikian juga, tingkat
keterampilan yang dimilikinya sangat rendah, sehingga sangat sulit baginya
untuk beralih pekerjaan pada sector lainnya.
5.
Isolasi (pengucilan) sebagai
keadaan hidup yang dialami oleh pada umumnya nelayan sawi, dapat dikonkritkan
pada sifat pekerjaan yang mengkondisikan aktivitas sehari-harinya harus berada
di laut, sehingga mereka terpencil dari lingkungan social budayanya. Keadaan
hidup sawi yang terisolir dari dunia social lainnya yang telah
mengkondisikan kapabilitasnya sangat rendah.
Lima mata
rantai penyebab kemiskinan yang diuraikan di atas, umumnya telah menyebabkan
nelayan sawi sangat sukar keluar dari jebakan kekurangan atau perangkap
kemiskinan. Tentu saja dengan kondisi tersebut menguntungkan bagi seorang
ponggawa darat, terutama dalam hal mempertahankan ikatan kerja dengan para sawi
untuk pencapaian tujuan ekonomi.
Contoh
Kasus Pola Hubungan Ponggawa Sawi
1. Pola
Ponggawa Sawi di Kabupaten Jeneponto
Perspektif
modernisasi memandang masyarakat nelayan pada umumnya sebagai masyarakat
termarginalisasi dan statis dan terkungkung oleh nilai budaya yang mengatur
hubungan-hubungan sosial yang bersifat eksplotatif. Melalui penerapan teknologi
alat tangkap, pengaturan mekanisme produksi dan pemasaran yang terlembagakan
secara fungsional, nelayan diharapkan mampu melepaskan diri dari
keterkungkungan yang selama ini dihadapi. Demikian halnya masyarakat nelayan di
Kabupaten Jeneponto dapat ditemukan pengaruh modernisasi dalam aktifitas
kehidupan nelayan seperti terdapat pemilik perahu motor, lembaga-lembaga
kenelayanan. Akan tetapi bentuk kelembagaan lama tetap memiliki eksistensi
dalam kehidupan masyarakat nelayan. Walaupun dengan sendirinya telah tersentuh
dengan nilai-nilai modern yaitu munculnya struktur lembaga ponggawa-sawi
melalui penamaan ponggawa besar, ponggawa kecil dan sawi.
Beberapa
pengalaman sejak berkembangnya perspektif modernisasi dalam kehidupan
masyarakat nelayan di Indonesia, ternyata menimbulkan beberapa distorsi yang
semakin mengancam kehidupan masyarakat nelayan. Terdapat beberapa hasil kajian
yang memperlihatkan terjadinya pola hubungan yang tidak seimbang dalam
pengayaan sumber daya kemudian menciptakan hubungan ketergantungan yang kuat di
antara masyarakat nelayan. Pola hubungan ketergantungan tersebut lalu kemudian
menarik banyak perhatian dan mengkajinya dalam berbagai dimensi kehidupan
masyarakat nelayan yang menyimbolkan keterpinggiran, kemarjinalisasian,
kemiskinan, keterbelakangan, dan sebagainya.
2. Pola
Ponggawa Sawi di Kabupaten Takalar
Di Kabupaten Takalar, dijumpai adanya keadaan fisik rumah milik ponggawa
yang permanen dengan segala perabotan dan fasilitas lain yang dimilikinya. Ini
merupakan realitas dari sebuah gambaran tentang kesejahteraan ekonomi, yang
sangat kontras secara tajam dengan gubuk dari keluarga sawi yang berdinding
bambu atau papan dengan perabot rumah yang sangat sederhana. Kondisi ini
merupakan salah satu indikator perbedaan tingkat kesejahteraan yang tak
terbantahkan dan sejak dahulu hingga saat ini, belum banyak mengalami perubahan
kearah yang lebih baik atau pada tingkat hidup yang lebih tinggi.
Hubungan
antara ponggawa dengan sawi merupakan hubungan kepentingan yang diperkuat oleh
hubungan kerabat dan hubungan yang menyerupai kerabat. Hubungan yang menyerupai
hubungan kerabat yang paling banyak tampil, khususnya antara ponggawa besar
dengan ponggawa kecil dan antara ponggawa besar dengan sawi.
Struktur
relasi Ponggawa-Sawi merupakan medium (perantara) interaksi yang sekaligus
sebagai instrument bagi para pelaku jaringan. Selain itu, juga merupakan wadah
bergeraknya fungsi dalam sistem sosial kenelayanan. Karena itu, struktur
kelembagaan ponggawa sawi cenderung terbentuk dari adanya pemaknaan melalui
relasi-relasi internal dan eksternal kelompok yang berlangsung melalui
prasyarat fungsional AGIL (adaptasi, pencapaian tujuan, integrasi, dan latensi)
dalam proses social budaya yang sangat panjang (usage, folkways, mores, dan
custom).
Sama
halnya dengan daerah pesisir lainnya, di Desa Tamalate pekerjaan sebagai
nelayan merupakan aktivitas yang unik dan memiliki irama yang terkadang sangat
mengasyikkan dan kadang sangat menegangkan.
Ketika nelayan menarik ikan dalam jumlah yang relatif banyak melalui penggunaan
alat pancing (rinta) atau dengan alat jaring (Ga’E), maka hal itu sangat
menggembirakan dan mengasyikkan bagi mereka. Tetapi, kalau secara tiba-tiba ombak dan badai datang menghantam perahu yang
mereka gunakan, maka disaat yang bersamaan, rasa takut dan
ketegangan mulai muncul pada diri nelayan.
Keunikan
lain yang sering dijumpai oleh nelayan saat melaut adalah terkadang
gerombolan ikan yang dikejar oleh kelompok nelayan secara tiba-tiba saja
menghilang dan tidak diketahui kemana arahnya. Karena itu, aktivitas menangkap
ikan bagi pada umumnya nelayan seringkali dipandang sebagai pekerjaan yang unik
dan mengasyikkan, serta sangat misteri dan penuh dengan tantangan yang beresiko
tinggi.
Demikian
juga, keunikan pada sector pekerjaan sebagai buruh nelayan pada relasi patro-klien, dimana mereka tidak
menggunakan perhitungan jumlah waktu kerja (jam/hari) seperti yang umumnya
berlaku terhadap buruh pada sektor pekerjaan lainnya. Kemudian,
kapan waktu beristirahat dan kapan melaksanakan pekerjaan menangkap ikan adalah sesuatu yang tidak jelas penjadwalannya,
karena sangat bergantung pada kondisi di laut. Kemudian, upah yang mereka
terima tidak sebanding dengan segala jerih payah, waktu dan tenaga yang telah diupayakannya.
Nelayan
merupakan pekerjaan yang memiliki irama (ritme) yang sangat menarik dan
mengkondisikan individu terpencil dari ruang sosial budayanya. Umumnya nelayan Sawi hanya memiliki
kesempatan yang lebih besar dalam melakukan hubungan/relasi
sosial dengan sesama anggota kelompoknya. Itu pun hanya dapat
terjadi di saat kelompok melakukan aktivitas pelayaran dan penangkapan ikan di
laut. Hubungan sosial dengan sanak keluarga dan tetangga dimana
pemukimannya berada, sangat terbatas dan hampir tidak ada sama sekali, sehingga
ada kecenderungan nelayan sawi terkucilkan dari lingkungan sosial-budayanya.
REFERENSI
:
http://repository.unhas.ac.id/handle/123456789/1478?show=full. Diakses pada hari Selasa, 30 April 2013, Pukul 19.20 WITA
http://hutriselalueksis.wordpress.com/2010/06/10/dinamika-kehidupan-sosial-budaya-bahari/. Diakses pada hari Selasa, 30 April 2013, Pukul 19.29 WITA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar