Rabu, 22 Juli 2015

Ponggawa Sawi mata kuliah kelembagaan perikanan

TUGAS INDIVIDU
KELEMBAGAAN PERIKANAN

PONGGAWA SAWI
Description: UNHAS_BERWARNA.jpg
OLEH :

IBNU MALKAN HASBI
L241100276


JURUSAN PERIKANAN
FAKULTAS ILMU KELAUTAN DAN PERIKANAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2013
Pongawa Sawi
            Dalam struktur ekonomi masyarakat nelayan dikenal adanya Ponggawa dan Sawi. Ponggawa merupakan pemilik modal dan Sawi adalah peminjam atau pekerja atau juga dapat disebut buruh atau bahasa undang-undangnya nelayan kecil. Pemilik modal berhak membeli hasil tangkapan Sawi yang diberi modal. Dan Sawi berkewajiban menjual hasil tangkapannya kepada Ponggawa yang memodalinya. Kewajiban ini merupakan ketentuan yang harus dilaksanakan. Modal yang diberikan oleh Ponggawa tidak terbatas pada modal materi berupa uang, namun juga kepada peralatan seperti kapal, mesin kapal, jaring, pancing, pukat, dan sebagainya.
            Begitu kuatnya peran Ponggawa dalam mengatur pengelolaan usaha perikanan laut ini ditandai dari hulu hingga hilir. Sejak membutuhkan modal awal untuk kerja di laut menangkap ikan, hingga pemasaran hasil tangkapan ikannya, semuanya harus dilakukan atas kendali Ponggawa, baik Ponggawa darat maupun Ponggawa laut .
            Struktur Ponggawa baik Ponggawa darat dan Ponggawa pulau yang merupakan pensuplai modal usaha dan bantuan finansial lainnya sangat berperan dalam menentukan aktifitas kenelayanan terutama bagi nelayan sawi. Hal ini dikarenakan pola hubungan Ponggawa-sawi menempatkan sawi sebagai inferior terhadap Ponggawa sehingga berimbas pula pada struktur kerja kenelayanan yang dilakoni termasuk model pemanfaatan terhadap sumber daya yang ada. Selain itu fungsi Ponggawa yang terkadang menjadi distributor hasil tangkapan menjadikan peran mereka semakin kuat dalam mengintervensi aktifitas nelayan sawi dalam mengeksploitasi sumber daya yang ada.
            Musim penangkapan ikan tidak berlangsung sepanjang waktu. ada masa-masa dimana kegiatan penangkapan ikan praktis tidak dapat dilakukan seperti masa ombak besar atau stok ikan di laut berkurang. situasi ini malah kian melekatkan mereka kepada Ponggawa karena manakala mereka tidak melaut maka otomatis pendapatanpun tersumbat. Tidak ada jalan lain selain mengutang pada Ponggawa, termasuk bila ada kebutuhan mendesak dan tiba-tiba. Klimaksnya kemudian utang yang ada bukan lagi sekedar utang materi tetapi utang budi karena disaat tak ada lagi tempat berharap bantuan, sang Ponggawalah yang membantu. Bayangkan saja jika seorang istri nelayan sedang dalam proses melahirkan dan saat itu si suami tak memiliki uang yang cukup. Seseorang yang membantu disaat sulit seperti itu akan dipandang sebagai penolong. Sistem tabungan sangat tidak familiar bagi nelayan terutama mereka yang berstatus sebagai sawi. Penyimpanan uang di bank hanya dilakukan oleh Ponggawa. Penguasaan kalangan pemodal (Ponggawa) terhadap usaha perikanan berakar sangat kuat bagi masyarakat nelayan sawi di ketiga pulau tersebut. Sistem ‘Ponggawa – sawi’ tersebut telah memerangkap masyarakat ke dalam sistem hutang beranak–pinak yang tidak kunjung putus dan turun–temurun.

Dampak Positif Pola Hubungan Ponggawa Sawi
            Nilai positif yang dapat diambil dari system ini adalah keuangan nelayan pada saat musim paceklik ditanggung oleh Ponggawa, begitupun sebelum pergi melaut maka Ponggawa telah memberi uang untuk keluarga sawi yang ditinggalkan, ini dapat membantu keluarga sawi dalam memenuhi kebutuhannya. Namun dipihak lain ini menjadi sisi negative karena kebiasaan selalu menerima pinjaman itu  kian melekatkan mereka kepada Ponggawa karena manakala mereka tidak melaut maka otomatis pendapatanpun tersumbat. Tidak ada jalan lain selain mengutang pada Ponggawa, termasuk bila ada kebutuhan mendesak dan tiba-tiba. Klimaksnya kemudian utang yang ada bukan lagi sekedar utang materi tetapi utang budi karena disaat tak ada lagi tempat berharap bantuan, sang Ponggawalah yang membantu.

Dampak Negatif Pola Hubungan Ponggawa Sawi
1.      Ponggawa Sawi dan Stratifikasi Sosial
            Pada dasarnya, penggolongan sosial dalam masyarakat nelayan dapat ditinjau dari tiga sudut pandang. Pertama, dari segi penguasaan alat-alat produksi atau peralatan tangkap (perahu, jarring, dan perlengkapan yang lain), struktur masyarakat nelayan terbagi ke dalam ketegori nelayan pemilik (alat-alat produksi) dan nlayan buruh. Nelayan buruh tidak memiliki alat-alat produksi dan dalam kegiatan produksi sebuah unit perahu, nelayan buruh hanya menyumbangkan jasa tenaganya dengan memperoleh hak-hak yang sangat terbatas.
            Kedua, ditinjau dari tingkat skala investasi modal usahanya, struktur masyarakat nelayan terbagi ke dalam kategori nelayan besar dan nelayan kecil. Disebut nelayan besar karena jumlah modal yang diinvestasikan dalam usaha perikanan relative banyak sedangkan pada nelayan kecil justru sebaliknya. Ketiga, dipandang dari tingkat teknologi peralatan tangkap yang digunakan, masyarakat nelayan terbagi kedalam kategori nelayan modern dan nelayan tradisional. Nelayan-nelayan modern menggunakan teknologi penangkapan yang lebih canggih dibandingkan dengan nelayan tradisional. Dari hal di atas dapat disimpulkan bahwa pola hubungan ponggawa sawi memunculkan suatu bentuk stratifikasi sosial pada komunitas nelayan.

2.      Ponggawa Sawi Dan Rantai Kemiskinan
Aktivitas nelayan yang terkonsentrasi di laut, secara tidak disadari telah menjadi perangkap/jebakan bagi dirinya.  Keasyikan dan keterpencilan dalam pekerjaan sebagai nelayan, telah turut mempengaruhi kesempatan mereka untuk memperoleh keterampilan lain dan kesempatan ekonomi yang lebih luas dalam rangka meningkatkan kapabilitasnya. Dalam keadaan demikian, mereka (Sawi) kurang dan bahkan tidak menyadari bahwa akumulasi tekanan structural yang terjadi secara eksternal dan internal telah mengkonstruksi dirinya kedalam sebuah kondisi yang terjebak dalam kemiskinan. Keadaan ini yang disebut oleh Giddens (2010 :64), sebagai “motivasi tak sadar” atau ketidakmampuan sawi memberikan ungkapan verbal terhadap tindakan, sekalipun hal itu merupakan keinginan yang berpotensi mengarahkan tindakannya.
Fenomena struktur signifikasi (struktur penandaan) dapat diamati melalui “sikap, perilaku, dan cara berpikir sawi terhadap ponggawa dalam relasi-relasi social kenelayanan. Struktur tersebut erat kaitannya dengan “skemata simbolik” (tata aturan kelompok) dan “wacana” (pemaknaan) yang berlangsung melalui“sarana antara” pada “bingkai interpretasi” dalam relasi patron-klien. Sedang, interaksi antara sawi dengan ponggawa dalam memainkan peran dalam kelompok, berlangsung melalui komunikasi.
Tindakan signifikasi ponggawa cenderung terjadi ketika sawi berada dalam posisi yang lemah (tidak berdaya) atau sangat membutuhkan pinjaman uang dari ponggawa. Dalam keadaan demikian, maka cenderung apresiasi tindakan ponggawa pada saat itu, seakan-akan menyerupai tindakan sekuritas sosial (social securityterhadap sawi dan keluarganya. Bahkan, terkadang dapat memukau pikiran dan perasaan para sawi, terutama ketika mendapat sapaan sebagai keluarga atau ketika diberi pinjaman uang yang mendesak untuk kebutuhan hidup sehari-hari bagi keluarganyaMelalui apresiasi tindakan signifikasi dari ponggawa, makakesadaran yang ada pada sawi  sebagai orang yang memiliki posisi yang sangat lemah, yang oleh Giddens (2010) disebut sebagai “kesadaran praktis”, yang telahmenunjukkan adanya tindakan dahulukan selamat (safety first) dan selalu patuh terhadap skemata tata aturan kelompok serta segala bentuk kebijakan ponggawa.
Fenomena “struktur dominasi” (struktur penguasaan) yang mencakup skemata penguasaan seorang ponggawa terhadap sawi (politik) dan penguasaan barang (ekonomi). Struktur tersebut berlangsung pada relasi patron-klien melalui “sarana-antara” berupa penguasaan peranan, fasilitas teknologi (perahu, mesin, dan alat tangkap), modal operasional, dan penguasaan pemasaran yang interaksinya melalui “kekuasaan” seorang ponggawa darat sebagai pemilik modal.
Dalam kehidupan sawi, masalah yang paling mendasar dan sangat mengikat adalah tingginya ketergantungan pemenuhan kebutuhan hidup keluarganya terhadap Ponggawa Darat.  Karena itu,  eksistensi seorang sawi dalam relasi sosial kenelayanan berada pada posisi yang paling lemah dan cenderung tidak mampu memenuhi kebutuhan hidup keluarga tanpa bantuan dari ponggawa.
Mata rantai penyebab kemiskinan yang terdapat dalam pola hubungan ponggawa sawi adalah
1.         Ketidakberdayaan yang dialami oleh pada umumnya nelayan sawi, dapat dikonkritkan pada ketidakmampuan (disability) mereka untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari dan untuk mengadakan modal. Dikatakan demikian, karena umumnya para sawi dalam memenuhi kebutuhan hidup keluarganya sehari-hari, hanya dengan meminjam dari ponggawa. Sama halnya dalam mengadakan modal operasional selama di laut, para sawi juga meminjam dari ponggawa. Karena itu, ketergantungan hidup pada ponggawa, telah mengkondisikan  sawi selalu  berada dalam posisi yang tidak berdaya.
2.         Kerawanan yang seringkali dialami oleh nelayan sawi, dapat dikonkritkan pada rawan kecelakaan di laut atau resiko pekerjaan melaut yang sangat mudah terjadi kecelakaan kerja. Dari sifat pekerjaan yang penuh resiko kecelakaan, maka dibutuhkan adanya asuransi dari ponggawa kepada nelayan sawi. Ponggawa berdasarkan pengalamannya seringkali menanggung biaya-biaya kematian dari sawinya. Ponggawa laut (pemimpin operasional penangkapan ikan), juga memberikan perlindungan terhadap  sawinya selama berada di laut. Seorang ponggawa laut yang memiliki pengetahuan yang dalam tentang mantera-mantera untuk menjinakkan keganasan ombak dan badai (“Erang Passimombalang” dan “Erang Pa’boya-boyang”) adalah menjadi modal kepercayaan dan keyakinan dari para sawinya dalam hal  keselamatan pelayaran. Karena itu, kepercayaan sawi terhadap kemampuan pelayaran bagi seorang ponggawa laut adalah sesuatu yang dapat menetralisasi keprihatinan sawi dalam melaut.
3.         Kelemahan fisik  yang dialami nelayan dapat dikonkritkan pada sifat pekerjaan yang mengkondisikan bagi para sawi untuk bekerja sepanjang hari dan atau sepanjang malam dalam ruang udara yang terbuka di tengah lautan. Kemudian, waktu istirahat bagi nelayan yang sangat tidak menentu dan keadaan status gizi yang rendah. Keadaan inilah yang diperkirakan telah mengkondisikan fisik nelayan menjadi lemah. Karena itu, umumnya tingkat kesehatan nelayan rendah bila dibandingkan dengan rata-rata tingkat kesehatan pada kelompok kerja lainnya, misalnya petani padi sawah/ladang, petani tambak, peternak, buruh bangunan, dan sebagainya.
4.         Kemiskinan yang pada umumnya dialami oleh nelayan sawi, dapat dikonkritkan pada tingkat pendapatan yang rendah. Selain itu, nelayan sawi juga tidak memiliki pekerjaan sampingan sebagai tambahan pemenuhan kebutuhan keluarganya. Padahal pekerjaan sampingan sifatnya sangat dinamis dan dapat membawa sawi keluar dari perangkap kemiskinan. Dikatakan dinamis, karena dapat digunakan berspekulasi (adu untung) yang memungkinkan bagi sawi untuk terhindar dari kemiskinan atau paling sedikit dapat mengurangi berbagai kesulitan ekonomi yang dialami. Demikian juga, tingkat keterampilan yang dimilikinya sangat rendah, sehingga sangat sulit baginya untuk beralih pekerjaan pada sector lainnya.
5.         Isolasi (pengucilan) sebagai keadaan hidup yang dialami oleh pada umumnya nelayan sawi, dapat dikonkritkan pada sifat pekerjaan yang mengkondisikan aktivitas sehari-harinya harus berada di laut, sehingga mereka terpencil dari lingkungan social budayanya. Keadaan hidup sawi yang terisolir dari dunia social lainnya  yang telah mengkondisikan kapabilitasnya sangat rendah.
Lima mata rantai penyebab kemiskinan yang diuraikan di atas, umumnya telah menyebabkan nelayan sawi sangat sukar keluar dari jebakan kekurangan atau perangkap kemiskinan. Tentu saja dengan kondisi tersebut menguntungkan bagi seorang ponggawa darat, terutama dalam hal mempertahankan ikatan kerja dengan para sawi untuk pencapaian tujuan ekonomi.  

Contoh Kasus Pola Hubungan Ponggawa Sawi
1.      Pola Ponggawa Sawi di Kabupaten Jeneponto
            Perspektif modernisasi memandang masyarakat nelayan pada umumnya sebagai masyarakat termarginalisasi dan statis dan terkungkung oleh nilai budaya yang mengatur hubungan-hubungan sosial yang bersifat eksplotatif. Melalui penerapan teknologi alat tangkap, pengaturan mekanisme produksi dan pemasaran yang terlembagakan secara fungsional, nelayan diharapkan mampu melepaskan diri dari keterkungkungan yang selama ini dihadapi. Demikian halnya masyarakat nelayan di Kabupaten Jeneponto dapat ditemukan pengaruh modernisasi dalam aktifitas kehidupan nelayan seperti terdapat pemilik perahu motor, lembaga-lembaga kenelayanan. Akan tetapi bentuk kelembagaan lama tetap memiliki eksistensi dalam kehidupan masyarakat nelayan. Walaupun dengan sendirinya telah tersentuh dengan nilai-nilai modern yaitu munculnya struktur lembaga ponggawa-sawi melalui penamaan ponggawa besar, ponggawa kecil dan sawi.
            Beberapa pengalaman sejak berkembangnya perspektif modernisasi dalam kehidupan masyarakat nelayan di Indonesia, ternyata menimbulkan beberapa distorsi yang semakin mengancam kehidupan masyarakat nelayan. Terdapat beberapa hasil kajian yang memperlihatkan terjadinya pola hubungan yang tidak seimbang dalam pengayaan sumber daya kemudian menciptakan hubungan ketergantungan yang kuat di antara masyarakat nelayan. Pola hubungan ketergantungan tersebut lalu kemudian menarik banyak perhatian dan mengkajinya dalam berbagai dimensi kehidupan masyarakat nelayan yang menyimbolkan keterpinggiran, kemarjinalisasian, kemiskinan, keterbelakangan, dan sebagainya.
2.      Pola Ponggawa Sawi di Kabupaten Takalar
Di Kabupaten Takalar, dijumpai adanya keadaan fisik rumah milik ponggawa yang permanen dengan segala perabotan dan fasilitas lain yang dimilikinya. Ini merupakan realitas dari sebuah gambaran tentang kesejahteraan ekonomi, yang sangat kontras secara tajam dengan gubuk dari keluarga sawi yang berdinding bambu atau papan dengan perabot rumah yang sangat sederhana. Kondisi ini merupakan salah satu indikator perbedaan tingkat kesejahteraan yang tak terbantahkan dan sejak dahulu hingga saat ini, belum banyak mengalami perubahan kearah yang lebih baik atau pada tingkat hidup yang lebih tinggi.
Hubungan antara ponggawa dengan sawi merupakan hubungan kepentingan yang diperkuat oleh hubungan kerabat dan hubungan yang menyerupai kerabat. Hubungan yang menyerupai hubungan kerabat yang paling banyak tampil, khususnya antara ponggawa besar dengan ponggawa kecil dan antara ponggawa besar dengan sawi. 
Struktur relasi Ponggawa-Sawi merupakan medium (perantara) interaksi yang sekaligus sebagai instrument bagi para pelaku jaringan. Selain itu, juga merupakan wadah bergeraknya fungsi dalam sistem sosial kenelayanan. Karena itu, struktur kelembagaan ponggawa sawi cenderung terbentuk dari adanya pemaknaan melalui relasi-relasi internal dan eksternal kelompok yang berlangsung melalui prasyarat fungsional AGIL (adaptasi, pencapaian tujuan, integrasi, dan latensi) dalam proses social budaya yang sangat panjang (usage, folkways, mores, dan custom).
Sama halnya dengan daerah pesisir lainnya, di Desa Tamalate pekerjaan sebagai nelayan merupakan aktivitas yang unik dan memiliki irama yang terkadang sangat mengasyikkan dan kadang sangat menegangkan. Ketika nelayan menarik ikan dalam jumlah yang relatif banyak melalui penggunaan alat pancing (rinta) atau dengan alat jaring (Ga’E), maka hal itu sangat menggembirakan dan mengasyikkan bagi mereka. Tetapi, kalau secara tiba-tiba ombak dan badai datang menghantam perahu yang mereka gunakan, maka disaat yang bersamaan,  rasa takut dan ketegangan mulai muncul pada diri nelayan.
Keunikan lain yang sering dijumpai oleh nelayan saat melaut adalah  terkadang gerombolan ikan yang dikejar oleh kelompok nelayan secara tiba-tiba saja menghilang dan tidak diketahui kemana arahnya. Karena itu, aktivitas menangkap ikan bagi pada umumnya nelayan seringkali dipandang sebagai pekerjaan yang unik dan mengasyikkan, serta sangat misteri dan penuh dengan tantangan yang beresiko tinggi.
Demikian juga, keunikan pada sector pekerjaan sebagai buruh nelayan pada relasi patro-klien, dimana mereka tidak menggunakan perhitungan jumlah waktu kerja (jam/hari) seperti yang umumnya berlaku terhadap buruh pada sektor pekerjaan lainnya.  Kemudian, kapan waktu beristirahat dan kapan melaksanakan pekerjaan menangkap ikan adalah sesuatu yang tidak jelas penjadwalannya, karena sangat bergantung pada kondisi di laut. Kemudian, upah yang mereka terima tidak sebanding dengan segala jerih payah, waktu dan tenaga yang telah diupayakannya.
Nelayan merupakan pekerjaan yang memiliki irama (ritme) yang sangat menarik dan mengkondisikan individu terpencil dari ruang sosial budayanya. Umumnya nelayan Sawi hanya memiliki kesempatan yang lebih besar dalam melakukan hubungan/relasi sosial dengan sesama anggota kelompoknya.  Itu pun hanya dapat terjadi di saat kelompok melakukan aktivitas pelayaran dan penangkapan ikan di laut.  Hubungan sosial dengan sanak keluarga dan tetangga dimana pemukimannya berada, sangat terbatas dan hampir tidak ada sama sekali, sehingga ada kecenderungan nelayan sawi terkucilkan dari lingkungan sosial-budayanya.



REFERENSI :
http://repository.unhas.ac.id/handle/123456789/1478?show=full. Diakses pada hari Selasa, 30 April 2013, Pukul 19.20 WITA
http://hutriselalueksis.wordpress.com/2010/06/10/dinamika-kehidupan-sosial-budaya-bahari/. Diakses pada hari Selasa, 30 April 2013, Pukul 19.29 WITA



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

window.setTimeout(function() { document.body.className = document.body.className.replace('loading', ''); }, 10);